KEDAULATAN ALLAH DALAM MISI
Ps. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th.,
M.Th
Sebuah Pengantar
Hampir dapat dipastikan semua agama menempatkan Tuhan
dalam posisi berdaulat. Walau persfektif berdaulat itu berbeda-beda dalam
penjabaran tiap-tiap agama dalam pembelajaran dogmatisnya. Ini adalah satu
langkah maju untuk membawa pemahaman kita betapa besar dan mulianya Tuhan itu.
Dia berada dan ada melintasi pemahaman dogmatis agama-agama duniawi. Dia juga
ada sebagai jawaban bagi kebuntuan science. Dia bahkan mutlak ada pada
orang-orang yang berusaha meniadakan Tuhan (ateis). Sejatinya, setiap saat kita
sedang ada dan berada dalam naungan Sang Mahaberdaulat yang memenuhi segala
hal.
Kristianitas memberikan kepada dunia yang beradab lebih
dari pada cukup informasi tentang Allah yang berdaulat. Kita tidak perlu
menekankan dogma kedaulatan Allah karena semua orang kristen pasti sepakat
bahwa Allah berdaulat atas segala ciptaanNya. Konsekwensi dari pengakuan bahwa
Dia adalah Allah pencipta, mengharuskan semua yang percaya hal itu, mengakuyi
kedaulatanNya atas ciptaanNya. Dalam hal ini, Allah bukanlah manusia yang
seringkali tidak berkuasa mengendalikan apa yang diciptanya. Misalnya, penemuan
manusia akan tenaga nuklir. Beberapa saat yang lalu kita semua termangu ketika
gempa yang disusul tsunami menghamtam daerah pesisir Kerajaan Jepang.
Pembangkit listrik tenaka nuklir di Sendai pun tak luput. Kebakaran dan ledakan
dahsyat meluluhlantakkan kehidupan di sana. Nuklir yang telah dicipta untuk
kehiudpan yang lebih baik, menjadi liar tak terkendali dan membunuh
penciptanya. Manusia tak berdaulat atas ciptaannya bahkan seringkali
kecenderungan diperbudak oleg ciptaannya.
Salah satu contoh kegagalan manusia untuk mengendalikan
ciptaannya adalah penemuan komputer. Komputer telah memberikan kemudahan yang
luar biasa. Apa yang seharusnya bisa dikerjakan setahun, kini oleh bantuan
komputer hanya memerlukan waktu beberapa hari saja. Proses pembuatan buka pada
abab ke 17 memerlukan waktu bertahun-tahun, kini tak lebih dari satu bulan
sebuah Alkitab sudah dapat dicetak dan dipasarkan. Komputer kini sudah seperti
‘tuhan’ bagi manusia disegala tempat. Namun, manusia tak dapat mengendalikan
komputer seutuhnya. Komputer kini dapat menjadi musuh yang menakutkan karena
berada ditangan orang yang bermoral bejad. Motivasi awal menjadikan komputer
sebagai teman yagn membantu kegiatan manusia, kini menjadi musuh yang
menghancurkan manusia. Komputer sekarang bahkan telah menjadi momok yang sangat
menakutkan lebih dari pada nuklir. Melalui komputer orang dapat menyebarkan
perang, pornografi, teror, penipuan perbankan, dan bahkan segala hal yang
jahat. Manusia kini tak dapat lagi mengendalikan dampak dari zaman
komputerisasi yang telah mengglobal. Artinya, manusia tidak berdaulat atas
ciptaannya.
Memang tidak dapat tersangkali, pemahaman dogmatis Kristianiatas
dari masa ke masa terus mengalami dinamika yang sangat berwarna. Namun itu
semua tidaklah mengurangi kedaulatan Allah yang Maha tersebut. Semua orang
Kristen yang berdoa pasti menyadari kedaulatan Allah. Allah yang berdaulat atas
apa ayng telah diberikanNya. Dia juga berdaulat untuk menaham pemberianNya. Dan
Allah juga berdaulat untuk tidak memberikan apa yagn ada padaNya. Ketiga hal
yang sudah menjadi pemahaman umum dalam dinamikia doa, tentu secara kasat mata
adalah bentuk dari kedaulatan Allah.
Kalau dirunut berdasarkan kajian sejarah gereja, kita
tentu akan selalu belajar dari seorang Agustinus. Tokoh gereja mula-mula ini
memberikan gambaran yang mengenai tentang apa itu kedaulatan gereja. Pemahaman
ini jugalah yang pada gilirannya mempengaruhi Yohanes Calvin dalam menggariskan
paparan teologisnya pada zaman reformasi. Terlepas dari pemahanan para pengikut
calvin yang sering disebut calvinis, yang seringkali tidak dapat menjelaskan
dengan tepat buah pikiran John Calvin, namun kita harus mengakui bahwa John Calvin
telah meletakkan landasan teologis yagn mendalam dan kuat mengenai Allah yang
berdaulat. Sejatinya, jika ada orang yang mengatakan Allah tidak berdaulat,
maka dia telah mengebiri Allah yang serba Maha. Memang tak dapat disangkali,
penuturan dan penjelasan dogmatis Allah Berdaulat, tak selalu seperti apa yang
telah digariskan oleh para pendahulu. Maka memang tak heran jika ada sebuah
pertanyaan. Apakah John Calvin seorang Calvinis?
Kini kita ada dalam abad yang paling ramai dalam hal
penafsiran. Seiring dengan bertumbuhnya kekristenan dan semakin makmurnya
gereja?, kita akan dengan mudah menemukan tokoh-tokoh teolog genius yang dengan
cemerlang memberikan gambaran tentang hal itu. Kita memang sekian lama
terpenjara dengan thema-thema teologi dari barat, sehingga kita secara paksa
mengadobsi pemahanan mereka walau dalam kontek yang berbeda seringkali menjadi
benturan yang cukup menyulitkan. Memang sangat riskan, karena teologi
seharusnya kontekstual sehingga dapat menjangkau orang-orang dalam konteksnya, namun
karena kekurangan sumber daya, maka bertahun-tahun gereja di Indonesia
khususnya terpaksa menelan bulat-bulat pemahaman teologi barat yang tak selalu sesuai
dengan adat dan budaya ketimuran.
Dari sekian banyak teolog Injili yang ada, saya secara
khusus menyorot seorang teolog lokal berbasis internasional. Dia adalah DR.
Yakob Tomatala. Seorang teolog pribumi yang berupaya dengan pemahaman lintas
bangsa mengurai dengan khas apa itu kedaulatan Allah dalam kontek pemahaman
lokal . Walau beliau masih selalu mengutip pendapat para teolog barat, namun
beliau secara khas menelisik dan mengkritisi pandangan-pandangan tersebut dalam
buku-bukunya. Seorang pengajar dan pembelajar yang sederhana dan membumi.
Itulah kesan yang saya dapatkan ketika mengikuti kelas-kelas beliau. Oleh
karena itulah maka, saya mencoba mengurai dari sudut pandang beliau thema
menarik ini. Tema seputar Kedaulatan Allah dan hubungannya dengan Misi.
Kedaulatan Allah dalam Misi
Ada dua kata yang harus kita jelasksan dalam sudut
pandang yang benar. Daulat dan Allah. Bagaimanakah kedua kata ini akhirnya bisa
bersanding? Apakah dalam kedaulatan ada Allah dan srebaliknya dalam Allah ada
kedaulatan? Memang pertanyaan ini terkesan sebagai permaian kata-kata, namun
sejatinya dari situlah kita akan menemukan benang merah. Benang merah yang menandakan
kita menerima pemahaman yang seimbang dan bermanfaat secara dogmatis.
Berdaulat dari kata dasar daulat, menurut WJS
Poerwadarminta berarti:
1.
Bahagia; berkat kebahagiaan (yang ada pada raja)
2.
Berdaulat; berbahagia, bertuah
3.
Berdaulat; mempunyai kekuasaan tertinggi atau hak
dipertuan (atas sesuatu pemerintahan negara atau daerah)
4.
Kedaulatan; kekuasaan yang tertinggi atau hak dipertuan
(atas pemerintahan negara, daerah dan sebagainya)[1]
Kalau ditarik sebuah penyimpulan, maka kedaulatan dalam
konteks ini bermakna kekuasaan atau otoritas mutlak (tertinggi) Allah atas
seluruh jagad ciptaanNya. Dalam hal ini Allah berdaulat atas diriNya karena
tidak ada lagi yang dapat mengatasi atau yang lebih tinggi dari Dia. Maka kita
dapat katakan bahwa Allah berdaulat mutlak karena tak ada unsur atau anazir
apapun yang dapat menyamai atau mengalahkan kedaulatanNya.
Seorang raja dikatakan berdaulat karena dia merupakan
penguasa atau poemerintah tertinggi dalam sebuah kerajaan (negara), namun
kedaulatan dalam konteks ini tidak absulute karena suatu saat dia dapat saja
dilengserkan dari tahtanya. Inilah yang membedakan kedaulatan Allah yang
absolut karena tak ada yang dapat menyamai dan tak ada juga yang dapat
mengkudetaNya.
DR. Tomatala menjelaskan: “Hakikat diri Allah yang
berdaulat dinyatakanNya dalam kehendakNya yang berdaulat.”[2] Yang
menarik dari seluruh uraian DR Tomatala dalam bukunya, Teologi Misi, adalah
kata pembuktian. Saya senang dengan seorang teman di kelas mata kuliah ini yang
menyatakan bahwa teologi yang tepat untuk DR Tomatala adalah Teologi
Pembuktian. Segala hal harus dibuktikan, termasuk dalam hal ini kedaulatanNya.
Bagaimana kita mengerti Allah berdaulat? Dengan melihat kehendakNya yang
dinyatakan.
Ini sangat menarik karena memang kedaulatan Allah yang
sejatinya tak perlu lagi dibuktikan karena sudah terbukti berdaulat dalam
kehendakNya, namun oleh karenba kebesaran dan keagungan kasihNya, dengan rela
Ia mempertunjukkan kedaulatanNya. Hal ini bermakna bahwa Ia adalah Allah yang
terbuktikan karena kehendakNya terlaksana dan selalu terlaksana. Berikut adalah
ulasan lanjutan beliau: “Pemahaman tentang diriNya yang berdaulat ini dapat
dilihat dari keseluruhan hakikat diriNya. Dari segi moral, Allah adalah
Mahakasih, Mahasuci dan Mahabenar, dimana pada diriNya ada hakikat
kemahakuasaan azali yang bersifat determinatif. Kemahakuasaan azali ini
menegaskan bahwa Allah memiliki segala sesuatu pada diriNya yang self
determinatif.”[3]
Sisi lain yang dapat kita ungkap mengenai kedaulatan
Allah adalah kemahapemilikanNya. Artinya, hanya Dialah yang memiliki segala
hal. Segala hal ada padaNya dan padaNyalah segala hal ada. Ini bermakna
kemutlakan diriNya sebagai Allah yang berdaulat. Karena tidak ada satupun yang
kurang pada diriNya karna semuaNya melekat dan menjadi milikNya, maka dia
berdaulat penuh atas segala hal. Karena ini Allah tidak bergantung pada
siapapun dan kepada apapun. Kebergantungan adalah keterbatasan dan keterbatasan
adalah rintangan yang sulit bagi kedaulatan. Menarik sekali untuk membincangkan
bagaimana Allah yang mutlak itu tidak bergantung pada siapapun dan kepada
apapun karena kesan pemula bagi para pembelajar teologi alan bertanya, kalau
Allah yang mutlak berdaualt itu tidak membutuhkan apa pun dan siapapun mengapa
perlu misi? Ini adalah sebuah pertanyaan panjang yang semoga pada akhir makalah
pendek ini dapat terjawab.
Yang sangat menantang dari kedaulatan Allah adalah
kewenangan azali yang melekat padaNya untuk menetapkan hukum hidup bagi
ciptaanNya.[4]
Kita sedang berada pada tahapan yang paling krusial dari keberadaan Allah yang
berdaulat. Kata yang tepat untuk kesan
pertama bagi Allah yang berdaulat dalam kontek hukum hidup adalah otoriterisme.
Tantangan untuk menunjukkan pribadi Allah yang berdaulat namun yang memiliki
kepribadian Mahakasih adalah suatu hal yang perlu dijabarkan secara hati-hati.
Para pengkritik Alkitab telah melepaskan peluru kritik mereka dalam hal ini.
Mereka meminta para teolog ortodok untuk menjelaskan secara hubungan antara
sifat azali Allah yang Mahakasih dengan kedaulatan azaliNya? Bukankah ada
paradok yang saling berbenturan di situ?
Jawaban bagi para pengkritik Alkitab tentu adalah jawaban
kritis yang tak selalu bermakna rohani. Mereka mengajukan pertanyaan itu untuk
tujuan yang tidak tulus dan mengada-ada. Oleh karena itu jawaban paling praktis
dan palign tepat bagi mereka adalah: Itulah salah satu kedaulatan Allah yang
absolut. Dia absolut dalam sifat azaliNya yang Mahakasih dan absolut dalam
kehendakNya. keduaNya dapat dijadikanNya tidak bergesekan dan tidak berbenturan
karena justru Dia bergerak dalam kedaulatan yang mahamutlak sehingga tidak
mungkin bertentangan.
Dapat dijelaskan prinsip-prinsip
kedaulatan Allah, namun disini hanya membatasi wacana pada topik
kedaulatan Allah dalam perspektif misi. Namun demikian marilah kita melihatnya
secara sepintas prinsip-prinsip kedalautan Allah untuk membantu membuka wawasan
teologis kita secara sederhana.
Allah yang berdaulat adalah Allah Pencipta
dan Pemelihara alam semesta. Allah orang
Kristen sejati adalah Allah yang menciptakan alam semesta sekaligus
memeliharanya. Allah yang menciptakan segala sesuatu
(Kej. 1) berarti Dia adalah sumber segala sesuatu. Ia yang menciptakan manusia,
berarti Ia jugalah sumber kita mengerti manusia. Alangkah tidak masuk akalnya
jika seorang manusia mau mengerti manusia bukan dari Allah, tetapi dari
ilmu-ilmu dunia bahkan dari interpretasi sendiri. Selain sebagai Pencipta,
Allah juga adalah Pemelihara ciptaan-Nya. Bukan seperti Deisme yang mengajarkan
bahwa setelah menciptakan alam semesta, Allah meninggalkan ciptaannya untuk
diatur oleh hukum alam, Kekristenan sejati mengajarkan bahwa Allah yang
mencipta juga adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya. Ini membuktikan adanya
providensia Allah. Pemeliharaan Allah atas alam juga mencakup adanya anugerah
umum Allah untuk mencegah (bukan menghilangkan) kerusakan alam ini. Hal ini
memberi kekuatan bagi iman kita di kala kita putus asa.
Allah yang berdaulat adalah Allah yang
Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun. Allah
adalah Tuhan dan Pencipta segala sesuatu, oleh sebab itu Ia pasti tidak sama
dengan ciptaan. Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan di bagian ini adalah
Allah itu Kekal, sedangkan manusia itu relatif/sementara. Allah yang Kekal
berarti Allah yang melampaui ruang dan waktu, Ia bekerja dan menetapkan sebelum
dunia dijadikan. Dalam hal keselamatan pun, Allah telah menetapkan beberapa
orang untuk menjadi umat-Nya.
Allah yang berdaulat adalah Allah yang
Berkuasa mutlak. Tidak ada anazir apapun yang dapat mengurangi atau
menambahi kuasaNya. Dia adalah Allah yang Mahakuasa sehingga tidak adalagi yang
dapat disamakan denganNya. Karena Dia mutlak, maka kuasaNya juga absolut. Tidak
ada unsur yang dapat membatalkan, menghalangi, dan atau mengurangi.
Allah yang berdaulat adalah Allah yang
menyatakan diri-Nya di dalam Tiga Pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan
Allah Roh Kudus. Topik Trinitas memang adalah hal yang penuh jebakan.
Kita harus secara hati-hati menjelaskan, karena penjelasan yang tidak tepat
dapat mengkhamiri kebenaran sejati Trinitas. Kita tidak dalam domain membahas konsep
Trinitas, jadi kita hanya menyebutnya sepintas saja. KedaulatanNya yang hadir
dalam tiga Pribadi harus kita terima apa adanya seperti yang dijelaskan oleh
Alkitab. Upaya teologis untuk menjelaskannya seringkali justru mengaburkan
pengertiannya yang sejati. Jadi, dari pada kita terjebak dalam kesalahan yang
fatal, lebih baik kita menerimannya apa adanya. Memang Dia adalah Allah
Trinitas.
Allah yang berdaulat adalah Allah yang
transenden (nun jauh di sana) sekaligus imanen (yang dekat dengan kita).
Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden
(nun jauh di sana), sekaligus Allah yang dekat dengan umat-Nya (imanen). Di
dalam Perjanjian Lama, konsep ini dijelaskan. Allah menunjukkan kekudusan-Nya
kepada umat Israel di Gunung Sinai, sehingga selain Musa, tidak ada yang boleh
naik ke Gunung Sinai (baca: Kel. 19). Di sisi lain, Allah menunjukkan imanensi-Nya
dengan menyebut umat Israel sebagai anak-Nya (baca: Kel. 4:22, 23; Hos. 11:1).
Di Perjanjian Baru, kita juga mendapati hal serupa. Penulis Ibrani mengingatkan
bahwa kita jangan sekali-kali menolak Kristus atau pun Allah, “Sebab Allah kita
adalah api yang menghanguskan.” (Ibr. 12:29) Di sisi lain, Allah juga
digambarkan sangat mengasihi umat pilihan-Nya, sehingga mereka disebut
anak-anak-Nya, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab
kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi
kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita
berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh
kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” (Rm. 8:14-16)
Allah yang berdaulat adalah Allah yang
menyatakan diri-Nya. Allah yang berdaulat adalah Allah yang
berdaulat mutlak dan rela membatasi diri-Nya untuk dikenal oleh ciptaan-Nya
(Rm. 1:19). Penyataan diri Allah ini berkaitan dengan atribut-atribut Allah
yang dikomunikasikan. Penyataan Allah yang paling dapat dipahami oleh manusia
yang paling ateheis pun adalah keteraturan alam semesta. Sudut pandang para astronout
Unisoviet (sosialis komunis) dan Amerika (Kristiani) ketika berada di luar
atmosfher bumi menjelaskan kealfaan mereka dan menggambarkan kedaulatan Allah
yang terejawantahkan lewat ciptaanNya yang mahasempurna. Baik atheis maupun Kristiani liberal, semuanya tertunduk dan mengakui
kedaulatan Allah yang mencipta alam semesta dengan luar biasa.
Allah yang berdaulat adalah Allah yang
Mahakasih sekaligus Mahaadil (dan Mahakudus). Allah
yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kedua atribut
Allah ini tidak bisa dipisahkan. Alkitab mengajarkan bahwa Allah itu Mahakasih
sekaligus Mahaadil. Di dalam kasih-Nya, Ia tetap menghukum umat-Nya yang
bersalah (baca: Why. 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab
itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”)
Yang paling terakhir adalah, Allah yang berdaulat adalah
Allah yang berdaulat dalam keselamatan. Topik inilah yang akan kita kaji dengan
mendalam karena kaitannya dengan penginjilan. Kalau Allah berdaulat dalam
keselamatan, maka dimanakah letak tanggung jawab manusia. Benarkah bahwa Allah
berdaulat dalam keselamatan adalah satu pertanyaan tetapi pertanyaan
selanjutnya apakah tanggung jawab manusia dalam keselamatan adalah suatu sisi
pertanyaan yang lain. Kedua hal ini memiliki lubang-lubang jebakan yang
berbahaya sehingga tidak mudah untuk menguraikannya. Kita tidak dapat dengan
serta merta memeluk suatu kebenaran tetapi kita mengabaikan kebenaran yang
lain. Hal ini justru telah membuat kebenaran yang kita peluk menjadi suatu yang
tidak benar karena telah melukai kebenaran yang lain. J.I Packer menulis: “Terdapat
kontroversi yang telah berlangsung lama dalam gereja mengenai apakah Allah
sungguh-sungguh adalah Tuhan atas tindakan manusia dan atas iman yang
menyelamatkan. Situasi yang sebanrnya tidak seperti apa yang tampak
dipermukaan. Tidak benar ada orang Kristen yang percaya pada kedaulatan ilahi
dan ada yang tidak. Sebenarnya, semua orang Kristen percaya pada kedaulatan
ilahi, tetapi sebagian mereka tidak menyadari hal ini sehingga dengan tegas
menolaknya. Apa penyebab sikap salah ini? Akar permasalahannya ini sama seperti
dalam kebanyakan kasus kesalahan dalam gereja, yaitu hadirnya spekulasi
rasionalis, penekanan yang berlebihan pada konsistensi rasionalis, keengganan
untuk mengakui adanya misteri dan pengakuan bahwa Allah lebih bijak dari pada
manusia. Akbiatnya, alkitab diletakkan dibawah tuntutan logika manusia.”[5]
Apabila Allah berdaulat dalam keselamatan, maka dimanakah
letak tanggung jawab manusia. Bukankah manusia adalah mahluk moral yang mana
tindakannya harus dipertanggungjawabkan kelak di tahta pengadilan Allah.
Bukankah manusia harus bertangung jawab dalam merespon berita keselamatan dari
Injil. Kalau Allah memang berdaulat, maka apa dasar Allah meminta
pertanggungjawaban dari manusia atas berita Injil yang dia tolak atau dia
terima? Bukankah hal yang absurb meminta pertanggunjawaban jika sebenarnya
keselamatan adalah kedaulatan Allah. Jika keselamatan telah direncanakanNya,
apakah mungkin Dia mengingkari keadilanNya dengan meminta pertanggungjawaban?
Jawaban bagi pertanyaan yang beruntun tadi tentulah tidak
sesederhana membalik telapak tangan. Namun bagaimanapun juga kita harus
menjawabnya. Memang ada pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, tapi dalam
kontek ini, pertanyaan tersebut memerlukan jawaba. Bukan untuk sekedar
memuaskan dahaga logika, tetapi karena merupakan landasan yang mendasar dari
semua kegiatan misi penginjilan.
Ada bahaya yang mengancam apabila orang menekankan
kedaulatan Allah. Orang yang terlalu menekankan kedaulatan Allah akan cenderung
bertindak apatis terhadap misi penginjilan. Mereka akan mengatakan bahwa Allah
telah mentakdirkan orang diselamatkan, dan sebagian untuk binasa. Kita tidak
perlu mengutus misionari karena Allah dapat menyelamatkan mereka dengan caraNya
sendiri. Kita jangan mengambil bagian yang adalah domainnya Tuhan. Kelompok ini
dapat saja mengatakan bahwa proyek-proyek misi adalah keniscayaan dan
pemborosan, toh semua yang ada akan kembali kepada kedaulatan Allah. Bagaiman
pun kerasnya kita menginjil, tetapi toh semua berbalik kepada kedaulatanNya.
Sikap ini akan mencipta suatu kelompok yang apatis. Mereka tidak lagi
memikirkan misi dan mencoba berlindung pada paham bahwa biarlah Allah dalam
kemuliaanNya yang melakukan caraNya yang mulia untuk menjangkau dan menyelatkan
orang. Itu memang domainNya jadi jangan mencuri hak Tuhan. Sungguh berbahaya bukan?
Apa yang ada dalam benak kita bila gereja akhirnya mengadobsi pemahaman seperti
ini? Yang pertama, adalah mereka menjadi kelompok orang yang justru mengabaikan
kebenaran berita pengabaran Injil yang ditekankan oleh para rasul. Rasul Paulus
sebagai bapak misionari PB menulis dalam I Korintus 9:16: “Karena jika aku
memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu
adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.”
Penekanan bahwa keselamatan adalah kedaulatan Allah
adalah kebenaran namun kebenaran ini tidak berhenti disini karena ada kebenaran
yang lain yang kebenarannya juga sama dan sebobot. Dengan menekankan satu
kebenaran dan mengabaikan kebenaran yang lain, justru akan menghamiri kebenaran
tersebut. Ada banyak ayat-ayat yang mendorong kita untuk mengerjakan misi,
tetapi yang paling kuat mungkin adalah Matius 28:18-20: “Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman.”
Amanat Agung Tuhan Yesus tak terbantahkan sebagai
landasan kuat dan kokoh untuk menegerjakan proyek Misi. Tidak ada yang dapat
menyangkalinya termasuk orang yang menekankan kedaulatan Allah. Inilah dasar
yang menjadi landasan bagi sekelompok orang yang menekankan tanggung jawab
manusia. Mereka mengerjakan proyek misi dan menginvestasikan waktu, dana,
sarana, dan segalam hal untuk pekerjaan misi. Mereka mengirimkan para misionari
keseluruh penjuru bumi untuk mengikut apa yang disebut pelaksana Amanat Agung.
Tanggung jawab yang berat dan besar ini dipikul bukan hanya mengorbankan dana, atau
meterial bahkan termasuk nyawa. Sampai disini, pemahaman dan tindakan ini masih
benar. Namun, apabila tanggungjawab ini diperbesar lagi dengan mengatakan bahwa
keselamatan adalah sebuah proyek yang harus dapat diukur presentasi
keberhasilannya. Bila suatu cara atau pendekatan misi tertentu telah dikatakan
gagal melalui sebuah evaluasi, maka cara yang baru dapat dicoba, sampai
akhirnya kita mendapatkan sebuah hasil yang dapat diukur. Penekanan ini menunjuk bahwa keselamatan
orang adalah tanggung jawab orang percaya sehingga apapun akan digunakan agar
orang tersebut menjadi percaya. Hal ini kita jumpai dalam perjalanan sejarah
gereja khususnya ketika penguasa sebuah negara akhirnya menetapkan agama
Kristen sebagai agama nasional. Tidak boleh ada satupun dari warga negara yang
menolak agama Kristen dan Kristus. Pada tahapan politis, ternyata memang sangat
ampul karena gereja bertumbuh dengan pesat melebihi pertumbuhan apapun. Namun
benarkah tindakan seperti ini? Apakah memang keselamatan adalah tanggungjawab
moral orang percaya? Apakah keselatan adalah merupakan hasil dari kemanusiaan
semata? Bukankah kita memegang dogma bahwa keselamatan adalah anugerah?
Bukankah keselamatan adalah pemberian Allah semata-mata? Rasul Paulus menulis dalam Efesus 2:8, “Sebab karena kasih karunia kamu
diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,”
ADA APA DENGAN PREDESTINASI?
Predestinasi adalah sebuah konsep religius, yang
melibatkan hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Konsep teologis ini percaya
pada predestinasi, percaya bahwa sebelum Penciptaan, Allah telah menentukan
nasib alam semesta di seluruh waktu dan ruang. Calvinis berkeyakinan bahwa
Allahlah yang menentukan takdir kekal terhadap orang-orang, beberapa untuk
keselamatan oleh kasih karunia, sementara sisanya akan menerima penghukuman
kekal atas semua dosa mereka, bahkan dosa asal mereka.
Sebelum mempelajari seluk-beluk predestinasi, kita perlu
memahami lebih dahulu beberapa istilah penting yang sering dipakai dan
disalahpahami. Istilah-istilah itu adalah Foreordination: penentuan segala
sesuatu sejak kekekalan; Predestination: penentuan yang berhubungan dengan
keselamatan atau kebinasaan kekal sejak kekekalan; dan Election: penentuan
sebagian orang untuk diselamatkan sejak kekekalan.
Election merupakan salah satu bagian dari predestination,
sedangkan predestination sendiri merupakan salah satu bagian dari
foreordination. Doktrin tentang predestinasi merupakan salah satu doktrin yang
paling membingungkan dan sedikit dimengerti oleh orang Kristen[6].
Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi dan
bagaimana kita seharusnya menyikapinya:
- Orang menganggap doktrin ini berada di luar kapasitas manusia untuk memahaminya. Namun karena Alkitab mengajarkan predestinasi, karena itu kita tidak boleh mengabaikan apa yang telah Allah nyatakan. Ada beberapa aspek dari doktrin ini yang memang trans-rasional, karena selalu akan misteri setiap kali ciptaan ingin memahami Pencipta, tetapi itu bukan halangan untuk berhenti memahami doktrin ini sejauh yang Allah telah nyatakan. Karena Allah telah menyatakannya, sekalipun itu mungkin sungguh sulit untuk dipahami, kita harus mempelajarinya.
- Orang menganggap doktrin ini tidak berhubungan sama sekali dengan hal praktis. Doktrin ini dianggap hanya sebagai spekulasi filosofis dari rasio manusia yang ada di awan-awan (teoritis saja). Namun yang kita dapat amati adalah bahwa beberapa bagian Alkitab yang menyinggung tentang predestinasi justru berhubungan dengan hal praktis.
- Orang menganggap doktrin ini hanya dimiliki oleh sebagian denominasi/aliran theologi. Kata maupun ide predestinasi memang diajarkan oleh Alkitab (bukan produk theolog Reformed), misalnya Roma 8:29, 30; Efesus 1:5, 11 (NIV).
Apakah ketetapan Allah sejak kekekalan mencakup segala
sesuatu atau beberapa hal saja? Apakah ketetapan Allah bisa gagal? Seandainya
ketetapan tersebut mencakup segala sesuatu dan tidak bisa gagal berarti
predestinasi merupakan hal yang tidak terelakkan. Ayat-ayat Alkitab yang sangat
banyak dan bergamam konteks menunjukkan bahwa ketetapan Allah memang mencakup
segala sesuatu, baik besar maupun kecil dan tidak bisa batal. Apabila kita
menelitinya satu persatu tentu akan memakan waktu yang panjang dan kertas yang
disediakan dalam makalah ini tidak akan mencukupinya. Untuk itu kita hanya akan
mendaftakan ayat-ayat itu secara acak dan semoga itu dapat menjelaskan lebih
dari cukup untuk membuktikan predestinasi yaitu kedaulatan Allah dalam
keselamatan:
- Yohanes 6:44; tidak ada seorang pun yang dapat datang kepadaku jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa” apa yang termaktub dalam ayat ini? Pengamatan tanpa jeli pun dapat mengerti bahwa Allah Bapa adalah pribadi perancang keselamatan. Mari kita lihat ayat-ayat berikut dari perikop yang sama:
2.
Yohanes 6:37; Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan
datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.
Artinya Bapalah yangh memberikan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
- Yohanes 6:65; Lalu Ia berkata: "Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya."
4.
Yohanes 15:16 kita dapat baca pernyataan alkitab yang
lebih jelas lagi: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih
kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah
dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku,
diberikan-Nya kepadamu.”
Ayat-ayat ini
lebih menegaskan peranan mutlak dari Bapa dalam hal keselamatan. Tidak ada hal
yang dapat dilakukan oleh manusia jika Allah tak mengaruniakan itu kepadanya.
Jadi keselamatan itu adalah anugerah semata-mata dari ALLAH. Tidak ada hal
apapun dari manusia yang dapat menyebabkan keselamatan terjadi. Bahkan iman
sekalipun berasal dari Allah. Iman yang ada pada manusia itu bersumber dari
Allah dan dikaruniakan oleh Allah bagi siapa yang dikehendakiNya.
Artinya pemilihan tidak terletak pada kemauan atau tindakan
iman orang percaya. Iman memang dikaruniakan Allah kepada manusia tetapi
pemilihan bukan buah dari iman kita. Iman dalam hal ini bukan semacam guide
yang menolong kita memilih Allah. Allahlah yang memilih kita orang percaya dan
Allah mengaruniakan iman kepada kita untuk dapat mengikuti dan mempercayai Dia
(Kisah Para Rasul 13:48)
Rasul Paulus menjelaskan konsep ini dalam tulisannya
kepada jemaat di Roma: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka
juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya,
supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan
mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan
mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang
dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (8:29-30), dan surat
pastoralnya kepada jemaat di Efesus: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih
kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di
hadapan-Nya.” (1:4)
Doktrin predestinasi bukan sebagai doktrin yang terpisah
(berdiri sendiri). Doktrin ini didasarkan pada dua kebenaran utama. Pertama,
natur keberdosaan manusia. Semua manusia turut berdosa dalam Adam sebagai
perwakilan semua umat manusia (Roma 5:12-21). Manusia mengalami apa yang
disebut total depravity (kerusakan total). Efesus 2:3 “secara natur kita adalah
anak-anak kemurkaan”. Kebaikan manusia seperti apa pun tetap merupakan
kejahatan di mata Allah (Roma 3:9-20). Manusia tidak mungkin memilih Allah
karena mereka dikuasai oleh kuasa lain (Efesus 2:1-3; 2 Korintus 4:3-4). Alur
pemikiran ini menunjukkan bahwa produk manusiawi dengan segala kebajikannya
adalah barang fana yang tak dapat tahan uji dalam pencapaian hal-hal rohani.
“Tetapi kami sekalian seperti seorang najis jua dan segala kebenaran kami
seperti sehelai kain yang larah, sebab itu kami sekalianpun luruh seperti daun
dan kami dibawa oleh kejahatan kami seperti diterbangkan oleh angin.” (Yesaya
64:6)
Kedua, kedaulatan Allah yang mutlak. Segala sesuatu
ditetapkan oleh Allah berdasarkan kehendak-Nya sendiri. Walaupun secara
kronologis tidak bisa dibedakan, namun secara logis Allah lebih dahulu
menetapkan segala sesuatu lalu Ia mengetahui segala sesuatu. Jadi, ketetapan
Allah mendahului pengetahuan-Nya. Jadi master planNya telah ada terlebih dulu
baru kemudian penerapanNya. (Roma 9:11-21; Efesus 1:5; Yohanes 4:10)
Ada beberapa keberatan teologis yang mengemuka namun kita
mengerti selalu ada jawaban filosifis yang kiranya menolong. Pertanyaan itu
misalnya, karena Allah telah menetapkan sejak semula, kita tidak perlu
memberitakan Injil. Toh Allah sudah memilih siapa yang akan selamat dan siapa
yang akan binasa? Pertanyaan ini tentu bersifat pasifitas yang menyerang? Sebagai
manusia yang terbatas, kita tidak tahu siapa yang telah dipilih oleh Allah
untuk selamat. Oleh karena kita tidak tahu siapa yang kita tahu akan
diselamatkan, kita harus terus memberitakan Injil. Pemberitaan Injil adalah
bukti ketaatan kita kepada Allah. Dan kita hanya akan dapat mengerti jika telah
ada pembuktian iman dari seseorang yang telah menjadi percaya.
Pandangan Hiper Calvinis adalah pandangan yang terlalu.
Mereka menekankan sangat berat pada kedaulatan Allah sehingga melupakan
tanggungjawab manusia. Karena keselamatan itu pasti, maka walau kita berbuat
dosa sebesar apapun, kita pasti selamat. Allah menjamin orang pilihan dengan
cara memberikan kemauan dan kemampuan untuk taat. Orang yang telah diplihNya
untuk selamat, tentu terbuktinyatakan lewat perilaku kristiani yang taat
memuliakan Tuhan. Justru ketika seseorang hidup dalam kebebasan berbuat dosa,
maka pilihan atas dia sebagai umat terpilih menjadi meragukan. Adalah sangat
mungkin kita meragukan kelahirbaruan seseorang yang mengaku Kristiani, namun
dalam perilaku hidupnya berseberangan dengan berita Injil. Allah menolong umat
pilhanNya untuk hidup dalam kemenangan melawan tabiat dosa mereka. (Filipi
2:12-13)
Lantas bagaimanakah menghubungkan kedaulatan Allah disini
dengan tanggungjawab manusia? Kalau seandainya memang manusia tidak memiliki
peranan apapun dalam keselamatan, bukankah semua yang kita bicarakan ini adalah
sandiwara Allah semata. Bukankah manusia memiliki kehendak bebas?
Kalau keselamatan adalah pemberian (anugerah), maka
segala usaha apapun sejatinya tidak bermakna dalam keselamatan. Itu memang
anugerah semata-mata dan tidak ada hubungannya dengan apapun yang sifatnya
antropomorfis. Sampai disini kita berada pada jurang yang menganga lebar.
Jurang yang memisahkan antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia dalam
misi. Apa yang terjadi? Bukankah keduanya adalah sama-sama benar? mengapa
keduanya tidak dapat disatukan? Apakah memang keduanya adalah kebenaran yang
berjalan sendiri-sendiri? J.I Parker memberikan suatu terobosan praktis yang
sangat membantu dan sangat tepat dalam hal menjembatani jurang menganga ini.
SEBUAH ANTINOMI
ANTINOMI adalah dua kebenaran yang tampaknya tidak
bersesuaian. Antinomi muncul ketika ada dua kebenaran yang keduanya tidak dapat
disangkali tetapi tampak tidak dapat didamaikan. Keduanya sama-sama ditopang
oleh alasan yang kuat dan bukti yang jelas dan kuat sehingga layak dipercaya,
tetapai bagaimana mencocokkan keduanya masih merupakan misteri. Anda melihat
bahwa keduanya benar, tetapi anda tidak mengerti bagaimana keduanya dapat
sama-sama benar.[7]
Ada dua kebenaran yang mana keduanya memiliki landasan
yang valid dalam Alkitab. Kedaulatan Allah adalah hal yang tak tersangkali.
Tanggung jawab manusia dalam keselamatan juga adalah ajaran kitab suci Alkitab
yang memiliki landasan sangat kuat. Tetapi sekarang kita terjebak pada lobang
menganga yang sulit kita seberangi agar dapat menyinkronkan dan atau
menghubungkan kedua kebenaran ini.
Berbagai pendekatan yang sifatnya coba dijelaskan oleh
beberapa ahli, namun fakta yang ada adalah semakin lebarnya jurang tersebut.
Pendekatan teoritis yang coba dibangun kadang-kadang justru melahirkan
persoalan yang baru. Alih-alih cari solusi, fakta yang ada adalah semakin
memperkeruh suasana. J.I Packer kembali menulis: “Kita seharusnya tak terkejut
jika menemukan misteri seperti ini dalam Firman Allah, karena pencipta tidak
dapat sepenuhnya dipahami oleh ciptaanNya. Allah yang dapat kita pahami
sepenuhnya dan yang wahyuNya sama sekali tidak mengandung misteri pastilah
allah hasil imajinasi manusia dan sama sekali bukan Allah yang dinyatakan dalam
Alkitab.”[8]
Allah tentu bukan sedang berpolemik. Dia memang adalah
Pribadi Mahaagung sehingga kita hanya dapat memahami Dia sejauh Dia menyatakan
atau menyingkapkan diriNya atau firmanNya kepada kita. Bila ada hal yang
terselubung atau menjaid misteri yang tak terpencahkan oleh akal atau pikiran
logis manusiawi, itu hanya menerangkan keagungan dan kebasaranNya sebagai
Pribadi mahaagung danmaha segalanya.
Ketika kita bertemu dengan misteri ini, kita seharusnya
menjadi semakin takjub dan memuliakan Tuhan. Sikap mencurigai dan atau
mempertanyakan keabsahan berita Alkitab, adalah suatu sikap yang sejatinya
menunjuk pada kepicikan dan kekerdilan cara kita memhami Allah. Para pengkritik
Alkitab yang mencoba meneliti dan mengungkap ketidaksinkronan berita atau
informasi dalam Alkitab, sehingga mereka meragukan keabsahan Alkitab, hanyalah
menerangkan keterbatasan dan kekerdilan pemahaman mereka. Cristian Science
menitikberatkan logika pada pemahaman teologis, sehingga mereka akhirnya
terjebak pada kegagalan memahami Allah. Sebab Allah yang sejati adalah Allah
yang melebihi science. Dia jauh melampaui penalaran ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dia juga jauh melampaui hal-hal yang spiritual, sebab Dia bukanlah
Allah yang spiritual saja. Karena Allah itu mahasegalanya, maka nalar, spiritual,
dan sebagainya, yang kita coba gunakan
sebagai instrument untuk menjelaskan Pribadi Mahasegalanya, hanya akan
menghasilkan pemahaman sebatas apa yang dapat diterima oleh nalar, sprititual,
dan sebagainya yang kita miliki. Ringkasnya, kita tak mungkin dapat
menghadirkan pemikiranNya dalam media kertas atau komputer yang kita miliki.
Dia jauh melampaui apapun dan siapapun.
Dalam Ulangan
29:29 tertulis: “ Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita,
tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai
selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.”
Berlebihankah jika kita mengatakan bahwa misteri antara kedaulatan Allah dan
tangung jawab manusia adalah sebuah antinomi yang menunjukkan kemuliah Tuhan?
Ketika kita bertemu dengan hal-hal yang penuh misteri seperti ini sejatinya
membuat kita tertunduk malu danmengakui keterbatasan kita dihadapan Tuhan.
Sikap ini tentu akan mendorong kelompok yang menekankan kedaulatan Allah
menjadi lebih mengasihi Tuhan dan semakin bergiat dalam pelayanan misi.
Pemahanan ini juga akan membantu orang-orang yang menekankan tanggung jawab
manusia dalam keselamatan untuk membatasi dirinya pada hal-hal tertentu saja
dan menyerahkan hal-hal yang menjadi domain Allah kepada DIA yang mengijinkan
misteri teologis ini tetap tersembunyi tanpa jawaban. Yang selanjutnya, kita
tidak perlu bersusah payah untuk mencari jalan untuk menghubungkan kedua fakta
antinomi ini dengan berbagai-bagai teori yang sudah jelas tadi dikatakan justru
memperkerush suasana teologis yang sedang kita bangun. Kalau toh itu memang
harus tetap tersembunyi, biarlah dia tetap tersembunyi. Toh, suatu kali kelak
bila Dia berkenan, kita bisa bertanya langsung kepadaNya di sorga?
Apakah sikap ini sebagai sebuah sikap yang menandakan
kemuduran? Tentu bila kita memndangnya dari persfektip negatif, bisa saja kita
berkata demikian. Tetapi bila kita mengambil sisi positipnya, ini justru
berdampak reformasi teologis. Kita akan mendapatkan berkatnya karena perselisihan
teologis yang telah berabad-abad antara para pengikut Calvin dan pengikut
Arminian dapat segera kita damaikan. Bukankah dengan menganut paham antinomi
ini, kita akhirnya bisa mengagungkan kemuliaanNya dan tetap melanjutkan tugas
misi kita memberitakan Injil Yesus Kristus sampai ke ujung-ujung bumi.
KESIMPULAN DAN APLIKASI
Penginjilan adalah tugas mulia yang pantas dan layak
dikerjakan sebagai proyek misi sepanjang masa bagi gerejaNya. Tidak ada alasan
untuk menunda dan atau membatalkan proyek ini. Tidak ada juga alasan teologis
dan filosofis untuk meninjau ulang tekanan Alkitabiah mengenai misi. Misi
adalah jantung dari kehidupan atau pergerakan misi dan sebagai indikator
penting dalam pertumbuhan gereja. Tanpa misi maka sejatinya gereja sedang
“mati”.
Misi menurut DR. Yakob Tomatala adalah mandat shalom
Allah kepada umatNya untuk menjadi
penikmat dan alat berkatNya. Menurut beliau, misi adalah tugas-tugas shalom
dari umat Allah (yang berkoinonia, berdiakonia, bermarturia, dan berkerigma,)
dengan bermisi (mission) untuk menjadi berkat melalui “penginjilan” yang
membawa pertumbuhan kehidupan umat Allah (pertumbuhan gereja).[9]
Dengan Misi, gereja menghadirkan sejahtera yang tetap dan
terus bereformasi[10].
Gereja missioner terbuktikan ketika geliat misi tetap menjadi motor yang
menyala sepanajgn masa dan bergerak berbanding lurus dengan dinamika gereja
Tuhan. Pemahanan akan kedaulatan Tuhan akan keselamatan mendorong gereja untuk
menjadi lebih giat dan semangat dalam setiap pergerakan misi. Gereja yang
memuliakan TUHAN yang berdaulat hanya
akan terbuktinyatakan ketika mereka menjadi pribadi yang bermisi.
Penginjilan dan pertumbuhan gereja adalah bagian integral
dalam misi. Uraian DR. Tomatala di atas memberikan signifikansi misi yang tak
dapat dipisahkan dari penginjilan yang berujung pada pertumbuhan gereja.
Pemahaman ini menjadi hal yang menarik karena mewartakan gereja yang misioner.
Sejatinya, gereja adalah gereja yang misioner (Banding, Teologi Misi, Ibid, hal 169 -182). Tanpa embel-embel atau slogan,
pada hakikatnya gereja memang misioner. Sejatinya semua gereja haruslah
misioner karena hakikiatnya memanglah demikian.
Misi mendatangkan sejahtera dalam hal ini berhubungan
dengan realita kehidupan sosial yang harus berubah ketika Injil menghampiri
seseorang. Sejahtera dalam hal ini harus diterjemahkan sebagai hal yang
holistik. Tidak terbatas pada realitas spiritual semata, tetapi juga menyangkut
hal yang bersifat jasmaniah. Seorang yang telah menerima Injil akhirnya memang
harus sejahtera secara rohani; dia menjadi pribadi yang matang dan dewasa dalam
imannya, serta menjadi sejahtera dalam hidup manusiawinya.
Tanggung jawab misi dalam hal ini sebagai suatu bagian
yang selaras dengan kedaulatan Allah (walau sepertinya keduanya tak dapat disandingkan
secara teoritis dogmatis), merupakan nafas dinamika gereja yang sehat dan
bertumbuh. Dengan menyadari kedaulatan Allah yang mutlak, maka gereja yagn
sehat adalah gereja yang bermisi. Sikap apatis seperti yang dikemas orang-orang
yang menganut teologi hiper calvinis, justru merupakan antiklimaks kedaulatan
Allah. Dengan menapikan tugas misi, gereja yang mengagungkan Allah yang
berdaulat, sejatinya sedang menyangkali keagunganNya.
Dua kebenaran yang sepertinya tak dapat didamaikan ini
bukan berarti bertentangan satu dengan yang lain. Justru itu adalah suatu
pertanda keagungan dari rahasia Allah yang hanya menginjinkan wahyuNya dipahami
sejauh mana Dia ijinkan. Siapakah kita sehingga kita harus menghakimi pencipta
kita? Rasul Paulus mengatakan: “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah
Allah? Dapatkah yang di bentuk berkata kepada yang membentuknya:
"Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" (Roma 9:20). Sebgai
ciptaanNya, sikap yang pantas adalah memberi tempat untuk rahasiaNya tetap ada
untuk menandakan keagunanNya yang tak terhingga. Fakta ini seharusnya menjadi
instrument yang membuat kita sebagai ciptaanNya tertunduk dan mengakui
keagunganNya yang maha segalanya.
Dengan mengambil sikap bijak seperti ini, gereja akan
menjadi instrumen misi yang dahsyat. Energi yang adalah potensi luar biasa akan
dapat disalurkan untuk memberitakan Injil sehingga pertumbuhan gereja yang ada
dalam koridor dan domain Allah akan terwujud nyatakan. Seperti yang ternyata
dari uraian tokoh pertumbuhan gereja, Prof. Peter Wagner: “ Pertmbuhan gereja
secara operasional menyangkut segala sesuatu yang mencakup soal membawa orang
yang tidak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus, masuk ke dalam
persekutuan dengan Dia dan membawa mereka menjadi anggota gereja yang
bertanggungjawab.”[11]
Kata kunci dari defenisi pertumbuhan gereja secara
operasional tadi adalah aksi atau tindakan aktif gereja dalam membawa berita
Injil ke dalam lokus utamanya yaitu dunia. Dunia dalam hal ini manusia dan
sleuruh ciptaanNya adalah sasaran diman Injil diberitakan sehingga rencana
shalomNya, terwujudnyatakan dalam koridor atau domain Allah yang berdaulat
penuh. Terpujilah Tuhan yang mulia dan biarlah kiranya InjilNya terus
diberitakan sehingga kemulian dan kedaulatanNya menjadi nyata melalui misi
aktif dan terencana dari gerejaNya. Haleluyah, amin.
DAFTAR PUSTAKA
ALKITAB, LAI, Terjemahan Baru
Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pusataka,
Jakarta, 1996
Tomatala, YAKOB, Teologi Misi, YT Leadership Foundation,
Jakarta, 2003
Packer, J.I., Penginjilan dan Kedaulatan Allah, Penerbit
Momentum, Surabaya, 2009
Erickson, Millard J., Christian Theology, 921
[10] Bandingkan dengan
pernyataan DR. Yakob Tomalata, bahwa dalam menadabuktikan dirinya sebagai
misioner, gereja harus menyatakan, hakikat (esse)nya yang memiliki sejahtera
(bene esse) yang harus dihidupnya secara konsisten.