Great Leader
with Great Impact in the Light of Jesus Christ
Oleh: Ps Natanael Sitepu, M.Th
Pada
bulan September ini saya akan diminta menyampaikan ceramah kepemimpinan di
retreat Persekutuan Mahasiswa Kristen Universitas Diponegoro, Semarang, dengan tema:
great leader, great impact. Teks yang menjadi rujukan yang
diberikan kepada saya oleh mereka adalah Matius 5:16, “Demikianlah
hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu
yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”. Dalam tulisan ini saya
ingin berbagi tentang apa yang saya dapatkan ketika mencoba meng-explored tentang tema dan teks diatas,
serta mengaitkan keduanya.
Pertama-tama
mari kita melihat apa yang dimaksud dengan “terang” itu sendiri. kata terang
dalam bahasa Yunani menggunakan kata fw/j (phos),
yang berarti “terang, suluh, pelita, api unggun”. Dalam bahasa Inggris
menggunakan kata “light”. Terang memiliki peran yang besar dalam hidup manusia.
Terang membantu manusia untuk melihat sesuatu di dalam kegelapan. Bila kita
mendengar kata terang maka kita semua akan mengarah kepada diri Yesus yang
mengatakan bahwa diri-Nya adalah Terang itu sendiri (Yoh. 9:5). Maka, ketika
para pengikut Kristus disebut sebagai terang dunia, itu menunjukkan suatu
konsep untuk meneladani Kristus. Istilah terang ini berkaitan dengan moral dan
spiritual bagi murid-murid Kristus, seperti yang dituliskan oleh Zodhiates:
“Metonimically, a light, the author or dispenser of moral and spiritual light,
a moral teacher, generally (Rom. 2:19)[1].
kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin, “mos” (tunggal),
atau “mores” (jamak), yang berarti kebiasaan, budaya, dan adat.[2]
Sejajar dengan kata etika, yang berasal dari kata Yunani “ethos”, yang artinya
“kebiasaan” atau “adat”[3].
Dengan demikian dapat dipahami bahwa moral menunjukkan gaya hidup seseorang
dalam kesehariannya. Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia.[4]
Moral biasanya dihubungkan dengan dengan kemampuan seseorang untuk bertindak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang baik atau jahat, benar atau salah.[5]
Great
leader adalah pemimpin
yang memiliki pengenalan (ginosko) akan Yesus Kristus, dia harus mengalami
Kristus dalam hidupnya. Moralitasnya harus berpijak kepada Yesus Kristus. Yesus
sendiri telah memberikan dampak yang kuat dalam sejarah. Gaya kepemimpinan yang
menghamba (servant leader) merupakan ciri khas dari Yesus Kristus. Dia berkata
kepada murid-murid-Nya, “…..Kamu tahu,
bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan
tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas
mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Markus 10:42-43). Yesus
menolak segala bentuk kekerasan, dan kepemimpinan tiran. Kita perlu melihat ajakan Yesus dalam Matius
11:29, “….belajarlah pada-Ku, karena Aku
lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Kelembutan
Tuhan Yesus adalah kelembutan yang sangat kuat, berwibawa, berotoritas, tidak
terbengkokkan, tidak tertaklukkan, tidak tertundukkan, tidak dapat diancam,
tidak terkuasai, tidak terkalahkan, tidak mau menyerah, tidak cengeng, dan
tidak sayang diri.[6] Kisah
Pencobaan di padang gurun adalah salah bukti dari kekuatan sebuah kelemah
lembutan dalam diri Yesus diantara sekian banyak bukti lainnya yang dicatat di
dalam Injil Sinoptik. Yesus hanya tunduk atau takluk kepada kehendak Bapa yang
mengutus-Nya (Lukas 22:42). Ini adalah kesejatian dari kelemah lembutan yang
terangkum oleh penguasaan diri. Di dalam dunia ini ada 3 zat yang lembut,
tetapi dampaknya luar biasa, yaitu: api, angin, air. Api dalam mesin pesawat
atau kereta api listrik mampu menggerakkan kedua benda tersebut dalam kecepatan
tertentu. Angin dalam ban mobil dapat menopang beban truk kontainer yang
memiliki berton-ton berat. Air dapat dijadikan pembangkit listrik. Air dapat
memutar turbin di PLTA.[7]
Pemimpin yang luar biasa, dengan dampak yang luar biasa
dapat diukur sejauh mana dia telah meneladani Kristus, sehingga dia layak
berkata, “follow me!”, atau “that’s the way!” ketika dia mengatakan “Follow
me!”, orang-orang yang mengikuti dia mengalami dampak positif transformatif.
Ketika dia berujar, “that’s the way!” orang-orang dapat mempercayakan diri
kepada arah yang ditunjukkannya. Pemimpin yang luar biasa dapat menamkan rasa
percaya diri bagi orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin luar biasa
patut dicontoh. Walk the talk,
melakukan apa yang diucapkannya. Ini adalah sesuatu yang sangat penting.
Mengapa? Karena kredibilitas seorang pemimpin justru dibangun lewat konsistensinya
melakukan apa yang diyakini dan disuarakannya. Pakar kepemimpinan Kouzes &
Pousner, mengatakan, “if you don’t
believe in the messenger, you will not believe the message”.[8]
Jadi, pemimpin harus benar-benar memahami dan memegang teguh nilai-nilai yang
diwariskan oleh Kristus pada masa inkarnasi-Nya, serta mengkomunikasikannya
secara genuine kepada orang-orang
yang dipimpinnya. Jangan sampai menjadi pemimpin yang manipulatif, menggunakan
aya-ayat alkitab untuk melegitimasi perbuatannya.
Tapi satu hal yang perlu diingat sebagaimanapun luar
biasanya sebagai pemimpin, kita tetap akan memiliki batasnya. Kepemimpinan
bukan perlu dipertahankan dengan mati-matian. Ada saat memimpin ada saat
dipimpin. Perlu ada regenerasi. Maka letak sebuah kehebatan dan dampak
kepemimpinan, bila seorang pemimpin mampu mencetak pemimpin baru. Seorang
pemimpin yang ketika masa kepemimpinannya berakhir, lalu tidak ada seorangpun
yang mampu menggantikannya, bukanlah seorang pemimpin yang luar biasa. Pada klimaksnya
seorang pemimpin terdapat dalam ucapan
Yesus, “…supaya
mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.
Wahai para pemimpin, ingatlah! Segala kemuliaan bagi Bapa di Sorga, bukan
kemuliaan diri sendiri. Lakukanlah segala sesuatu untuk Tuhan, bukan untuk diri
sendiri, jangan ada agenda pribadi yang tersembunyi. Jadilah pemimpin yang
memberdayakan, bukan memperdayakan. Selamat menjadi pemimpin dengan dampak yang
besar. Sebagai penutup saya teringat Blaise Pascal dalam karyanya Pensées yang
menyatakan bahwa: “Mengenal Allah tanpa
mengenal kerusakan kita sendiri membuat kita menjadi sombong. Sementara,
mengenal kerusakan kita sendiri tanpa mengenal Allah membuat kita putus asa.
Maka, mengenal Yesus Kristus memberikan keseimbangan, karena Dia menunjukkan
kepada kita siapa Allah dan juga kerusakan kita sendiri”. Yesus adalah
Terang yang inspiratif bagi para pemimpin. Catatan ini jauh dari sempurna,
sangat terbuka untuk dikoreksi dan diperlengkapi. Soli Deo Gloria!
[1] Billy Michael Manopo,
Studi eksegetis Matius 5:13-16 dan Implikasinya Bagi Orang Percaya, (Batu:
Institut Injil Indonesia, 2008), hlm.
39.
[2] K. Barten, Etika,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 5.
[3] Nola J. Opperwall,
“Morals” dalam Geoffrey W. Bromiley, (Gen.ed), International Standart Bible
Encyclopedia, Vol. Three: K-P, (Grand Rapids Michigan: William B. Eerdmands
Publishing Company, 1992), p. 411.
[4] K. Barten, Etika, Op.
cit. hlm. 4.
[5] Yosafat Bangun,
Integritas Pemimpin Pastoral, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm. 59.
[7] Bnd. Ibid, hlm. 158.
[8] Ekuslie Goestiandi,
Trilogi Pembelajaran Seri kepemimpinan, Jakarta: Kontan Publishing, 2012, hlm.
7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar