Sekretariat STTS

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI SUNEIDESIS

Sekretariat:

Komplek Pertokoan Pulomas Blok XI/2 Jl. Perintis Kemerdekaan Jakarta Timur

e-mail: conscience.foundation@hotmail.com Telepon: 021-93555867, 082122715676

Selasa, 03 September 2013

Great Leader with Great Impact in the Light of Jesus Christ



Great Leader with Great Impact in the Light of Jesus Christ
Oleh: Ps Natanael Sitepu, M.Th


Pada bulan September ini saya akan diminta menyampaikan ceramah kepemimpinan di retreat Persekutuan Mahasiswa Kristen Universitas Diponegoro, Semarang, dengan tema: great leader, great impact. Teks yang menjadi rujukan yang diberikan kepada saya oleh mereka adalah Matius 5:16,  “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”. Dalam tulisan ini saya ingin berbagi tentang apa yang saya dapatkan ketika mencoba meng-explored tentang tema dan teks diatas, serta mengaitkan keduanya.
Pertama-tama mari kita melihat apa yang dimaksud dengan “terang” itu sendiri. kata terang dalam bahasa Yunani menggunakan kata fw/j (phos), yang berarti “terang, suluh, pelita, api unggun”. Dalam bahasa Inggris menggunakan kata “light”. Terang memiliki peran yang besar dalam hidup manusia. Terang membantu manusia untuk melihat sesuatu di dalam kegelapan. Bila kita mendengar kata terang maka kita semua akan mengarah kepada diri Yesus yang mengatakan bahwa diri-Nya adalah Terang itu sendiri (Yoh. 9:5). Maka, ketika para pengikut Kristus disebut sebagai terang dunia, itu menunjukkan suatu konsep untuk meneladani Kristus. Istilah terang ini berkaitan dengan moral dan spiritual bagi murid-murid Kristus, seperti yang dituliskan oleh Zodhiates: “Metonimically, a light, the author or dispenser of moral and spiritual light, a moral teacher, generally (Rom. 2:19)[1]. kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin, “mos” (tunggal), atau “mores” (jamak), yang berarti kebiasaan, budaya, dan adat.[2] Sejajar dengan kata etika, yang berasal dari kata Yunani “ethos”, yang artinya “kebiasaan” atau “adat”[3]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa moral menunjukkan gaya hidup seseorang dalam kesehariannya. Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia.[4] Moral biasanya dihubungkan dengan dengan kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang baik atau jahat, benar atau salah.[5]
Great leader adalah pemimpin yang memiliki pengenalan (ginosko) akan Yesus Kristus, dia harus mengalami Kristus dalam hidupnya. Moralitasnya harus berpijak kepada Yesus Kristus. Yesus sendiri telah memberikan dampak yang kuat dalam sejarah. Gaya kepemimpinan yang menghamba (servant leader) merupakan ciri khas dari Yesus Kristus. Dia berkata kepada murid-murid-Nya, “…..Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Markus 10:42-43). Yesus menolak segala bentuk kekerasan, dan kepemimpinan tiran.  Kita perlu melihat ajakan Yesus dalam Matius 11:29, “….belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Kelembutan Tuhan Yesus adalah kelembutan yang sangat kuat, berwibawa, berotoritas, tidak terbengkokkan, tidak tertaklukkan, tidak tertundukkan, tidak dapat diancam, tidak terkuasai, tidak terkalahkan, tidak mau menyerah, tidak cengeng, dan tidak sayang diri.[6] Kisah Pencobaan di padang gurun adalah salah bukti dari kekuatan sebuah kelemah lembutan dalam diri Yesus diantara sekian banyak bukti lainnya yang dicatat di dalam Injil Sinoptik. Yesus hanya tunduk atau takluk kepada kehendak Bapa yang mengutus-Nya (Lukas 22:42). Ini adalah kesejatian dari kelemah lembutan yang terangkum oleh penguasaan diri. Di dalam dunia ini ada 3 zat yang lembut, tetapi dampaknya luar biasa, yaitu: api, angin, air. Api dalam mesin pesawat atau kereta api listrik mampu menggerakkan kedua benda tersebut dalam kecepatan tertentu. Angin dalam ban mobil dapat menopang beban truk kontainer yang memiliki berton-ton berat. Air dapat dijadikan pembangkit listrik. Air dapat memutar turbin di PLTA.[7]
Pemimpin yang luar biasa, dengan dampak yang luar biasa dapat diukur sejauh mana dia telah meneladani Kristus, sehingga dia layak berkata, “follow me!”, atau “that’s the way!” ketika dia mengatakan “Follow me!”, orang-orang yang mengikuti dia mengalami dampak positif transformatif. Ketika dia berujar, “that’s the way!” orang-orang dapat mempercayakan diri kepada arah yang ditunjukkannya. Pemimpin yang luar biasa dapat menamkan rasa percaya diri bagi orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin luar biasa patut dicontoh. Walk the talk, melakukan apa yang diucapkannya. Ini adalah sesuatu yang sangat penting. Mengapa? Karena kredibilitas seorang pemimpin justru dibangun lewat konsistensinya melakukan apa yang diyakini dan disuarakannya. Pakar kepemimpinan Kouzes & Pousner, mengatakan, “if you don’t believe in the messenger, you will not believe the message”.[8] Jadi, pemimpin harus benar-benar memahami dan memegang teguh nilai-nilai yang diwariskan oleh Kristus pada masa inkarnasi-Nya, serta mengkomunikasikannya secara genuine kepada orang-orang yang dipimpinnya. Jangan sampai menjadi pemimpin yang manipulatif, menggunakan aya-ayat alkitab untuk melegitimasi perbuatannya.
Tapi satu hal yang perlu diingat sebagaimanapun luar biasanya sebagai pemimpin, kita tetap akan memiliki batasnya. Kepemimpinan bukan perlu dipertahankan dengan mati-matian. Ada saat memimpin ada saat dipimpin. Perlu ada regenerasi. Maka letak sebuah kehebatan dan dampak kepemimpinan, bila seorang pemimpin mampu mencetak pemimpin baru. Seorang pemimpin yang ketika masa kepemimpinannya berakhir, lalu tidak ada seorangpun yang mampu menggantikannya, bukanlah seorang pemimpin yang luar biasa. Pada klimaksnya seorang pemimpin terdapat dalam  ucapan Yesus, “…supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga. Wahai para pemimpin, ingatlah! Segala kemuliaan bagi Bapa di Sorga, bukan kemuliaan diri sendiri. Lakukanlah segala sesuatu untuk Tuhan, bukan untuk diri sendiri, jangan ada agenda pribadi yang tersembunyi. Jadilah pemimpin yang memberdayakan, bukan memperdayakan. Selamat menjadi pemimpin dengan dampak yang besar. Sebagai penutup saya teringat Blaise Pascal dalam karyanya Pensées yang menyatakan bahwa: “Mengenal Allah tanpa mengenal kerusakan kita sendiri membuat kita menjadi sombong. Sementara, mengenal kerusakan kita sendiri tanpa mengenal Allah membuat kita putus asa. Maka, mengenal Yesus Kristus memberikan keseimbangan, karena Dia menunjukkan kepada kita siapa Allah dan juga kerusakan kita sendiri”. Yesus adalah Terang yang inspiratif bagi para pemimpin. Catatan ini jauh dari sempurna, sangat terbuka untuk dikoreksi dan diperlengkapi. Soli Deo Gloria!




[1] Billy Michael Manopo, Studi eksegetis Matius 5:13-16 dan Implikasinya Bagi Orang Percaya, (Batu: Institut Injil     Indonesia, 2008), hlm. 39.
[2] K. Barten, Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 5.
[3] Nola J. Opperwall, “Morals” dalam Geoffrey W. Bromiley, (Gen.ed), International Standart Bible Encyclopedia, Vol. Three: K-P, (Grand Rapids Michigan: William B. Eerdmands Publishing Company, 1992), p. 411.
[4] K. Barten, Etika, Op. cit. hlm. 4. 
[5] Yosafat Bangun, Integritas Pemimpin Pastoral, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm. 59.
[6]  Ibid. hlm. 158.
[7] Bnd. Ibid, hlm. 158.
[8] Ekuslie Goestiandi, Trilogi Pembelajaran Seri kepemimpinan, Jakarta: Kontan Publishing, 2012, hlm. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar