Sekretariat STTS

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI SUNEIDESIS

Sekretariat:

Komplek Pertokoan Pulomas Blok XI/2 Jl. Perintis Kemerdekaan Jakarta Timur

e-mail: conscience.foundation@hotmail.com Telepon: 021-93555867, 082122715676

Minggu, 22 September 2013

Esensi Kehambaan Sebagai Landasan Kepemimpinan Aktual



Esensi Kehambaan Sebagai Landasan Kepemimpinan Aktual 
Gembala Sidang Gereja Bethany Indonesia Pulomas
Oleh: Ps Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th

“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.” (1 Yohanes 2:6)



Sebuah Pengantar

Etos kepemimpinan merupakan dua kata yang sangat menarik. Kepemimpinan sejatinya memang adalah suatu dunia yang tak lepas dari etos. Kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melakukan suatu perbuatan adalah penekanan khusus dari arti kata etos (Verkuil, 1995:15). Pemimpin harus melandaskan tindakan memimpin dengan mendasarkannya pada kesusilaan yang patut, perasaan batinnya yang terdalam, serta kecenderungan hati nuraninya yang paling murni. Inilah yang disebut dengan kata wajib hidup sama seperti Kristus.

Pemimpin yang memimpin dengan melandaskan kepemimpinan dari teladan hidup Kristus adalah bukti nyata bahwa seorang pemimpin telah hidup di dalam Kristus. Tanpa dapat melihat tanda itu, maka seorang pemimpin harus diuji keberadaannya apakah dia adalah pemimpin Kristen yang sejati.

Banyak harapan dan hasrat yang ditujukan kepada para pemimpin, namun bila pemimpin tidak tinggal di dalam Kristus, maka harapan itu akan menjadi harapan-harapan kosong. Ini penting dimengerti karena memimpin tanpa Kristus akan menjadi pepesan kosong bila itu dikaitkan dengan kesusilaan, perasaan batin, dan hati nurani. Tanpa Kristus, maka kepemimpinan tidak akan mendapatkan terang Roh Kudus yang sejatinya adalah kekuatan untuk masuk dalam etos kepemimpinan yang maksimal.

Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi. Setiap kali anda berusaha mempengaruhi cara berpikir, perilaku, atau perkembangan orang menuju pencapaian suatu tujuan dalam kehidupan pribadi atau profesional mereka, anda sedang menjalankan peran sebagai pemimpin. Kepemimpinan adalah suatu tindakan yang sama intimnya seperti kata-kata  bimbingan dan dorongan kepada seseorang yang sangat dicintai atau sama formalnya dengan instruksi yang melewati suatu garis komunikasi yang luas dalam suatu organisasi. Kepemimpinan bisa saja menumbuhkembangkan karakter dan rasa harga diri dalam diri anak-anak dan mendorong keakraban yang lebih besar dan pemenuhan dalam hubungan personal. Kepemimpinan itu juga menyangkut pendistribusian sumber daya dalam suatu organisasi untuk mencapai atau menyelesaikan suatu tujuan tugas tertentu.[1]

Mengelola pengaruh dengan benar adalah aktivitas memimpin yang praktis yang sehat. Ini menandakan bahwa setiap aktifitas memimpin adalah merupakan aktivitas aktip yang harus dilandaskan pada kesusilaan. Tanpa itu, maka pengaruh dapat menjadi tidak terkendali dan liar. Semua orang dapat mengeri bahwa ini adalah pola kepemimpinan yang sakit yang akhirnya berujung pada otoriterisasi. Semua dapat mahfum bahwa otoriterisasi adalah penyakit yang paling umum kepemimpinan. Itu bukan saja terbatas dalam kepemimpinan secara umum, pun juga ada dalam kepemimpinan berbasis rohani seperti gereja.

Sebagai gembala sidang, ia sejatinya adalah pemimpin rohani yang memiliki pengaruh signifikan. Ia secara otomatis memiliki kuasa yang kuat baik secara organisasi maupun secara pribadi. Secara organisasi ia dibekali kuasa secara struktural yang mana hal ini menjadi landasan dalam setiap tindakan operasioanalnya. Ia berhak melakukan hal-hal tertentu atas nama organisasi dan juga berhak untuk tidak melakukan sesuatu juga berdasarkan organisasi. Secara pribadi, ia adalah seorang pemimpin yang didalamnya melekat kuasa. Kuasa dari tempat yang  mahatinggi yaitu kuasa atau mandat ilahi. Pendeta atau gembala sidang yang mana atasnya diteguhkan sebagai pejabat gereja atas nama Allah Trinitas, melekat kuasa atau mandat ilahi yang bersifat spiritual.

Sejatinya gembala sidang adalah pemimpin yang disertai dengan mandat atau kuasa. Mandat atau kuasa itu adalah suatu dimensi pengaruh yang bobotnya besar. Pengaruh akibat mandat ilahi serta kuasa organisasi, menempatkan seorang gembala pada posisi strategis dalam kepemimpinan. Strategis karena ia tidak hanya diebekali kuasa organisasi, tetapi juga mandat yang bersifat ilahi. Posisi strategis inilah yang menjadi tantangan bagi kepemimpinan seorang gembala sidang. Keberhasilannya adalah didasarkan atas ketaatannya pada keputusan yang kokoh untuk mengikuti etos kepemimpinan Yesus Kristus sebagai junjungan yang tertinggi. Tanpa itu, gembala sidang hanyalah seorang pribadi yang tak berbeda dengan pemimpin umum lainnya. Menjadi gembala, adalah pemimpin yang sejatinya menjadikan etos kepemimpinannya berdasarkan teladan hidup Yesus Kristus.


Perlunya sebuah Batasan


Mengingat betapa luasnya sifat dan aktualisasi kepemimpinan berbasis etos Kristus, namun betapa sempitnya ruang bagi paper singkat ini, maka penulis menitikberatkannya pada esensi sikap kehambaan yang melandasi tindakan kepemimpinan aktual seorang gembala sidang. Sesuai dengan judulnya, Esensi Kehambaan sebagai Landasan Aktualisasi Kepemimpinan Gembala Sidang Bethany Pulomas, paper singkat ini berupaya untuk mengungkap prinsip-prinsip aktualisasi kepemimpinan berbasis kehambaan yang diterapkan gembala sidang Bethany Pulomas dalam kepemimpinannya sebagai gembala sidang sejak diteguhkan tanggal 4 September 2011.

Aktualiasis kepemimpinan kehambaan gembala sidang Bethany Pulomas yang adalah penulis sendiri, memungkinkan pengungkapan fakta-fakta alkitabiah yang seringkali tidak kongruen dengan keadaan riil di lapangan. Kepemimpinan berbasis kehambaan ini adalah samudera luas yang membutuhkan kecerdasan dan atau hikmat yang cukup agar dapat berlabuh dengan sukses di pantai sukses memimpin. Namun demikian, sebagai pemimpin yang melandaskan seluruh tindakan kepemimpinan berdasarkan teladan hidup Kristus, penulis melihat kebesaran dan kemuliaan yang tak terkira ketika komitmen memikul salib diberlakukan dalam segala situasi kepemimpinan yang ada.


Rumusan Istilah


1.                  Pola kepemimpinan yang Yesus paparkan adalah dengan menawarkan dua kata yang arti dan maknanya sinonim. Pelayan dan hamba. Pelayan dari kata diakonos   (diakonos) dan hamba dari kata doulos (doulos). Menurut The Analitical Greek Lexicon, kata diakonos (diakonos) berarti one who renders service to another. [2]  Prinsif inti dari kata diakonos adalah orang yang menyumbangkan (memberi) diri melayani yang lain. Memberi diri ini penting sekali dipahami sebagai sebuah tindakan sadar yang dilakukan dengan dorongan hati. Tindakan ini jauh dari keterpaksaan. Hal ini sesuai dengan pengertian dari Biblesoft's New Exhaustive Strong's Numbers and Concordance with Expanded Greek-Hebrew Dictionary: “a waiter (at table or in other menial duties)”.[3] Diakonos adalah seorang yang selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani seperti seorang waiter. Dia melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan rela. Sekali lagi panggilan ini jauh dari keterpaksaan atau tekanan.  Arti kata hamba: doulos (doulos) dapat kita pahami sebagai berikut:[4]
a slave, bondman, man of servile condition. a slave (kata benda): budak. (kata kerja):  seorang yang bekerja keras, membanting tulang (over untuk).(kata sifat): seorang pemburu-buru kerja. Bondman: penjamin. Seorang yang terjual sebagai agunan (jaminan). Man of Servile Condition: seorang yang kondisinya bersikap merendahkan diri. Jadi doulos (doulos) berarti seseorang yang telah terjual kepada seseorang. Ia memberikan dirinya secara keseluruhan kepada keinginan pemiliknya, sehingga ia tidak mempedulikan sama sekali kepentingan dirinya. Ia bekerja sangat keras (membanting tulang) dengan motivasi hati yang melayani demi kepentingan tuannya.
2.                  Landasan dapat diterangkan sebagai pijakan awal dalam memulai suatu tindakan, dalam konteks ini tindakan memimpin. Ia merupakan dasar dan atau pundasi yang memungkinkan tindakan tersebut dapat dilangsungkan dengan baik sehingga berdaya guna dan berhasil mencapai sasaran yang direncanakan.
3.                  Kepemimpinan Kristen adalah adalah suatu proses terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan Kristen (yang menyangkut faktor waktu, tempat, dan situasi khusus) yang didalamnya oleh campur tangan Allah, Ia memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin (dengan kapasitas penuh) untuk memimpin umat-Nya (dalam pengelompokan diri sebagai suatu institusi/organisasi) guna mencapai tujuan-Nya (yang membawa keuntungan bagi pemimpin, bawahan, dan lingkungan hidup) bagi dan melalui umat-Nya untuk kejayaan kerajaan-Nya.[5]
4.                  Gembala Sidang adalah suatu jabatan struktural dalam sebuah gereja lokal, dalam hal ini Gereja Bethany Indonesia. Ia adalah pemimpin jemaat yang dibekali dengan otoritas yang besar atas kelangsungan hidup organisasi gereja lokal serta dengan mandat yang penuh menjalankan peran-peran pastoralia dan fungsi pelaksana sakramentalia. Dalam wadah Gereja Bethany Indonesia yang memberikan peran otonom pada gereja lokal, memungkinkan seorang gembala sidang di gereja ini dapat mengeksplorasi talenta serta sumber daya dan dananya untuk mengembangkan sayap pelayanan secara tidak terbatas



Kepemimpinan Gembala Sidang Bethany Pulomas

“Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8)

Gereja Bethany Indonesia Pulomas adalah gereja lokal yang bernaung dalam wadah sinode Gereja Bethany Indonesia. Berdiri sejak 4 September 2011 dengan jumlah jemaat mula-mula tidak lebih dari 15 orang. Gereja yang belum genap seumur jagung ini pun lahir dari pergumulan yang sangat panjang yang diawali dari pelayanan seorang penginjil muda, Ev. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th, di dalam wadah pelayanan lintas denominasi Hatinurani Ministries sejak Desember 2005.

Hatinurani Ministries adalah pelayanan yang bersifat interdenominasi yang memfokuskan diri bagi penginjilan kaum marginal di wilayah Jakarta, khususnya Jakarta Utara. Dalam karya dan pelayanannya selama lebih dari 6 tahun telah menjangkau dan melayani lebih dari 500 jiwa kaum marginal yang mendiami daerah-daerah minus di Tanjung Priok, khususnya wilayah sepanjang rel kereta api Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Hatinurani Ministries adalah cikal bakal Gereja Bethany Indonesia Pulomas. Yang berawal dari keputusan para pengurus Yayasan Hati Nurani untuk meningkatkan pelayanan ministries ke dalam wadah gerejawi. Ini dipandang penting karena kebutuhan yang bersifat sakramentalia yang tidak dapat dilakukan sebuah ministries yang hanya bernaung di bawah yayasan. Sementara pelayanan yang semakin kompleks “memaksa” para pemimpin yayasan untuk memikirkan terobosan pelayanan yang terbaru. Itulah panggilan yang khusus untuk melakukan pekerjaan pelayanan bagi Kristus. Panggilan ini seperti apa yang telah diungkap oleh Nabi Yesaya, “ ini aku, utuslah aku!”


Panggilan Memimpin Gembala Sidang Bethany Pulomas


Pdt. Joshua Mangiring SINAGA, S.Th lahir pada tanggal 9 Maret 1976 dengan nama kecil Mangiring Sinaga. Setelah berumur 16 tahun, ia dibaptis dan diberikan nama baptis Joshua. Pada awal pelayanan, ia adalah seorang penginjil yang telah berkhotbah sejak usia 17 tahun, yaitu tahun pertama pertobatannya. Ia lahir dari sebuah keluarga petani miskin di sebuah desa terpencil di pelosok Tanah Tapanuli. Ironis, sebagai anak sulung laki-laki yang biasanya sangat didambakan oleh setiap keluarga Tapanuli, justru ia lahir ketika sang ayah pergi entah kemana. Yang lebih prihatin lagi, dia lahir sebelum waktu persalinan. Ia lahir prematur.

Keadaan ekonomi yang prihatin membuat sang ibu tidak dapat merawat Joshua kecil. Hingga usia 16 tahun dia bertumbuh sebagai pemuda yang minder dan kurang bergaul karena kondisi pisik yang sakit-sakitan. Hampir sepanjang usianya, ia telah menderita berbagai sakit penyakit. Puncaknya adalah ketika dia berusia 15 tahun, dia mau mati. Dia berniat bunuh diri untuk mengakhiri semua deraan penyakit komplikasi yang tak kunjung sirna. Namun Tuhan mengasihinya, lewat sang ibu, dia akhirnya sadar dan mengurungkan niatnya. Tuhan punya rencana yang manis dalam hidupnya.

Menjelang usia 17 tahun, Mangiring Sinaga yang masih remaja mengalami satu guncangan yang sangat hebat. Kali ini adalah berita “pertobatan” sang ayah. Sang ayah yang berantakan kemudian berubah menjadi pria sesungguhnya ketika bertemu Kristus dan mengalami perubahan total dalam hidupnya. Lewat perjuangan yang sangat melelahkan, sang ayah yang juga telah ditahbiskan menjadi penginjil itu, akhirnya dapat memulihkan hubungan yang retak dengan dia dan semua anggota keluarga. Luka-luka batin akibat kejahatan sang ayah sepanjang 16 tahun oleh pertolongan kuasa dan anugerah Kristus pun pulih secara ajaib. Dengan tekun sang ayah mendorongnya untuk mengenal Yesus secara pribadi. Ajaib sungguh kuasa INJIL, tak lama setelah pertobatan sang ayah, semua anggota keluarga bertobat dan lahir baru. Tidak ketinggalan Mangiring Sinaga.

Selang beberapa lama menjadi Kristen lahir baru, dalam sebuah penglihatan yang spektakuler. Mangiring Sinaga di bawa dalam sebuah penglihatan tentang kemuliaan SURGA dan kegelapan Neraka. Remaja sakit-sakitan ini pun tersentak dan tidak mengerti harus berbuat apa. Namun sesuatu sedang terjadi dalam tubuhnya. Sebuah suara lembut memenuhi semua ruangan kamarnya. Suara lembut itu berkata: “Anak-KU!” berkali-kali. Kemudian penglihatan yang tak lebih dari 1 menit itu pun berlalu. Seperti berlalunya suara itu, ia merasakan tubuhnya menjadi ringan dan sangat sehat. Sejak malam penglihatan itu, dia sembuh total. Sejak malam itu juga, dia tidak lagi mengunjungi rumah sakit yang menjadi langganannya hampir sepanjang 16 tahun. Dia sembuh secara ajaib. Dengan bulat ia memutuskan untuk di baptis. Sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Joshua MS.

Pengalaman rohani di kamar tidur yang luar biasa itu menuntunnya untuk menghabiskan banyak waktu belajar Alkitab. Bahkan ketika belajar di sebuah SMA, dia sudah serius membaca dan mempelajari Alkitab. Dia mulai belajar berkhotbah pada tahun pertama pertobatannya. Setamat SMA, dengan hati bulat dan dengan dukungan keluarga dia masuk sebuah Sekolah Alkitab. Pada tahun 2000, setelah bergumul dalam melalui kerasnya disiplin seminari selama 5 tahun, akhirnya Joshua berhasil menyelesaikan study dan mendapatkan gelar Sarjana Theologia.

Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th yang biasa di sapa Kak Jo kini melayani sebagai penginjil dan pengkhotbah. Beberapa pulau sudah dikunjunginya dan menjadi ciri khasnya adalah mengobarkan api penginjilan. Mulai dari ujung Sumatera, pedalaman Kalimantan, hingga tanah Timor KUPANG di Pulau Rote, dia berkhotbah tentang Kuasa INJIL yang luar biasa. Untuk mempermudah birokrasi pelayanan, Pdt. Joshua M. Sinaga, S.Th mendirikan Yayasan Hati Nurani pada Desember 2005. Sebuah lembaga berbadan hukum yang memfokuskan pelayanan untuk menjangkau kaum marginal ini pun lebih dikenal dengan nama Hatinurani Ministries. Ia juga penulis aktif di milis-milis Kristen, mengelola sebuah blog pribadi, dan menjadi kontributor lepas di Koran Sinar Harapan yang terbit sore hari di Jakarta.

Panggilan memimpin dalam wadah gereja baru direspon oleh Pdt. Joshua Mangiring Sinaga pada September 2011. Walau telah ditahbiskan menjadi pendeta tahun 2006, ia merasa penginjilan adalah pelayanannya yang utama. Sehingga untuk menjadi gembala masih merupakan pergumulan yang sangat khusus baginya. Namun oleh karena petunjuk dan konfirmasi dari pihak-pihak yang kompeten, khususnya para pemimpin di Sinode, ia akhirnya memenuhi panggilan menjadi gembala di Bethany Pulomas sejak awal September 2011.

Satu hal yang baru dan tentu sangat menantang adalah bagaimana menyelaraskan jiwa penginjilan yang tertanam dalam dirinya dalam arena penggembalaan yang lebih bersifat khusus di dalam sebuah gereja lokal. Ini adalah tantangan yang sangat berat mengingat panggilan memimpin sebagai gembala sidang adalah suatu yang yang membutuhkan keterampilan dan hikmat khusus.

Bethany Pulomas berdiri dengan sifat otonom yang melekat. Kehidupan dan pelayanan gereja lokal diserahkan sepenuhnya kepada gembala sidang. Dalam hal ini, gembala sidang adalah pemimpin sentral di dalam gereja lokal. Ia adalah aktor utama yang memungkin maju atau mundurnya organisasi. Ini adalah suatu tantangan tersendiri sebab faktor kepribadian seorang gembala adalah tolak ukur pertumbuhan dan dinamika kepemimpinan organisasi.

Seorang gembala sidang tertantang untuk mendengar dan memaknai panggilan ilahi baginya untuk memimpin. Dengan melekatkan diri melalui meneladankan seluruh tindakan memimpin kepda teladan hidup Yesus Kristus, memungkinkan seorang gembala sidang Gereja Bethany berdaya guna dan sukses melewati tantangan otonomisasi gereja. Tanpa mengerti dan memahami serta menjalankan etos kepemimpinan Yesus Kristus dalam menjalankan peran kepemimpinan dalam jemaat lokal, gembala sidang Bethany Pulomas akan menghadapi berbagai benturan dan tangtangan yang sudah pasti akan menghambat perjalanan kepemimpinannya.

“Ini aku, utuslah aku”, adalah kalimat paling menggetarkan dalam fungsi memimpin yang melayani. Ini bermakna bahwa kepemimpinan itu merupakan suatu panggilan yang suci dan didasarkan dari ketulusan serta totalitas jiwa. Ini juga bermakna tentang ketergantungan yang total pada anugerah Allah dalam memimpin. Anugerah yang bermakna itu sebagai suatu pemberian Allah semata-mata sehingga harus dijalankan dengan kerendahan hati yang tulus. Kesadaran ini mengakar dari pengertian yang jelas tentang ketidakberdayaan manusia fana dan berdosa untuk memimpin seperti yang Yesus teladankan.

Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th telah menerima dan menjalankan fungsi memimpin dalam kepemimpinan sebagai gembala sidang. Ianya mengerti akan segala ketidakmampuan sehingga ia telah berkomitmen yang penuh untuk bergantung kepada Allah dalam segala hal. Ia juga telah belajar untuk mendengarkan para pemimpin yang telah memberikan teladan hidup yang teruji dalam menjalankan peran memimpin yang berlandaskan etos memimpin seperti Yesus. Ia melihat dan merasakan fungsi dan peran pemimpin yang signifikan khususnya dari pendiri Gereja Bethany, Pdt Abraham Alex Tanuseputera. Dalam fungsinya sebagai gembala sidang di dalam wadah Gereja Bethany Indonesia yang otonom, ia adalah pemimpin berhati hamba yang dengan rela dipimpin dan dibimbing para pemimpin. Dalam prakteknya, ia adalah pemimpin yang dipimpin.



PENGEJAWANTAHAN PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN KEHAMBAAN

“Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Matius 20:25-28)

Makna Filosofis Kepemimpinan

Kita mendapatkan beragam pengertian kepemimpinan. Beberapa tokoh-tokoh kepemimpinan menjelaskanya dengan sudut pandang dan penekanan yang berbeda, namun semuanya dapatlah dikatakan selalu memiliki esensi yang sama. Kita akan selalu bertemu dengan kata pemimpin, situasi kepemimpinan, serta orang yang dipimpin.

Kepemimpinan Kristen adalah suatu proses terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan Kristen (yang menyangkut faktor waktu, tempat, dan situasi khusus) yang didalamnya oleh campur tangan Allah, Ia memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin (dengan kapasitas penuh) untuk memimpin umat-Nya (dalam pengelompokan diri sebagai suatu institusi/organisasi) guna mencapai tujuan-Nya (yang membawa keuntungan bagi pemimpin, bawahan, dan lingkungan hidup) bagi dan melalui umat-Nya untuk kejayaan kerajaan-Nya (Yakob Tomatala, 2008:3).

Pada prinsipnya, sama dengan kepemimpinan secara umum, kepemimpinan Kristen adalah sebuah proses terencana yang dinamis. Namun ada pengkhususan dalam konteks kepemimpinan kristiani karena proses dan dinamikanya adalah merupakan rencana dan campur tangan Tuhan. Hal ini memberi arti bahwa Kepemimpinan Kristen adalah inisiatif dan campur tangan Allah dalam sejumlah proses dan dinamikanya. Ini seharusnya menjadi satu peringatan jelas bahwa kepemimpinan yang kristiani akan selalu diwarnai dengan pengakuan akan adanya rencana dan campur tangan Tuhan atasnya. Secara sederhana, kita dapat menjelaskan bahwa kepemimpinan Kristen merupakan suatu kepemimpinan yang merupakan inisiatif dan campur tangan Tuhan sehingga kepemimpinan ini akan selalu mengacu kepada prinsip-prinsip yang termuat dalam Alkitab.

Karena kepemimpinan kristiani adalah merupakan rencana dan didalamnya ternyata campur tangan Allah, maka sejatinya Tuhanlah yang berdaulat memilih pemimpin Kristen. Tuhanlah yang memilih bagi kemuliaan-Nya seorang pemimpin dan memperlengkapinya (melalui proses pembentukan kepemimpinan) dengan segenap kapasitas untuk memimpin. Kita mengerti bahwa tanpa campur tangan Allah, maka kepemimpinan yang terbentuk akan menjadi kepemimpinan sekuler yang “timpang” dan “berbahaya”. Timpang karena akan cenderung mengadobsi dalil-dalil kepemimpinan duniawi yang sudah pasti akan berdampak buruk bagi dan dalam dinamika serta situasi kepemimpinan yang ada.

Dalam Kepemimpinan Kristen, tujuan Allah adalah dasar utama yang menjelaskan untuk apa gereja (umat-Nya) ada yang di atasnya tujuan umat Allah di bangun. Penting untuk memahami bahwa secara filosofis, Allah yang memilih bagi-Nya seorang pemimpin, memiliki suatu tujuan yang pasti yaitu bagi kemuliaan nama-Nya dan kejayaan Kerajaan-Nya. Ketika sebuah kepemimpinan dibentuknya, indikasi yang kuat adalah bahwa nama-Nya dimuliakan dan Kerajaan-Nya ditegakkan.


Prinsip Dasar Etos Kepemimpinan Yesus Kristus

Apa yang membuat seseorang di sebut sebagai pemimpin? Apakah prestasi, tingkat sosial, kekuasaan atau penampilan? Apakah secara otomatis seseorang dapat menjadi pemimpin ketika namanya tercantum di bagan organisasi? Yesus menjawab semua pertanyaan ini dengan pernyataan yang luar biasa. Pandangan-Nya tentang kepemimpinan ternyata berbanding terbalik dengan pandangan yang lajim di pegang oleh orang-orang pada umumnya dalam Matius 20: 25-28.

Kata memerintah dalam Bahasa Yunani berasal dari kata katakurieuosin (katakurieuosin) yang dalam analisa (parsing) adalah: 3p, pl, pres, act, ind…. katakurieuw (katakurieuw).[6] Kata katakurieuosin (katakurieuosin) menjelaskan fakta bahwa orang-orang (para pemimpin dunia) menjalankan kepemimpinan dan terus melakukannya hingga kini secara aktif  dengan konsep memerintah.

Konsep memimpin dengan cara memerintah memang lajim dalam dunia sejak zaman purba. Memerintah dalam hal ini mengandung arti memberi komando. Terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia terjemahan baru menambahkan kata tangan besi untuk menggambarkan pola kepemimpinan memerintah ini. Kata “tangan besi” merupakan kata yang menjelaskan kata di depannya, yaitu kata memerintah. Dalam bahasa Yunani kata ini tidak ditemukan jadi adalah suatu kata yang melekat dengan kata yang dijelaskannya. Terjemahan yang paling tepat untuk kata  katakurieuosin (katakurieuosin) adalah exercise dominion over (tindakan menguasai atau mengendalikan).

Memerintah disini mengandung konotasi yang kurang baik. Hal ini dijelaskan lebih mendalam dengan kalimat ke dua dalam ayat yang sama: “pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.”   Untuk menjelaskan kalimat ini, kita harus mengerti arti kata: katexousiazousin (katexousiazousin) yang berarti: exercise authority upon (penerapan otoritas).

Apabila kita analisa (parsing), maka kata katexousiazousin memiliki kesamaan analitis dengan kata katakurieuosin (katakurieuosin).[7] Jadi kata ini menjelaskan fakta bahwa orang-orang (para pemimpin dunia) menjalankan kepemimpinan dan terus melakukannya hingga kini secara aktif  dengan menerapkan prinsif otoritas yang menguasai dan mengendalikan. Kata memerintah dengan otoritas yang diindikasikan dengan tangan besi (bersifat memaksa, mengendalikan, dan otoriter), adalah gambaran yang umum dalam kepemimpinan sekuler. Pola ini ternyata telah dijalankan sejak zaman purba. Raja Firaun yang memperbudak orang Ibrani ratusan tahun adalah contoh paling tepat. Raja-raja dalam Perjanjian Lama yang memerintah Israel pun, beberapa diantaranya pun, mempraktekkannya. Tetapi contoh paling sesuai konteks adalah Pontius Pilatus. Gubernur Romawi yang menjalankan pemerintahan di salah satu koloninya dengan tangan besi ( bandingkan Kisah Para Rasul 4:27;  Lukas 3:1; 1 Timotius 6:13).

Pola kepemimpinan yang Yesus paparkan pada ayat tersebut di atas adalah dengan menawarkan dua kata yang arti dan maknanya sinonim. Pelayan dan hamba. Pelayan dari kata diakonos   (diakonos) dan hamba dari kata doulos (doulos).

Menurut The Analitical Greek Lexicon, kata diakonos (diakonos) berarti one who renders service to another. Prinsip inti dari kata diakonos adalah orang yang menyumbangkan (memberi) diri melayani yang lain. Memberi diri ini penting sekali dipahami sebagai sebuah tindakan sadar yang dilakukan dengan dorongan hati. Tindakan ini bukan keterpaksaan. Hal ini sesuai dengan pengertian dari Biblesoft's New Exhaustive Strong's Numbers and Concordance with Expanded Greek-Hebrew Dictionary: “a waiter (at table or in other menial duties)”. Diakonos adalah seorang yang selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani seperti seorang waiter. Dia melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan rela. Sekali lagi panggilan ini jauh dari keterpaksaan.

Kata doulos (doulos) adalah kata yang cukup sering kita dengar, namun demikian sering kita kurang memahami artinya secara mendalam. Gambaran arti kata ini dapat kita pahami sebagai berikut:

a.      a slave, bondman, man of servile condition. a slave (kata benda): budak. (kata kerja):  seorang yang bekerja keras, membanting tulang (over untuk).(kata sifat): seorang pemburu-buru kerja. Bondman: penjamin. Seorang yang terjual sebagai agunan (jaminan). Man of Servile Condition: seorang yang kondisinya bersikap merendahkan diri.
b.      Metaphorically (metafora):
-                       one who gives himself up wholly to another's will, (1 Korintus 7:23)
-                      devoted to another to the disregard of one's own interests. (Matius 20:27)

Jadi kalau kita tarik benang merah dari beberapa pengertian di atas, maka kata doulos (doulos) berarti seseorang yang telah terjual kepada seseorang. Ia memberikan dirinya secara keseluruhan kepada keinginan pemiliknya, sehingga ia tidak mempedulikan sama sekali kepentingan dirinya. Ia bekerja sangat keras (membanting tulang) demi kepentingan tuannya.

Menurut sabda yang disampaikan Yesus Kristus, jenis kepemimpinan yang sejati adalah pemimpin pelayan yang berhati hamba. Ia adalah seorang yang selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani seperti seorang waiter. Dia melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan rela. Sekali lagi panggilan ini jauh dari keterpaksaan atau tekanan.

Hati seorang pemimpin adalah seorang yang memberikan dirinya secara keseluruhan kepada keinginan pemiliknya, yaitu Tuhan. Motif ini mendorong sehingga ia tidak mempedulikan sama sekali kepentingan dirinya. Ia bekerja melayani dengan sangat keras (membanting tulang) demi kepentingan tuannya. Yesus Kristus mengatakan, pemimpin dunia bukanlah teladan kepemimpinan Kristen, tetapi kepemimpinan Kristen harus mengakar pada pelayan berhati hamba.

Yesus Kristus memiliki pandangan yang sangat jelas tentang apa yang Dia maksudkan dengan cara kita memimpin. Dia ingin kita menjadi pemimpin tidak seperti dunia memimpin. Dunia memimpin dengan melakukan apa saja untuk melanggengkan kekuasaannya, tidak peduli dengan cara apapun. Ayat di atas tadi dengan jelas membedakan ciri-ciri kepemimpinan antara pemimpin dunia dengan pemimpin yang meneladani Yesus Kristus.


Sisi Gelap Dunia Kepemimpinan

Merujuk kepada dalil, kepemimpinan adalah dilahirkan dan sekaligus di bentuk, maka akan di ulas faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sebuah kepemimpinan. Indikasi ini dapat merupakan pemicu yang bersifat negatif. Memang kita tidak dapat mengatakan bahwa pemicu yang bersifat negatif ini selalu berdampak buruk. Walau juga kita tak dapat mengklaimnya sebagai hal yang baik.

Pemicu negatif yang membentuk perilaku seorang pemimpin tentu mempengaruhi tindakan kepemimpinannya di masa yang akan datang. Bagaimana pun, latar belakang pembentukan mempengaruhi perilaku seseorang. Hal ini dapat dijelaskan sebagai habitat yang sulit untuk ditinggalkan.

Sulit untuk mengharapkan sesuatu yang hebat dari suatu hal yang tidak dipersiapkan dengan baik. Pola pembentukan kepemipinan adalah seperti sebuah habitat alami yang akan mempengaruhi perilaku atau karakter kepemimpinan seorang pemimpin. Olehnya, adalah sangat penting untuk mempersiapkan seseorang untuk menjadi pemimpin masa depan.

Proses pembentukan kepemimpinan masa kini, akan menjadi gambaran samar kepemimpinan masa yang akan datang. Bila pemimpin masa ini dibentuk sesuai dengan pola alkitabiah, maka kita akan melihat pemimpin alkitabiah di masa yang akan datang.


Kepemimpinan Akibat Rekayasa Pihak Lain

“Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus serta anak-anaknya itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapan-Nya untuk meminta sesuatu kepada-Nya.” (Matius 20:20)

Kata permintaan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah: memohon sesuatu demi kepentingan sendiri.[8] Ayat 20 ini diawali ketika Salome, ibu Yakobus dan Yohanes (Matius 27: 56 , Markus 15: 40) yang meminta Yesus supaya mengangkat salah satu dari anaknya pada posisi tertentu kelak ketika Yesus menyatakan diri dalam kerajaanNya.

Kata Yesus: “apa yang kau kehendaki?” Jawabnya: “berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk  kelak di dalam kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.” (ayat 21).

Kata “maka” dapat diartikan “kemudian”, dipakai oleh Matius untuk memulai perikop ini. Dengan memakai kata ini, Matius menghubungkan pertanyaan tentang kemuliaan atau kedudukan yang tinggi. Ayat ini merupakan permintaan ibu Yakobus dan Yohanes. Ayat ini bisa secara khusus diartikan  bahwa ibu Yakobus dan Yohanes  yang meminta sesuatu kepada Yesus untuk memberikan suatu posisi yang khusus dan istimewa  kepada kedua anaknya. Salome istri Zebedeus yang juga ibu Yakobus dan Yohanes meminta untuk kepentingannya sendiri kepada Yesus supaya memberikan tempat kepemimpinan dan fasilitas yang istimewa bagi kedua anaknya itu. Matius agaknya bermaksud melindungi kedua murid itu waktu ia menyebutkan bahwa mereka sebagai anak-anak Zebedeus dari istrinya Salome.

Matius menunjukkan bahwa yang mendekati Yesus dan mengajukan permintaan atas nama kedua anaknya adalah ibu anak-anak Zebedeus. Sekali lagi, Matius agaknya bermaksud melindungi kedua murid itu waktu ia menyebutkan namanya.[9] Hal yang berbau negatif, memang selalu mendapat publikasi khusus. Hal ini digunakan sebagai salah satu strategi dalam mengelola informasi bagi pembaca agar tidak terlihat pulgar.

Menjadi pemimpin memang bukan pekerjaan yang gampang karena harus bisa memberdayakan orang lain. Ibu Yakobus dan Yohanes rupanya melihat hal itu sebagai salah satu kekurangan dari seluruh murid-murid Yesus, oleh karena itu dengan inisiatif sendiri ia mengajukan anak-anaknya menjadi pemimpin yang paling penting dari yang lainnya.

Fakta yang ada dalam komunitas kecil (murid-murid) adalah suatu indikasi  yang memberikan gambaran realitas dari faktor ini sudah ada sejak semula. Bahkan dalam komunitas religius yang langsung di pimpin oleh Yesus Kritus, kita menemukan indikasi ini. Ada pemimpin yang lahir karena di rekayasa oleh oknum-oknum tertentu. Pemimpin yang direkayasa baik itu orangtua, teman, kolega, dan pihak lain manapun, pada dasarnya akan menjadi pemimpin yang sulit untuk mengejawantahkan tanggungjawab kepemimpinannya kelak. Ada kecenderungan pemimpin seperti ini, tidak merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan organisasi yang berimplikasi tidak memberdayakan orang-orang. Pemimpin seperti ini, cenderung menyalahkan pihak lain dan bahkan orang atau pihak-pihak yang telah mengantarkannya pada kedudukan pemimpin. Alasan yang mengemuka adalah,  dia memimpin karena rekayasa.

Pemimpin yang direkayasa, pasti akan menemukan tekanan berat dan sering berujung pada keputusasaan. Kandas di tengah jalan karena masalah-masalah yang harus diselesaikan sementara motivasi untuk keluar dari dilema sungguh-sungguh tidak memadai. Namun demikian, apakah kita harus menapikan sebuah rekayasa atau dukungan/dorongan dalam proses pembentukan seorang pemimpin? Tentu tidak. Seorang pemimpin pun memerlukan rekayasa, dorongan, dan dukungan dari pihak-pihak diluar dirinya. Tanpa rekayasa, dorongan, dan atau permintaan sebagai pintu pembuka, sulit juga kita melihat lahirnya seorang pemimpin.

Dalam budaya timur dimana kita bertemu dengan kebiasaan menunggu dukungan, kita bertemu dengan keadaan dimana banyak pemimpin menunggu untuk diminta memimpin. Berbeda dengan budaya barat, khususnya Amerika yang terbiasa dengan keterbukaan, pola pembentukan kepemimpinan di Indonesia khususnya, terbiasa dengan dukungan dan sokongan dari pihak-pihak tertentu. Maka tak heran jika kita bertemu dengan pengerahan massa dan demontrasi yang berlebihan. Pada dasarnya, indikasi menunggu dukungan dan dorongan dari orang lain tidaklah seburuk yang kita bayangkan asalkan pribadi orang yang dicalonkan untuk memimpin cukup mumpuni untuk disiapkan menjadi pemimpin.


Kepemimpinan dan Nepotisme

Nepotisme menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah: Tindakan mementingkan (menguntungkan) sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dipemerintahan. Nepotisme adalah isu yang sangat hangat di negara kita sejak zaman reformasi bergulir tahun 1998. Pergantian dan suksesi kepemimpinan di Indonesia memang selalu diwarnai sejarah hitam. Kita menyaksikan bagaimana kejamnya manusia dan besarnya harga yang harus di bayar untuk sebuah suksesi kepemimpinan. Harga yang harus dibayar begitu besar akibat tabiat pemerintahan orde baru yang diwarnai dengan nepotisme yang membabibuta.

Kata Yesus: “Apa yang kau kehendaki?” Jawabnya: “berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak didalam kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi disebelah kiri-Mu.” (Ayat 21) Dalam ayat 21,  Matius sejatinya tidak ingin “memperlihatkan” Yakobus dan Yohanes bersalah karena ambisi duniawinya. Maka ia menaruh permintaan ini pada mulut ibu mereka, bukan pada mulut mereka sendiri. Permintaan ini sesungguhnya wajar saja alasannya. Yakobus dan Yohanes bersaudara dekat dengan Yesus.

Injil Matius, Markus dan Yohanes semua memberi daftar kaum perempuan yang berada di dekat salib ketika Yesus disalibkan. Daftar menurut Matius kita lihat ada Maria Magdalena, dan Maria ibu Yakobus dan Yusuf, dan ibu anak-anak Zebedeus (Matius 27: 56). Daftar menurut Markus adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus muda dan Yoses serta Salome (Markus 15: 40). Daftar menurut Yohanes adalah Maria Ibu Yesus dan saudara ibu-Nya, Maria, istri Klopas dan Maria Magdalena (Yohanes 19: 25).

Matius menyebut ibu anak-anak Zebedeus, Markus menyebut Salome dan Yohanes menyebut saudara ibu Yesus. Kesimpulannya adalah, ibu Yakobus dan Yohanes bernama Salome dan dia adalah saudara perempuan Maria, ibu Yesus. Ini berarti bahwa Yakobus dan Yohanes adalah saudara sepupu Yesus secara jasmaniah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa dengan hubungan yang begitu dekat itu, mereka berhak mendapat tempat khusus dalam kerajaan-Nya.

Salome ibu Yakobus dan Yohanes merasa bahwa sebagai sepupu Yesus, mereka berdua layak untuk berada pada posisi yang terhormat. Seringkali kasus yang sama terjadi pada saat ini. Seorang ayah yang mempunyai posisi penting di salah satu instansi memanfaatkan posisinya untuk menawarkan anak bahkan istrinya untuk menjadi pemimpin diinstansinya. Hal yang sama juga terjadi di organisasi gereja. Tanpa menyebutkan nama organisasi tertentu, ketika seorang pendeta yang memimpin jemaatnya sudah tidak sanggup lagi untuk memimpin, atau sang pendeta meninggal dunia. ia akan mewariskan posisi itu kepada istri ataupun anaknya, tanpa melihat kompetensi pada calon penggantinya itu

Hubungan darah  menjadi salah satu alasan untuk permintaan Salome ini. Salome berpikiran bahwa kedua anaknya itu berhak atas kedudukan yang tertinggi diantara para murid-murid Yesus karena adanya “hubungan” darah dengan Yesus. Di Palestina sama seperti di suku Batak di Indonesia hubungan darah sangat berarti. Salome melihat perlakuan istimewa Yesus terhadap saudara sepupunya itu. Beberapa kali Yesus mengkhususkan Yakobus dan Yohanes antara lain pada waktu Yesus masuk ke rumah Yairus (Markus 5: 37) dan pada waktu Yesus naik ke gunung dimana Yesus dipermuliakan (Matius 17: 1). Yang paling diingini Salome adalah penetapan secara resmi dari Yesus untuk keistimewaan itu.

Memilih pemimpin dengan melilhat dari sisi kekerabatan atau nepotisme tidak selalu negatif, asalkan memenuhi kualitas kompetensi dan kapabilitas sebagai pemimpin. Yesus juga mendahulukan kekerabatan dengan mengutamakan Yakobus dan Yohanes dalam pelayanannya, terbukti dalam beberapa kesempatan yang paling penting dalam pelayanan Yesus Kristus, Ia mengajak dan membawa Yakobus dan Yohanes. (Matius 17: 1; Markus 9: 2; Lukas 9: 28). Terbukti pilihan Yesus Kristus itu tidak salah. Yang menjadi masalah adalah ketika kekuasaan memanfaatkan kekerabatan hanya untuk nafsu dan ambisi kekuasaan yang dilakukan secara sporadis tanpa melandaskannya pada kompetensi dan kapabilitas pemimpin.

Nepotisme akan menjadi penyakit kepemimpinan apabila dilaksanakan secara sporadis tanpa memperhatikan kualitas kompetensinya. Yesus memilih murid dari kerabat dekat dengan mengerti kualitas kompetensi mereka. Yesus tentu mengenal kedua sepupunya, Yakobus dan Yohanes. Bahkan Yesus memberi porsi kasih sayang yang istimewa kepada Yohanes. Namun semua itu dalam koridor yang dapat dihitung. Yesus memahami kompetensinya dan mempercayakan kepada mereka otoritas kepemimpinan berdasarkan kapasitas mereka.


Kepemimpinan dan Ambisi

Ada apa dengan ambisi? Apa yang salah dengannya? Bukankah ambisi adalah faktor yang membantu sukses? Pertanyaan-pertanyaan tadi tentu mengusik untuk dapat dijawab. Ambisi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia artinya: gairah;  nafsu ingin mendapat pangkat. Sampai pada kata gairah, ambisi merupakan sisi positif yang sejatinya harus tumbuh subur dan dipelihara, tetapi jika terus berkembang tak terkendali menjadi nafsu untuk jabatan, maka ambisi dapat menjadi masalah besar. Masalah bagi orang yang  diperbudaknya, sekaligus juga masalah serius bagi orang-orang disekitar kepemimpinan orang tersebut.

Teks yang dibahas ini juga mengulas hal yang menyangkut ambisi. Permintaan Yakobus dan Yohanes dengan sendirinya mengusik para murid yang lain. Mereka tidak mengerti mengapa kedua orang ini harus dibiarkan menuntut kedudukan istimewa. Sampai pada tahapan ambisi merupakan gairah positif untuk memimpin, hasrat ini adalah energi positif yang seharusnya dipelihara. Tetapi ketika ambisi berkembang menjadi nafsu, maka segala motivasi seseorang dapat berubah menjadi energi provokatif yang mengusik komunitas. Ketika permintaan untuk memimpin keluar dari mulut Ibu Salome, maka kegerahan menjadi-jadi dikalangan para murid. Walau, kita dapat saja mengiyakan bahwa sejatinya, Yakobus dan Yohanes yang “memanfaatkan” ibu mereka, namun tetap saja “amarah” ditujukan kepada kedua orang bersaudara kandung ini.

Yesus tahu apa yang terkandung dalam benak mereka, mereka juga ingin ditempatkan pada posisi yang sama seperti permintaan Ibu Yakobus dan Yohanes. Permintaan ini murid-murid ajukan karena ambisi mereka untuk memperoleh posisi dan ambisi menggantikan posisi Yesus pada masa suksesi kepemimpinan Yesus. Hal ini dapat kita jelaskan sebab permintaan ini terjadi setelah Yesus memberitakan tentang penderitaan jalan salib yang akan Ia lalui: “Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati.” (Matius 20:18).

Adalah hal yang sangat wajar, ketika seorang pemimpin meninggal, maka suksesi pergantian kepemimpinan akan menjadi isu yang sangat krusial. Kita mengerti beberapa pergantian kepemimpinan dapat berdampak sangat posistif ketika tahta jatuh ketangan yang benar, tetapi sebaliknya, pergantian kepemimpinan dapat menjadi malapetaka ketika jatuh ketangan orang yang salah hal ini dapat kita perhatikan dalam suksesi tahta Daud (bacaan ada di dalam Kitab II Samuel dan 1 Raja-Raja). Ketika Daud menyerahkan tahtanya kepda Salomo, Kerajaan Israel mencapai puncak kejayaanya. Tetapi sebaliknya, ketika Salomo digantikan oleh Rehabeam, maka masa suram meliputi Kerajaan Yehuda.

Maka, Yesus berbicara kepada mereka dalam kalimat yang merupakan dasar utama dalam kehidupan kristiani.[10] Di dunia ini, Yesus mengatakan bahwa memang benar, pemimpin yang besar adalah orang yang berkuasa atas orang yang lain; orang yang perintahnya harus dipatuhi oleh orang lain; orang yang mampu menggerakkan orang lain hanya dengan gerakan tangannya.[11] Dunia memandang mereka sebagai orang yang penting dan terhormat. Tetapi sesungguhnya bagi Yesus Kristus kebesaran dan kehormatan sebagai pemimpin adalah pelayanan. Kebesaran sebagai pemimpin tidak terletak dalam memerintah orang lain untuk melakukan sesuatu bagi dia, tetapi bagi Yesus makin besar pelayanan seseorang semakin besar pula kehormatan bagi dia.

Murid-murid Yesus berpikir dalam hal upah dan kepentingan pribadi. Mereka berpikir tentang sukses pribadi tanpa pengorbanan. Murid-murid Yesus ingin Yesus dengan wibawa rajawi menjamin hidup bagaikan pangeran kepada mereka.[12] Setiap orang harus tahu bahwa keagungan sejati tidak terletak dalam kekuasaan, melainkan dalam pelayanan; bahwa dalam setiap kebesaran dan keagungan sebagai pemimpin ada harga yang harus dibayar.

Sekarang kita dapat mengerti bahwa ambisi dapat menjadi energi yang positif jika diarahkan pada hasrat untuk  melayani. Hasrat untuk melayani begitu penting sehingga harus lahir dari hati hamba yang tulus dan suci. Mengapa? Karena kepemimpinan adalah suatu tempat yang rawan pada kecenderungan untuk bertindak diluar kendali. Saat seseorang memulai kepemimpinan yang didorong hasrat untuk melayani, di saat itu juga hasrat itu dapat bertumbuh untuk mengejar tahta atau jabatan dan melupakan tujuan mulia yaitu pelayanan. Ambisi adalah ibarat pisau bermata dua. Dia dapat menjadi energi positif dalam mendorong semangat kepemimpinan yang melayani, namun dia juga dapat menjadi energi negatif yang menggerus hasrat melayani menjadi menguasai. Ambisi adalah pedang yang harus dapat dikendalikan dengan baik oleh siapapun yang dipersiapkan untuk memimpin.


PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN ALKITABIAH

Sampai pada tahapan ini, kesimpulan yang dapat kita pahami adalah bahwa kepemimpinan adalah ide yang alkitabiah. Pemimpin dan kepemimpinan adalah ide alkitabiah sehingga kita tidak perlu ragu menggagas dan mengajarkannya. Sejatinya, setiap kitab yang kita pelajari dalam Alkitab, tidak terlepas dari apa yang disebut dengan kepemimpinan. Alkitab memberikan kepada kita mutiara-mutiara kepemimpinan yang indah dan harus digali untuk kepentingan praksis dalam kehidupan gerejaNya. Berikut adalah prinsip-prinsip emas kepemimpinan yang ditemukan dari kebenaran sabda Yesus Kristus:


Kepemimpinan Adalah Anugerah

Yesus berkata kepada mereka: “Cawan-Ku memang akan kamu minum, tetapi hal duduk disebelah kanan-Ku atau disebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya.” (Matius 20: 23).

Kepemimpinan adalah pemberian Tuhan sehingga tidak semua ditetapkan untuk menjadi pemimpin struktural dalam organisasi. Kepemimpinan itu karunia sekaligus di bangun melalui pelatihan yang berkesinambungan. Karunia itu diberikan oleh Tuhan, tetapi harus disertai dengan pelatihan. Pemimpin yang diberi karunia untuk memimpin tetapi tidak melatihnya akan menjadi pemimpin yang tidak efektif. Menyangkut posisi atau jabatan yang diberikan dengan tempat yang nyaman dalam organisasi itu untuk melayani kebutuhan dan kebudayaan organisasi (Ken Blanchard, 1996:10)

Kalau kita meneliti kitab Perjanjian Baru, kita melihat bahwa Tuhan sendiri yang menetapkan para pemimpin bagi gereja-Nya, yaitu para gembala dan penatua. Mereka adalah pemimpin rohani yang telah menjadi teladan bagi seluruh umat. Oleh karena itu, jika cara hidup mereka sama sekali tidak dapat dijadikan contoh, berarti ada kekeliruan yang sudah berat. Murid-murid yang dipilih oleh Yesus Kristus  dilatih untuk kelak menjadi pemimpin yang bisa mencontoh-Nya. Hal ini dilakukan sendiri oleh Yesus Kristus, Ia secara langsung melatih mereka jadi pemimpin.

Pola hidup para pemimpin yang Yesus Kristus pilih ini adalah model panutan bagi setiap pemimpin Kristen masa kini. Prinsip-prinsip para pemimpin yang secara langsung Tuhan pilih ketika masa pelayanannya adalah prinsip-prinsip yang sejatinya harus diteladani.

Anugerah adalah pemberian atau ganjaran dari pihak atas (orang besar dalam hal ini Tuhan) kepada pihak bawah (orang rendahan, dalam hal ini manusia), karunia dari Tuhan.[13] Kasih karunia atau anugerah  dalam bahasa Yunani “kharis” yang artinya: Perbuatan atasan kepada bawahan padahal bawahan itu sebenarnya tidak layak menerimanya. Istilah kharis  dalam Alkitab terjemahan baru diterjemahkan kasih karunia. Kalau diterjemahkan artinya, kepemimpinan itu adalah pemberian yang sebenarnya tidak layak kita terima tetapi diberi oleh Tuhan bagi yang layak menerimanya.

Anugerah ialah sikap yang Allah perlihatkan, yang bertentangan dengan karya yang manusia lakukan.[14] Anugerah juga mencakup perlengkapan Allah untuk kehidupan Kristen. Anugerah kepemimpinan itu adalah hak istimewa yang Tuhan berikan bagi kita. Oleh sebab itu sejatinya kita harus pergunakan dengan baik sebab jika tidak, maka itu dapat menjadi bumerang.

Kepemimpinan adalah anugerah bermakna pada salah satu unsur penting yaitu peranan Allah dalam kepemimpinan. Bila kepemimpinan adalah anugerah, maka kepemimpinan dan pemimpin merupakan pemberian Allah. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan ada dalam rencana Allah.

Mari kita luruskan sejenak pengertian ini. Kepemimpinan adalah rencana mulia Allah untuk menata kehidupan yang lebih baik. Ia sebagai sumber kuasa dan otoritas kepemimpinan. Oleh karenanya, Allah tentu menyertakan norma atau pedoman kepemimpinan yang alkitabiah.

Dalam Roma  12:8 kita baca: “jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.” Paulus dalam surat ini sedang menerangkan karunia dari Allah untuk orang-orang yang dipilihNya. Pemimpin tentu adalah salah satu hal yang ingin diingatkan oleh Paulus sebagai orang yang mendapatkan kasih karunia. Dalam hal inilah kita dapat mempertegas prinsif bahwa kepemimpinan itu bukanlah semata-mata usaha manusia. Dalam hubungannya dengan pelatihan kepemimpinan, maka anugerah merupakan suatu warning (peringatan) agar setiap pemimpin selalu ingat Tuhan. Dengan kesadaran inilah, seorang pemimpin harus terus bersandar dan berharap agar Roh Kudus menolongnya memimpin dengan benar. Artinya, bagaimana pun kerasnya seseorang berupaya untuk memimpin, bila Tuhan tidak menolongnya, maka kepemimpinannya adalah kepemimpinan yang tidak akan berfungsi maksimal.


Kepemimpinan Sebagai Suatu Konsekuensi.

Tetapi Yesus menjawab, kata-Nya: “kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?” Kata mereka kepada-Nya: kami dapat.”(ayat 22).

Yesus mengatakan kepada Yakobus dan Yohanes bahwa mereka kurang mengerti apa jalan kepada kemuliaan, dan juga siapa yang memberi tempat-tempat kehormatan. Untuk mendapat kemuliaan mereka harus menderita bersama-sama dengan Kristus. Apakah mereka sanggup? Cawan dalam Mazmur 11: 6, diartikan sebagai piala atau cawan penderitaan. Yakobus dan Yohanes mengerti arti cawan itu dan mereka mengatakan sanggup.

Yesus mengatakan bahwa mereka akan menderita, Yakobus di bunuh (Kisah Para Rasul. 12: 2) dan Yohanes dipenjarakan (Kisah Para Rasul. 4:3 dan 5: 18). Konsekuensi yang diterima sebagai pemimpin merupakan suatu pertanyaan yang mendasar dalam kepemimpinan. Saat Yesus Kristus bertanya apakah mereka sanggup, adalah indikasi yang sangat kuat akan resiko yang menanti saat seseorang masuk dalam lingkaran kepemimpinan. Adalah hal yang lajim bila mengatakan tak ada sukses yang datang dengan sendirinya. Sukses adalah sebuah pencapaian. Dan pencapaian itu adalah suatu pengorbanan. Pengorbanan akan banyak hal termasuk penderitaan fisik dan jiwa. Cawan penderitaan merupakan kiasan dari resiko kepemimpinan yang harus disikapi dengan benar. Para pemimpin Kristen tentu akan menjadi lebih beresiko karena mendapat sorotan lebih. Sorotan bukan hanya seputar etika dan moral, tetapi lebih jauh lagi mengenai kehidupan kerohanian.

Resiko yang paling berat mungkin salah satunya adalah ketika harus mengkonfrontir dosa atau kesalahan. Ini adalah pekerjaan yang sangat sulit dan krusial. Penulis buku laris “Crucial Confrontations” mengatakan: “Kita semua menghadapi konfrontasi krusial. Kita menetapkan harapan yang jelas. Tetapi pihak sana tidak menghormatinya – kita merasa kecewa. Para ahli hukum menyebut kejadian itu melanggar kontrak. Di tempat kerja, kita mungkin menamakannya komitmen yang tak dipenuhi; dengan teman, kita sebut pengingkaran janji; dan dengan anak remaja kita, kita sebut pelanggaran sopan santun umum.”[15] Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemimpin Kristen seringkali terjebak dalam konflik saat membenturkan filosofi kasih dengan disiplin. Ini adalah pekerjaan beresiko sehingga seringkali tak dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Beberapa pemimpin bahkan membiarkannya menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah selesai. Atau juga pekerjaan rumah yang memang tak ingin diselesaikan dengan alasan biarlah Tuhan sendiri yang turun menyelesaikannya.

Resiko atau konsekwensi adalah hal yang harus diselesaikan. Ketika seorang pemimpin berada dalam kondisi konfrontatif (meminta pertanggungjawaban), maka resikonya adalah jelas. Beberapa akan terluka dan bahkan akan meradang. Namun itulah resiko menjadi pemimpin. Tidak ada jalan lain, seorang pemimpin harus melewatinya. Pemimpin yang baik harus mengambil resiko dan sekaligus menyelesaikan segala konsewensinya. Seorang pemimpin harus membuat sebuah keputusan.

Yakobus dan Yohanes membuktikan mereka adalah pemimpin yang sanggup menerima bukan hanya  cawan kebahagiaan sebagai pemimpin tetapi juga cawan penderitaan. Kata: “Kami dapat” diambil dari kata Dunametha (Dunametha) yang berarti we are able or be possible (kami mampu). Kedua pemimpin ini mengatakan dengan jelas komitmen mereka untuk menjalani semua resiko sebagai konsekwensi dari kepemimpinan yang di taruh dipundak mereka. Salah satunya adalah mengambil kepeutusan yang tidak populer. Keputusan beresiko yang harus dibayar dengan harga yang mahal. Keputusan yang mungkin akan mengorbankan citra dan sebagainya. Keputusan yang mungkin saja mempertaruhkan jabatan atau posisi kepemimpinannya. Prinsip inilah yang sejatinya harus menjadi landasan dalam menghadapi tantangan kepemimpinan gereja masa kini. Dalam memimpin sebuah gereja lokal seperti Bethany Pulomas yang masih belum mencapai seumur jagung, Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, telah mulai mengalami benturan-benturan tersebut. Namun bagaimanapun, harga memang harus dibayar. Itu adalah konsekwensi  dalam memimpin yang tentu berujung pada kemuliaan nama Tuhan.



Prinsip Kehambaan Sebagai Jantung Kepemimpinan Alkitabiah

Dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu (Matius 20: 27).

Budak atau hamba tidak memiliki hak dan tidak dibayar untuk pekerjaannya. Dia dimiliki seutuhnya oleh tuannya dan seluruh hidupnya adalah untuk melayani tuannya. Ia adalah seorang yang mau atau tidak mau harus dengan rendah hati dan rela. Ini merupakan prinsip kebesaran jiwa yang  diberikan oleh Yesus kepada kita, ini merupakan prinsip Kerajaan Allah.

Kalau kita mempelajari Perjanjian Baru, maka Gelar Hamba Allah tidak pernah dipergunakan oleh Yesus. Kitab-kitab Injil tidak pernah menghubungkannya dengan Yesus, namun demikian nampaknya  gelar itu menjadi suatu keyakinan di antara orang Kristen mula-mula.[16] Indikasi ini menandakan bahwa para pengikut Kristus, telah dapat menjelaskan konsep kehambaan karena telah mengamati dan melihatnya secara langsung dipraktekkan oleh Yesus Kristus. Hal ini juga menjelaskan bagi kita bahwa melayani yang di dorong oleh hati yang menghamba bukanlah hal-hal yang hanya diperkatakan, tetapi dipraktekkan. Intinya, melayani sebagai hamba Allah bukanlah hal yang asing bagi gereja mula-mula.

Sifat khas kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang menghambakan diri. Identitas pemimpin Kristen yang paling penting adalah kehambaannya. Kehambaan itu terpampang pada pribadi seorang pemimpin Kristen yang secara rela dari lubuk hatinya menggagas setiap tindakan kepemimpinan sebagai hamba yang melayani. Ini dapat berarti bahwa Kepemimpinan Kristen bukan untuk mencari keuntungan materi maupun kejayaan moril atau kemasyuran namai, melainkan untuk melayani (Matius 20: 26).

Dalam Perjanjian Lama, dijelaskan bahwa para raja tidak di “desain” untuk meninggikan diri atas rakyat  (Ulangan 17:20). Korah ditegur dan dihukum akibat sikap kepemimpinan yang mengutamakan kedudukan (Bilangan 16:33). Paulus memandang jabatan rasuli bukan untuk kemuliaan dirinya, melainkan untuk bekerja keras dalam pelayanan (2 Korintus 11-12; 1 Korintus 15:10). Para penatua gereja dipanggil untuk menggembalakan dan memelihara umat Allah (Ibrani 13:17; 1 Petrus 5:23). Yesus Kristus mengajarkan kepemimpinan sebagai “menjadi hamba” dan Dia menegaskannya melalui keteladanan-Nya (Matius 20: 27). Contoh-contoh di atas menjelaskan kepada kita apa itu kepemimpinan yang melayani.

Seorang pemimpin Kristen, sejatinya tidak mengincar posisi orang nomor satu dalam struktur gereja, sebab Kristus adalah Kepala Gereja. Ia memimpin namun juga dipimpin oleh Pemimpin Agung, Tuhan Yesus (Yohanes 13:13). Artinya adalah bahwa motivasi pemimpin yang di dorong oleh panggilan kehambaan. Dengan menyadari bahwa karena hamba tidak berhak apapun atas dirinya, maka para pemimpin harus menyadari siapa dirinya. Dia adalah milik Tuhan dan karena itu dia tidak berhak apapun atas apapun. Dengan kesadaran ini, kerendahan hati dalam kepemimpinan seorang pemimpin akan riil dalam prakteknya. Kerendahan hati yang melihat baik kebenaran tentang dirinya maupun keterbukaan untuk terus belajar akan kepemimpinan yang lebih baik.

Konsep Hamba Allah berasal dari nyanyian tentang hamba dalam kitab Yesaya,  jadi perikop-perikop dalam kitab Yesaya ini merupakan titik tolak yang jelas untuk menelusuri latar belakangnya. Ungkapan dalam bahasa Yunani Pais theou (pais theou) dapat berarti Anak Allah atau Hamba Allah. Dalam kebanyakan kasus pada masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ungkapan tersebut mempunyai arti Hamba Allah.[17] Dalam Perjanjian Lama kata hamba berasal dari kata eved atau eved YHWH yang dipakai untuk makna yang religius. Hamba dalam Perjanjian Lama mempunyai arti antara lain: cara orang saleh menyebutkan diri dihadapan Allah, yang menunjukkan orang-orang saleh. Eved YHWH dalam bentuk tunggal sebagai penggambaran Israel dan sebagai gelar khusus untuk menggambarkan orang-orang yang dipakai Tuhan secara istimewa.[18]

Sebagai latar belakang penggunaan istilah ini dalam Perjanjian Baru, kita perlu memperhatikan orang yang secara istimewa ditunjuk dalam kitab Yesaya 42: 1-4; 49: 1-6; 50: 4-9; 52: 13 dan 53: 12). Ada banyak perdebatan mengenai pengertian siapakah hamba yang dimaksud dalam kitab Yesaya ini. Apakah ia merupakan seorang pribadi atau mewakili bangsa Israel secara keseluruhan. Kedua pandangan ini bisa benar dan tidak bertentangan menurut orang Ibrani. Kedua pandangan ini membantu dalam hal penerapan perikop-perikop ini kepada Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.

Alkitab memakai kata “Doulos” dan “Diakonos” yang diterjemahkan sebagai hamba. Meskipun kedua kata tersebut sulit dibedakan dalam penggunaannya. Doulus mengacu kepada seseorang yang berada di bawah otoritas orang lain sedangkan diakonos lebih menekankan kerendahan hati untuk melayani orang lain.

Setelah mempelajari dua terminologi di atas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa konsep pemimpin dalam Perjanjian Baru adalah penghambaan. Lebih konkrit lagi hamba yang dengan rela hati mengambil tempat yang terendah, dan bertahan dalam berbagai kesulitan dan penderitaan karena pelayanannya terhadap orang lain.

Anak kalimat, “hendaklah ia menjadi hambamu” dalam Bahasa Yunani adalah einai prwtos estai umon doulos (einai prootos estai humoon doulos) yang diterjemahkan: be chief let him be your servant (seorang pemimpin menjadikan dirinya seorang pelayan). Terjemahan ini menjelaskan kepada kita bahwa pribadi seorang pemimpin harus secara sadar dan rela menjadikan dirinya seorang pelayan. Ini lahir dari kesadarannya yang terdalam dan itu adalah semangat dan ciri khas dinamika kepemimpinannya.

Tugas hamba lebih dapat dimengerti jikalau yang dimaksud adalah seorang pribadi yang dipanggil Allah dan dipenuhi Roh Kudus. Ia akan memperbaharui bangsa Israel dan akan menetapkan keadilan di antara bangsa-bangsa, lagi pula misinya itu universal yaitu untuk menyatakan keadilan-Nya di antara bangsa-bangsa. Namun untuk mencapai tujuan-Nya, Ia harus menghadapi penderitaan yang sifatnya demi orang lain.

Konsep budak dengan latar belakang Yahudi berbeda dengan yang kita pahami dalam konteks perbudakan modern masa kini. Tidak disangkal bahwa Alkitab versi Indonesia terjemahan baru menuliskan “hamba” lebih banyak daripada “budak”. Perjanjian Baru menulis kata hamba sebanyak 159 ayat, sedangkan kata “budak” hanya muncul di dalam 4 ayat. Padahal kalau kita meneliti dalam bahasa aslinya, kata hamba dan budak itu selalu mengakar dari kata yang sama yaitu doulos.  Apakah ini suatu cara untuk menghaluskan makna modern yang dianut oleh penterjamah Alkitab LAI TB? Kita perlu mendapatkan keterangan dengan detail dari mereka.


Pemimpin Tanpa Otoriter


Banyak orang menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin, baik di kantor, organisasi, kampus, rumah ataupun gereja. Meskipun konsep dan aksi kepemimpinan mereka sangat berbeda dengan konsep dan aksi kepemimpinan yang pernah diajarkan dan didemonstrasikan oleh Yesus Kristus. Padahal, mereka mengklaim diri mereka sebagai pemimpin Kristen.

Konsep kepemimpinan umum biasanya dikaitkan dengan kuasa, karena pemimpin diidentikkan dengan kuasa, muncul opini umum yang menyatakan bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang melekat dengan kuasa. Kuasa seringkali didefinisikan sebagai kapasitas untuk mempengaruhi orang lain. Kuasa bahkan adalah sebuah kemaampuan untuk mendominasi. Beberapa sumber kuasa yang popular termasuk posisi, uang, fisik, senjata, kepakaran, informasi dan lain sebagainya.

Matius 20: 25, “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.” Kekuasaan cenderung korup, otoriter, bahkan sewenang-wenang. Banyak bukti kepemimpinan di dunia ini yang melakukan kekerasan dan otoriterianisme, bahkan kalau boleh dikatakan “hampir” semua pemimpin dunia mempraktekkannya. Kita sangat akrab dengan pemimpin-pemimpin negara di dunia ini yang secara terang-terangan memamerkan kuasanya.

Persoalan muncul ketika para pemimpin gereja juga mengalami hal yang sama. Tidak jarang pemimpin-pemimpin gereja mempergunakan kekerasan dan otoriterianisme dalam menjalankan peran kepemimpinan. Banyak sudah data dan fakta yang terpampang secara gamblang dan tak lagi menjadi rahasia bahwa untuk mendapatkan posisi kepemimpinan serta mempertahankan posisi kepemimpinan tersebut, para pemimpin rohani ini terjebak dalam dosa otoriterianisme.

Sungguh suatu hal tak elok untuk dituliskan namun faktanya tak dapat kita sembunyikan. Para  pemimpin Kristen telah terpengaruh dengan prinsip adopsi-aborsi, adobsi prinsip sekular dan aborsi prinsip kepemimpinan alkitabiah. Sungguh ini sudah menjadi rahasia umum, artinya tidak lagi menjadi sebuah rahasia tetapi kenyataan.

Alkitab mengajarkan bahwa seorang pemimpin, tidak pantas dan tidak etis bertindak otoriter atau memaksakan kehendak. Pemimpin Kristen justru harus meletakkan hak atau kuasa kepemimpinannya dan mengambil posisi sebagai hamba yang melayani. Sejatinya, seorang pemimpin Kristen harus lemah lembut dalam sikap melayani yang lahir dari hati sebgai hamba. Ia bahkan secara rela mengorbankan apapun seperti yang sudah Yesus Kristus lakukan. Pemimpin Kristen harus menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan kepemimpinannya.

Kita belajar bahwa gereja mula-mula hanya mengangkat para pemimpin yang memiliki standar moral dan etika yang sangat tinggi. Dalam Kisah Para Rasul pasal 6, terlihat ketika Lukas mencatat tentang bagaimana ketatnya para calon pemimpin pertama gereja dikaji dan dipilih oleh saudara-saudara seiman. Demikian pula Kristus sendiri dengan teliti memilih dan mengangkat para Rasul. Pemimpin Kristen kini pun harus melewati proses yang sama. Karena bagaimanapun kita sedang menjelaskan dan memperbincangkan kepemimpinan Kristen yang tak lain tak bukan adalah kepemimpinan yang menjadikan Yesus Kristus sebagai pola teladan yang utama dan terutama.

Kuasa kepemimpinan tentu adalah konsep yang alkitabiah. Kita tak dapat menyangkali bahwa kuasa atau otoritas melekat pada pemimpin termasuk seorang pemimpin Kristen. Namun kuasa kepemimpinan yang diajarkan Alkitab justru adalah dinamika yang didorong untuk melayani sehingga timbul sebagai sebuah pengakuan dari masyarakat.

DR. Yakob Tomatala menulis: “Kuasa kepemimpinan terdapat pada seseorang individu dalam organisasi yang secara umum mempertoleh pengakuan/penghargaan dari kelompok/ masyarakat dimana ia berada. Pengakuan/penghargaan ini datang, karena orang tersebut telah membuktikan diri sebagai pekerja ulet (yang ahli) yang bermotivasi dan bermoral tinggi yang telah berhasil secara nyata sehingga ia disebut sebagai orang sukses. Pengakuan ini datang sebagai pengukuhan atas komitmen, dedikasi, serta kinerja yang telah dibuktikan orang tersebut dalam lingkup kerja di tengah masyarakat.”[19]

Secara sederhana, ulasan Yakob Tomatala di atas adalah menjelaskan tentang pembuktian diri yang menghasilkan penghargaan. Seorang pemimpin dapat saja menjabat secara struktural, namun tidak mendapat pegakuan secara praksis. Istilah hukum bagi persoalan ini adalah seorang pemimpin dapat saja menjabat secara de jure namun persoalan de fakto merupakan prosres pembuktian diri.

Seorang pemimpin dapat saja menjabat secara struktural, dan dalam menjalankan kepemimpinan melakukannya dengan pemaksaan otoritas, sehingga dia tidak mendapatkan respon dan pengakuan dari komunitas dimana kepemimpinannya berlangsung. Intinya, seorang pemimpin harus membuktikan diri sebagai pelayanan, maka pengakuan atas pengaruhnya mendapatkan pengakuan. Bukan sebaliknya, menjalankan atau memaksakan otoritas sehingga pengakuan dari komunitas menjadi sangat minim. Dalam sebuah seminar kepemimpinan, John Maxwell mengatakan: “Pengaruh datang dari hubungan dengan sesama, bukan dari posisi.”[20]



Kepemimpinan dan Pengorbanan

Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Matius 20: 28).

Ketika Yesus menderita dan mati menggantikan manusia yang berdosa, Dia menggenapi nubuatan dalam Yesaya 53 yang menjelaskan tugas-Nya sebagai Hamba Allah.[21] Yesus sendiri melakukan apa yang diminta-Nya kepada para pengikut-Nya. Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Ia datang bukan untuk menduduki sebuah takhta, melainkan memikul salib. Yesus merangkum seluruh hidup-Nya dalam satu kalimat yang sangat fenomenal dan tidak tertandingi: “Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. ( Matius 20: 28)

Kata memberi dalam ayat 28 berasal dari kata dounai (dounai). Kata ini merupakan cikal bakal kata donation dalam bahasa Inggris yang berarti derma, sumbangan. Yesus mendermakan hidupNya. Dalam kontek ayat ini kita harus memperjelas pengertian mendermakan sebagai sebuah tindakan dari hati yang dengan sadar dan rela melakukannya. Dalam Matius  27:50, kita menemukan kata menyerahkan: “Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya.” Kata menyerahkan berasal dari kata kerja afhken (afeeken) yang merupakan kata kerja aoris aktif indikatif. Artinya, Yesus menyerahkan nyawanya melalui kesadaran sendiri dan secara aktif. Ia telah melakukannya sekali pada masa lalu ketika Ia tergantung di kayu salib. Konteks ini tentu selaras dengan kata dounai sehingga kita dapat menjelaskan bahwa Yesus saat mendermakan hidupNya bagi banyak orang yang berdosa waktu itu, telah melakukannya dengan kesadaran penuh yang lahir dari hati yang tulus dan suci.

Kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang mendasarkan otoritasnya pada pengorbanan. Sebab itu pemimpin Kristen yang sejati disebut  “pemimpin pelayan”. Dalam menjalankan kepemimpinan, seorang pemimpin Kristen harus menyadari dengan jelas bahwa kepemimpinan yang dijalankannya harus terdorong oleh hati yang tulus dan suci. Hati yang tulus dan suci itu harus dipenuhi kesadaran untuk siap sedia mendermakan hidupnya bagi kepentingan banyak orang dalam lingkup kepemimpinannya. Hal yang utama untuk kita dapat mengenal seseorang telah berjalan dalam prinsif kepemimpinan Kristen yang alkitabiah, adalah ketika terbuktikan dalam situasi kepemimpinan kesadaran pemimpin untuk mendermakan hidupnya secara tulus dan suci.

Cacat terdalam pada kepemimpinan sekuler berakar pada arogansi yang membuatnya bertindak dominan otoriter berdasarkan rasa superioritas. Yesus mengajarkan bahwa ciri khas dan kebesaran pemimpin spiritual terletak bukan pada posisi dan kuasanya, melainkan pada pengorbanannya. Hanya melalui melayani, seseorang menjadi besar (Matius 20: 26). Pemimpin yang memberi keteladanan dan pengorbanan akan memiliki wibawa spiritual untuk memimpin orang lain.

Yesus memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang artinya: manusia berada dalam cengkraman kuasa iblis yang tidak dapat mereka hancurkan; dosa-dosa mereka telah mengikat mereka; dosa-dosa itu memisahkan mereka dari Allah; dosa-dosa mereka menghancurkan hidup mereka sendiri, bagi dunia dan bagi Allah.[22]

Kata tebusan berasal dari kata lutron (lutron) yang berarti a ransom. Tebusan ialah sesuatu yang dibayarkan atau diberikan untuk membebaskan manusia dari situasi semacam itu, yang membuatnya tidak mungkin membebaskan diri sendiri.[23] Tebusan juga berarti harga atau biaya yang harus dibayar untuk membebaskan seorang tawanan. Sebagai contoh, budak atau tawanan perang dapat dibebaskan dengan membayar tebusan. Karena itu ungkapan ini sangat sederhana artinya yaitu: untuk membawa manusia kembali kepada Allah diperlukan pengorbanan kehidupan dan kematian Yesus Kristus.

Inilah kebenaran yang agung dan luar biasa bahwa tanpa Yesus dan hidup pelayanan serta kematian-Nya yang penuh kasih itu, kita tidak pernah dapat menemukan jalan kembali kepada kasih Allah. Yesus memberikan segalanya untuk membawa manusia kembali kepada Allah; dan kita harus berjalan menuruti jejak-jejak Yesus yang sangat mengasihi itu.

Dalam konteks kepemimpinan, kata lutron bermakna sangat mendalam. Seorang pemimpin harus mengerti bahwa konsep ini bukan sekedar basa-basi. Konsep tebusan ini bermakna kehadiran seorang pemimpin harus menjadi suatu solusi bagi persoalan dalam situasi kepemimpinan yang berlangsung. Seperti Yesus yang menghadirkan diriNya sebagai sebuah jawaban, maka pemimpin alkitabiah harus hadir sebagai alat Tuhan yang memberi jalan keluar. Pemimpin dalam hal ini adalah seorang “juruselamat” yang dapat dirasakan maknanya dalam situasi kepemimpinan.

Dunia sedang membutuhkan pemimpin-pemimpin alkitabiah yang dapat menerapkan pengorbanan dalam situasi kepmimpinannya. Seorang menyataknnya dengan sanagat indah: “ketika anda menjadi seorang pemimpin, anda kehilangan hak untuk memikirkan diri sendiri.”[24] Hukum pengorbanan menuntut bahwa semakin besar seorang pemimpin, semakin banyak yang harus dikorbankannya.[25] Pemimpin Kristen masa kini harus kembali merefleksikan kepemimpinan yang alkitabiah. Dengan banyak belajar dari para pendahulu yang telah menoreh sejarah sukses dan memuliakan nama Tuhan.



KESIMPULAN DAN SARAN

Menjalankan fungsi kepemimpinan dengan memimpin berlandaskan etos kepemimpinan Yesus Kristus terbuktikan dari kata yang luar biasa ini, pemimpin berhati hamba yang leyani dengan hati. Esensi Kehambaan sebagai Landasan Kepemimpinan Aktual Gembala Sidang Bethany Pulomas, yaitu Pdt. Joshua Mangiring Sinaga yang baru saja dipercayakan memulai pelayanan kepemimpinan penggembalaan.

Pada prinsipnya, sama dengan kepemimpinan secara umum, kepemimpinan Kristen yang diterapkan dalam membangun Gereja Bethany Pulomas adalah sebuah proses terencana yang dinamis. Namun ada pengkhususan dalam konteks kepemimpinan karena proses dan dinamikanya adalah merupakan rencana dan campur tangan Tuhan. Hal ini memberi arti bahwa Kepemimpinan ini adalah inisiatif dan campur tangan Allah dalam seluruh proses dan dinamika petumbuhannya.

Pola kepemimpinannya adalah dengan menawarkan dua kata yang arti dan maknanya sinonim. Pelayan dan hamba. Pelayan dari kata diakonos   (diakonos) dan hamba dari kata doulos (doulos). Kepemimpinan yang sejati adalah pemimpin pelayan yang berhati hamba. Ia adalah seorang yang selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani. Dia melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan rela. Hati seorang pemimpin adalah seorang yang memberikan dirinya secara keseluruhan kepada keinginan pemiliknya, yaitu Tuhan.

Karenanya kelahiran seorang pemimpin sejati bukanlah merupakan hasil dari rekayasa oknum-oknum tertentu yang memang sudah memiliki muatan motivasi yang pada gilirannya akan menciderai proses dan dinamika kepemimpinan seorang pemimpin. Demikian juga kepemimpinan seharusnya terhindar dari penerapan nepotisme sporadis yang tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kapabilitas seorang pemimpin, karena itu justru akan menjadi bumerang dalam kepemimpinan yang berlangsung. Sejatinya kepemimpinan juga bukan lahir dari ambisi dan nafsu memimpin semata-mata. Peran ambisi harus dibatasi pada tahapan atau level positif sebab bila tidak sisi gelap pemimpin akan mendorongnya menjadi pemimpin otoriter.

Kepemimimpinan adalah pemberian Tuhan sehingga tidak semua ditetapkan untuk menjadi pemimpin secara organisasi. Kepemimpinan itu karunia sekaligus di bangun melalui pelatihan yang berkesinambungan. Karunia itu diberikan oleh Tuhan, tetapi harus disertai dengan pelatihan. Pemimpin yang diberi karunia untuk memimpin tetapi tidak melatihnya akan menjadi pemimpin yang tidak efektif. Adalah hal yang lajim bila mengatakan tak ada sukses yang datang dengan sendirinya. Sukses adalah sebuah pencapaian. Dan pencapaian itu adalah suatu pengorbanan. Pengorbanan akan banyak hal termasuk penderitaan fisik dan jiwa. Cawan penderitaan merupakan kiasan dari resiko kepemimpinan yang harus disikapi dengan benar.

Budak atau hamba tidak memiliki hak dan tidak dibayar untuk pekerjaannya. Dia dimiliki seutuhnya oleh tuannya dan seluruh hidupnya adalah untuk melayani tuannya. Ia adalah seorang yang mau atau tidak mau harus dengan rendah hati dan rela. Ini merupakan prinsip kebesaran jiwa yang  diberikan oleh Yesus kepada para pemimpin, ini merupakan prinsip Kerajaan Allah yang sejati bagi para pemimpin yang meneladani Kristus sebagai jungjunganya.

Alkitab mengajarkan bahwa seorang pemimpin, tidak pantas dan tidak etis bertindak otoriter atau memaksakan kehendak. Pemimpin Kristen justru harus meletakkan hak atau kuasa kepemimpinannya dan mengambil posisi sebagai hamba yang melayani. Sejatinya, seorang pemimpin Kristen harus lemah lembut dalam sikap melayani. Ia bahkan secara rela mengorbankan apapun seperti yang sudah Yesus Kristus lakukan.

Yesus sendiri melakukan apa yang diminta-Nya kepada para pengikut-Nya. Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Ia datang bukan untuk menduduki sebuah takhta, melainkan memikul salib. Yesus merangkum seluruh hidup-Nya dalam satu kalimat yang sangat fenomenal dan tidak tertandingi oleh siapapun yaitu: “Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. ( Matius 20: 28)

Mutiara-mutiara kepemimpinan yang sangat dalam yang telah diuraikan dan disimpulkan pada bab ini, sejatinya haruslah menjadi landasan etos kepemimpinan para pemimpin, khususnya dalam kepemimpinan gembala sidang yang baru saja diteguhkan di dalam wadah gereja Bethany Pulomas. Dengan menjadikan etos kepemimpinan Kristus sebagai landansan dalam seluruh tindakan kepemimpinan dalam wadah gereja muda ini, maka indikasinya yang mengemuka adalah akan terbitnya pelangi kemuliaan yang akan menyertai perjalan penggembalaan sepanjang masa pelayanan.

Semoga tulisan ini juga dapat menginspirasi para pemimpin khususnya para gembala-gembala di dalam wadah sinode Gereja Bethany Indonesia pada khususnya dan para gembala-gembala gereja Tuhan ada umumnya. Dengan demikian, seluruh pemimpin akhirnya memancarkan kemulian bagi nama Tuhan dan junjungan kita, Yesus Kristus.  




KEPUSTAKAAN

Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius Pasal 11-28, PT BPK
Gunung Mulia, 2009
Blanchard, Ken., & Hodges, Phil, Lead Like Jesus, Visi Media, Jakarta, 2006
Carlton, Mattew E., Injil Matius, Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia, 2002
Guthrie, Donald, Teologia Perjanjian Baru , PT BPK Gunung Mulia, 2006
Guthrie, Donald, Teologia Perjanjian Baru I, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010
Heer, De J.J.,  Injil Matius (tafsiran Alkitab), PT BPK Gunung Mulia, 1990
Maxwell, John C.,  21 Hukum Tak Terbantahkan Dalam Kepemimpinan,  Georgia,
Maxwell  Motivation, Inc. hal. 189
Maxwell, John C., Manuskrip Million Leader  Mandate, hal. 2
Newman, Barclay M., & Stine, Philip C., Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Matius,   
LAI  dan Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia,  Jakarta, 2008
Poerwadarminta, W.J.S.,  Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1996
Patterson, Kerry, Crucial Confrontations, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007,
Tomatala, Yakob,  Kepemimpinan Yang Dinamis, YTLF, Jakarta, 2008
Tenney, Merril C., A Parsing Guide to the Greek New Testament, Herald Press, Ontario,
Verkuil, J., Etika Kristen Bagian Umum, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 1985

Alat Bantu Parsing

Biblesoft's New Exhaustive Strong's Numbers and Concordance with Expanded Greek- Hebrew dictionary. Copyright (c) 1994, Biblesoft and International Bible Translators, Inc.



[1] Ken Blanchard & Phil Hodges, Lead Like Jesus, Visi Media, Jakarta, 1996, Hal: 5
[2] The Analytical Greek Lexicon, Harper & Brothers Publisher, New York
[3] Biblesoft's New Exhaustive Strong's Numbers and Concordance with Expanded Greek- Hebrew Dictionary. Copyright (c) 1994, Biblesoft and International Bible Translators, Inc.
[4] Thayer's Greek Lexicon, Electronic Database. Copyright (c) 2000 by Biblesoft
[5]  Yakob Tomatala, Kepemimpinan yang Dinamis, YT Leadership Foundation, Jakarta, 2008, Hal. 3

[6] Merrill C. Tenney, A Parsing Guide to the Greek New Testament, Herald Press, Ontario, 42
[7] Ibid
[8] W.J.S. Poerwadarminta, Loc. Cit.
[9]Barclay M. Newman dan Philip c. Stine, Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Matius, Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia,  Jakarta, 2008
[10] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius Pasal 11-28, PT BPK Gunung Mulia, 2009
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 134
[13] W.J.S. Poerwadarminta, Loc. Cit.
[14] Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru , PT BPK Gunung Mulia, 2006
[15] Kerry Patterson dan kawan-kawan, Crucial Confrontations, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007, Hal. 4
[16] Donald Guthrie,Teologia Perjanjian Baru I, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010
[17] Ibid
[18] ibid
[19] Loc Cit, Yakob Tomatala, Kepemimpinan Dinamis, hal. 114
[20] John Maxwell, Materi Seminar Kepemimpinan Million Leader  Mandate, hal. 2
[21] Matthew E. Carlton, Injil Matius, Yayasan Karunia bakti Budaya Indonesia, 2002
[22]  DRS. J. J. De Heer, Injil Matius (tafsiran Alkitab), PT BPK Gunung Mulia, 1990
[23] ibid
[24] John C. Maxwell, 21 Hukum Tak Terbantahkan Dalam Kepemimpinan,  Georgia, Maxwell 
    Motivation, Inc. hal. 189
[25] Ibid, hal 191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar