Esensi Kehambaan Sebagai Landasan Kepemimpinan
Aktual
Gembala Sidang Gereja Bethany Indonesia Pulomas
Oleh: Ps Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th
“Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di
dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.” (1 Yohanes 2:6)
Sebuah
Pengantar
Etos kepemimpinan merupakan dua kata
yang sangat menarik. Kepemimpinan sejatinya memang adalah suatu dunia yang tak
lepas dari etos. Kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan
mana seseorang melakukan suatu perbuatan adalah penekanan khusus dari arti kata
etos (Verkuil, 1995:15). Pemimpin harus melandaskan tindakan memimpin dengan
mendasarkannya pada kesusilaan yang patut, perasaan batinnya yang terdalam,
serta kecenderungan hati nuraninya yang paling murni. Inilah yang disebut
dengan kata wajib hidup sama seperti Kristus.
Pemimpin yang memimpin dengan
melandaskan kepemimpinan dari teladan hidup Kristus adalah bukti nyata bahwa
seorang pemimpin telah hidup di dalam Kristus. Tanpa dapat melihat tanda itu,
maka seorang pemimpin harus diuji keberadaannya apakah dia adalah pemimpin
Kristen yang sejati.
Banyak harapan dan hasrat yang ditujukan
kepada para pemimpin, namun bila pemimpin tidak tinggal di dalam Kristus, maka
harapan itu akan menjadi harapan-harapan kosong. Ini penting dimengerti karena
memimpin tanpa Kristus akan menjadi pepesan kosong bila itu dikaitkan dengan
kesusilaan, perasaan batin, dan hati nurani. Tanpa Kristus, maka kepemimpinan
tidak akan mendapatkan terang Roh Kudus yang sejatinya adalah kekuatan untuk
masuk dalam etos kepemimpinan yang maksimal.
Kepemimpinan adalah suatu proses
mempengaruhi. Setiap kali anda berusaha mempengaruhi cara berpikir, perilaku,
atau perkembangan orang menuju pencapaian suatu tujuan dalam kehidupan pribadi
atau profesional mereka, anda sedang menjalankan peran sebagai pemimpin.
Kepemimpinan adalah suatu tindakan yang sama intimnya seperti kata-kata bimbingan dan dorongan kepada seseorang yang
sangat dicintai atau sama formalnya dengan instruksi yang melewati suatu garis
komunikasi yang luas dalam suatu organisasi. Kepemimpinan bisa saja
menumbuhkembangkan karakter dan rasa harga diri dalam diri anak-anak dan
mendorong keakraban yang lebih besar dan pemenuhan dalam hubungan personal.
Kepemimpinan itu juga menyangkut pendistribusian sumber daya dalam suatu
organisasi untuk mencapai atau menyelesaikan suatu tujuan tugas tertentu.[1]
Mengelola pengaruh dengan benar adalah
aktivitas memimpin yang praktis yang sehat. Ini menandakan bahwa setiap
aktifitas memimpin adalah merupakan aktivitas aktip yang harus dilandaskan pada
kesusilaan. Tanpa itu, maka pengaruh dapat menjadi tidak terkendali dan liar.
Semua orang dapat mengeri bahwa ini adalah pola kepemimpinan yang sakit yang
akhirnya berujung pada otoriterisasi. Semua dapat mahfum bahwa otoriterisasi
adalah penyakit yang paling umum kepemimpinan. Itu bukan saja terbatas dalam
kepemimpinan secara umum, pun juga ada dalam kepemimpinan berbasis rohani
seperti gereja.
Sebagai gembala sidang, ia sejatinya
adalah pemimpin rohani yang memiliki pengaruh signifikan. Ia secara otomatis
memiliki kuasa yang kuat baik secara organisasi maupun secara pribadi. Secara
organisasi ia dibekali kuasa secara struktural yang mana hal ini menjadi
landasan dalam setiap tindakan operasioanalnya. Ia berhak melakukan hal-hal
tertentu atas nama organisasi dan juga berhak untuk tidak melakukan sesuatu
juga berdasarkan organisasi. Secara pribadi, ia adalah seorang pemimpin yang
didalamnya melekat kuasa. Kuasa dari tempat yang mahatinggi yaitu kuasa atau mandat ilahi.
Pendeta atau gembala sidang yang mana atasnya diteguhkan sebagai pejabat gereja
atas nama Allah Trinitas, melekat kuasa atau mandat ilahi yang bersifat
spiritual.
Sejatinya gembala sidang adalah pemimpin
yang disertai dengan mandat atau kuasa. Mandat atau kuasa itu adalah suatu
dimensi pengaruh yang bobotnya besar. Pengaruh akibat mandat ilahi serta kuasa
organisasi, menempatkan seorang gembala pada posisi strategis dalam
kepemimpinan. Strategis karena ia tidak hanya diebekali kuasa organisasi,
tetapi juga mandat yang bersifat ilahi. Posisi strategis inilah yang menjadi
tantangan bagi kepemimpinan seorang gembala sidang. Keberhasilannya adalah
didasarkan atas ketaatannya pada keputusan yang kokoh untuk mengikuti etos
kepemimpinan Yesus Kristus sebagai junjungan yang tertinggi. Tanpa itu, gembala
sidang hanyalah seorang pribadi yang tak berbeda dengan pemimpin umum lainnya.
Menjadi gembala, adalah pemimpin yang sejatinya menjadikan etos kepemimpinannya
berdasarkan teladan hidup Yesus Kristus.
Perlunya
sebuah Batasan
Mengingat betapa luasnya sifat dan
aktualisasi kepemimpinan berbasis etos Kristus, namun betapa sempitnya ruang
bagi paper singkat ini, maka penulis menitikberatkannya pada esensi sikap
kehambaan yang melandasi tindakan kepemimpinan aktual seorang gembala sidang.
Sesuai dengan judulnya, Esensi Kehambaan sebagai Landasan Aktualisasi Kepemimpinan
Gembala Sidang Bethany Pulomas, paper singkat ini berupaya untuk mengungkap
prinsip-prinsip aktualisasi kepemimpinan berbasis kehambaan yang diterapkan
gembala sidang Bethany Pulomas dalam kepemimpinannya sebagai gembala sidang
sejak diteguhkan tanggal 4 September 2011.
Aktualiasis kepemimpinan kehambaan
gembala sidang Bethany Pulomas yang adalah penulis sendiri, memungkinkan
pengungkapan fakta-fakta alkitabiah yang seringkali tidak kongruen dengan
keadaan riil di lapangan. Kepemimpinan berbasis kehambaan ini adalah samudera
luas yang membutuhkan kecerdasan dan atau hikmat yang cukup agar dapat berlabuh
dengan sukses di pantai sukses memimpin. Namun demikian, sebagai pemimpin yang
melandaskan seluruh tindakan kepemimpinan berdasarkan teladan hidup Kristus,
penulis melihat kebesaran dan kemuliaan yang tak terkira ketika komitmen
memikul salib diberlakukan dalam segala situasi kepemimpinan yang ada.
Rumusan
Istilah
1.
Pola kepemimpinan yang Yesus paparkan adalah
dengan menawarkan dua kata yang arti dan maknanya sinonim. Pelayan dan hamba.
Pelayan dari kata diakonos (diakonos) dan hamba dari kata doulos
(doulos). Menurut The Analitical Greek Lexicon, kata diakonos (diakonos) berarti one who renders service to another. [2] Prinsif inti dari kata diakonos adalah orang
yang menyumbangkan (memberi) diri melayani yang lain. Memberi diri ini penting
sekali dipahami sebagai sebuah tindakan sadar yang dilakukan dengan dorongan
hati. Tindakan ini jauh dari keterpaksaan. Hal ini sesuai dengan pengertian
dari Biblesoft's New Exhaustive Strong's Numbers and Concordance with Expanded
Greek-Hebrew Dictionary: “a waiter (at
table or in other menial duties)”.[3]
Diakonos
adalah seorang yang selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani seperti
seorang waiter. Dia melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan
rela. Sekali lagi panggilan ini jauh dari keterpaksaan atau tekanan. Arti kata hamba: doulos (doulos) dapat kita pahami
sebagai berikut:[4]
a slave,
bondman, man of servile condition. a slave (kata benda): budak. (kata
kerja): seorang yang bekerja keras,
membanting tulang (over untuk).(kata sifat): seorang pemburu-buru kerja. Bondman: penjamin. Seorang yang terjual
sebagai agunan (jaminan). Man of Servile
Condition: seorang yang kondisinya bersikap merendahkan diri. Jadi doulos
(doulos) berarti seseorang yang telah terjual kepada seseorang. Ia memberikan
dirinya secara keseluruhan kepada keinginan pemiliknya, sehingga ia tidak
mempedulikan sama sekali kepentingan dirinya. Ia bekerja sangat keras
(membanting tulang) dengan motivasi hati yang melayani demi kepentingan
tuannya.
2.
Landasan
dapat
diterangkan sebagai pijakan awal dalam memulai suatu tindakan, dalam konteks
ini tindakan memimpin. Ia merupakan dasar dan atau pundasi yang memungkinkan tindakan
tersebut dapat dilangsungkan dengan baik sehingga berdaya guna dan berhasil
mencapai sasaran yang direncanakan.
3.
Kepemimpinan Kristen adalah adalah
suatu proses terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan Kristen (yang
menyangkut faktor waktu, tempat, dan situasi khusus) yang didalamnya oleh
campur tangan Allah, Ia memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin (dengan
kapasitas penuh) untuk memimpin umat-Nya (dalam pengelompokan diri sebagai
suatu institusi/organisasi) guna mencapai tujuan-Nya (yang membawa keuntungan
bagi pemimpin, bawahan, dan lingkungan hidup) bagi dan melalui umat-Nya untuk
kejayaan kerajaan-Nya.[5]
4.
Gembala Sidang adalah suatu jabatan
struktural dalam sebuah gereja lokal, dalam hal ini Gereja Bethany Indonesia.
Ia adalah pemimpin jemaat yang dibekali dengan otoritas yang besar atas
kelangsungan hidup organisasi gereja lokal serta dengan mandat yang penuh
menjalankan peran-peran pastoralia dan fungsi pelaksana sakramentalia. Dalam
wadah Gereja Bethany Indonesia yang memberikan peran otonom pada gereja lokal,
memungkinkan seorang gembala sidang di gereja ini dapat mengeksplorasi talenta
serta sumber daya dan dananya untuk mengembangkan sayap pelayanan secara tidak
terbatas
Kepemimpinan
Gembala Sidang Bethany Pulomas
“Lalu
aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan
siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah
aku!" (Yesaya 6:8)
Gereja Bethany Indonesia Pulomas adalah
gereja lokal yang bernaung dalam wadah sinode Gereja Bethany Indonesia. Berdiri
sejak 4 September 2011 dengan jumlah jemaat mula-mula tidak lebih dari 15
orang. Gereja yang belum genap seumur jagung ini pun lahir dari pergumulan yang
sangat panjang yang diawali dari pelayanan seorang penginjil muda, Ev. Joshua
Mangiring Sinaga, S.Th, di dalam wadah pelayanan lintas denominasi Hatinurani
Ministries sejak Desember 2005.
Hatinurani Ministries adalah pelayanan
yang bersifat interdenominasi yang memfokuskan diri bagi penginjilan kaum
marginal di wilayah Jakarta, khususnya Jakarta Utara. Dalam karya dan
pelayanannya selama lebih dari 6 tahun telah menjangkau dan melayani lebih dari
500 jiwa kaum marginal yang mendiami daerah-daerah minus di Tanjung Priok, khususnya
wilayah sepanjang rel kereta api Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Hatinurani Ministries adalah cikal bakal
Gereja Bethany Indonesia Pulomas. Yang berawal dari keputusan para pengurus
Yayasan Hati Nurani untuk meningkatkan pelayanan ministries ke dalam wadah
gerejawi. Ini dipandang penting karena kebutuhan yang bersifat sakramentalia
yang tidak dapat dilakukan sebuah ministries yang hanya bernaung di bawah
yayasan. Sementara pelayanan yang semakin kompleks “memaksa” para pemimpin
yayasan untuk memikirkan terobosan pelayanan yang terbaru. Itulah panggilan
yang khusus untuk melakukan pekerjaan pelayanan bagi Kristus. Panggilan ini
seperti apa yang telah diungkap oleh Nabi Yesaya, “ ini aku, utuslah aku!”
Panggilan
Memimpin Gembala Sidang Bethany Pulomas
Pdt. Joshua Mangiring SINAGA, S.Th lahir
pada tanggal 9 Maret 1976 dengan nama kecil Mangiring Sinaga. Setelah berumur
16 tahun, ia dibaptis dan diberikan nama baptis Joshua. Pada awal pelayanan, ia
adalah seorang penginjil yang telah berkhotbah sejak usia 17 tahun, yaitu tahun
pertama pertobatannya. Ia lahir dari sebuah keluarga petani miskin di sebuah
desa terpencil di pelosok Tanah Tapanuli. Ironis, sebagai anak sulung laki-laki
yang biasanya sangat didambakan oleh setiap keluarga Tapanuli, justru ia lahir
ketika sang ayah pergi entah kemana. Yang lebih prihatin lagi, dia lahir
sebelum waktu persalinan. Ia lahir prematur.
Keadaan ekonomi yang prihatin membuat
sang ibu tidak dapat merawat Joshua kecil. Hingga usia 16 tahun dia bertumbuh
sebagai pemuda yang minder dan kurang bergaul karena kondisi pisik yang
sakit-sakitan. Hampir sepanjang usianya, ia telah menderita berbagai sakit
penyakit. Puncaknya adalah ketika dia berusia 15 tahun, dia mau mati. Dia
berniat bunuh diri untuk mengakhiri semua deraan penyakit komplikasi yang tak
kunjung sirna. Namun Tuhan mengasihinya, lewat sang ibu, dia akhirnya sadar dan
mengurungkan niatnya. Tuhan punya rencana yang manis dalam hidupnya.
Menjelang usia 17 tahun, Mangiring Sinaga
yang masih remaja mengalami satu guncangan yang sangat hebat. Kali ini adalah
berita “pertobatan” sang ayah. Sang ayah yang berantakan kemudian berubah
menjadi pria sesungguhnya ketika bertemu Kristus dan mengalami perubahan total
dalam hidupnya. Lewat perjuangan yang sangat melelahkan, sang ayah yang juga
telah ditahbiskan menjadi penginjil itu, akhirnya dapat memulihkan hubungan
yang retak dengan dia dan semua anggota keluarga. Luka-luka batin akibat
kejahatan sang ayah sepanjang 16 tahun oleh pertolongan kuasa dan anugerah
Kristus pun pulih secara ajaib. Dengan tekun sang ayah mendorongnya untuk
mengenal Yesus secara pribadi. Ajaib sungguh kuasa INJIL, tak lama setelah
pertobatan sang ayah, semua anggota keluarga bertobat dan lahir baru. Tidak
ketinggalan Mangiring Sinaga.
Selang beberapa lama menjadi Kristen
lahir baru, dalam sebuah penglihatan yang spektakuler. Mangiring Sinaga di bawa
dalam sebuah penglihatan tentang kemuliaan SURGA dan kegelapan Neraka. Remaja
sakit-sakitan ini pun tersentak dan tidak mengerti harus berbuat apa. Namun
sesuatu sedang terjadi dalam tubuhnya. Sebuah suara lembut memenuhi semua
ruangan kamarnya. Suara lembut itu berkata: “Anak-KU!” berkali-kali. Kemudian
penglihatan yang tak lebih dari 1 menit itu pun berlalu. Seperti berlalunya
suara itu, ia merasakan tubuhnya menjadi ringan dan sangat sehat. Sejak malam
penglihatan itu, dia sembuh total. Sejak malam itu juga, dia tidak lagi
mengunjungi rumah sakit yang menjadi langganannya hampir sepanjang 16 tahun.
Dia sembuh secara ajaib. Dengan bulat ia memutuskan untuk di baptis. Sejak
itulah ia lebih dikenal dengan nama Joshua MS.
Pengalaman rohani di kamar tidur yang
luar biasa itu menuntunnya untuk menghabiskan banyak waktu belajar Alkitab.
Bahkan ketika belajar di sebuah SMA, dia sudah serius membaca dan mempelajari
Alkitab. Dia mulai belajar berkhotbah pada tahun pertama pertobatannya. Setamat
SMA, dengan hati bulat dan dengan dukungan keluarga dia masuk sebuah Sekolah
Alkitab. Pada tahun 2000, setelah bergumul dalam melalui kerasnya disiplin
seminari selama 5 tahun, akhirnya Joshua berhasil menyelesaikan study dan
mendapatkan gelar Sarjana Theologia.
Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th yang
biasa di sapa Kak Jo kini melayani sebagai penginjil dan pengkhotbah. Beberapa
pulau sudah dikunjunginya dan menjadi ciri khasnya adalah mengobarkan api
penginjilan. Mulai dari ujung Sumatera, pedalaman Kalimantan, hingga tanah
Timor KUPANG di Pulau Rote, dia berkhotbah tentang Kuasa INJIL yang luar biasa.
Untuk mempermudah birokrasi pelayanan, Pdt. Joshua M. Sinaga, S.Th mendirikan Yayasan
Hati Nurani pada Desember 2005. Sebuah lembaga berbadan hukum yang memfokuskan
pelayanan untuk menjangkau kaum marginal ini pun lebih dikenal dengan nama
Hatinurani Ministries. Ia juga penulis aktif di milis-milis Kristen, mengelola
sebuah blog pribadi, dan menjadi kontributor lepas di Koran Sinar Harapan yang
terbit sore hari di Jakarta.
Panggilan memimpin dalam wadah gereja
baru direspon oleh Pdt. Joshua Mangiring Sinaga pada September 2011. Walau
telah ditahbiskan menjadi pendeta tahun 2006, ia merasa penginjilan adalah
pelayanannya yang utama. Sehingga untuk menjadi gembala masih merupakan
pergumulan yang sangat khusus baginya. Namun oleh karena petunjuk dan konfirmasi
dari pihak-pihak yang kompeten, khususnya para pemimpin di Sinode, ia akhirnya
memenuhi panggilan menjadi gembala di Bethany Pulomas sejak awal September
2011.
Satu hal yang baru dan tentu sangat
menantang adalah bagaimana menyelaraskan jiwa penginjilan yang tertanam dalam
dirinya dalam arena penggembalaan yang lebih bersifat khusus di dalam sebuah
gereja lokal. Ini adalah tantangan yang sangat berat mengingat panggilan
memimpin sebagai gembala sidang adalah suatu yang yang membutuhkan keterampilan
dan hikmat khusus.
Bethany Pulomas berdiri dengan sifat
otonom yang melekat. Kehidupan dan pelayanan gereja lokal diserahkan sepenuhnya kepada gembala
sidang. Dalam hal ini, gembala sidang adalah pemimpin sentral di dalam gereja lokal. Ia adalah aktor
utama yang memungkin maju atau mundurnya organisasi. Ini adalah suatu tantangan
tersendiri sebab faktor kepribadian seorang gembala
adalah tolak ukur pertumbuhan dan dinamika kepemimpinan organisasi.
Seorang gembala sidang tertantang untuk
mendengar dan memaknai panggilan ilahi baginya untuk memimpin. Dengan melekatkan
diri melalui meneladankan seluruh tindakan memimpin kepda teladan hidup Yesus
Kristus, memungkinkan seorang gembala sidang Gereja Bethany berdaya guna dan
sukses melewati tantangan otonomisasi gereja. Tanpa mengerti dan memahami serta
menjalankan etos kepemimpinan Yesus Kristus dalam menjalankan peran
kepemimpinan dalam jemaat lokal, gembala sidang Bethany Pulomas akan menghadapi
berbagai benturan dan tangtangan yang sudah pasti akan menghambat perjalanan
kepemimpinannya.
“Ini aku, utuslah aku”, adalah kalimat
paling menggetarkan dalam fungsi memimpin yang melayani. Ini bermakna bahwa
kepemimpinan itu merupakan suatu panggilan yang suci dan didasarkan dari
ketulusan serta totalitas jiwa. Ini juga bermakna tentang ketergantungan yang
total pada anugerah Allah dalam memimpin. Anugerah yang bermakna itu sebagai
suatu pemberian Allah semata-mata sehingga harus dijalankan dengan kerendahan
hati yang tulus. Kesadaran ini mengakar dari pengertian yang jelas tentang
ketidakberdayaan manusia fana dan berdosa untuk memimpin seperti yang Yesus
teladankan.
Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th telah
menerima dan menjalankan fungsi memimpin dalam kepemimpinan sebagai gembala
sidang. Ianya mengerti akan segala ketidakmampuan sehingga ia telah berkomitmen
yang penuh untuk bergantung kepada Allah dalam segala hal. Ia juga telah
belajar untuk mendengarkan para pemimpin yang telah memberikan teladan hidup
yang teruji dalam menjalankan peran memimpin yang berlandaskan etos memimpin
seperti Yesus. Ia melihat dan merasakan fungsi dan peran pemimpin yang signifikan
khususnya dari pendiri Gereja Bethany, Pdt Abraham Alex Tanuseputera. Dalam
fungsinya sebagai gembala sidang di dalam wadah Gereja Bethany Indonesia yang
otonom, ia adalah pemimpin berhati hamba yang dengan rela dipimpin dan
dibimbing para pemimpin. Dalam prakteknya, ia adalah pemimpin yang dipimpin.
PENGEJAWANTAHAN
PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN KEHAMBAAN
“Tetapi Yesus
memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah
bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar
menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara
kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia
menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak
orang.” (Matius 20:25-28)
Makna
Filosofis Kepemimpinan
Kita mendapatkan beragam pengertian
kepemimpinan. Beberapa tokoh-tokoh kepemimpinan menjelaskanya dengan sudut
pandang dan penekanan yang berbeda, namun semuanya dapatlah dikatakan selalu
memiliki esensi yang sama. Kita akan selalu bertemu dengan kata pemimpin,
situasi kepemimpinan, serta orang yang dipimpin.
Kepemimpinan Kristen adalah suatu proses
terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan Kristen (yang menyangkut faktor
waktu, tempat, dan situasi khusus) yang didalamnya oleh campur tangan Allah, Ia
memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin (dengan kapasitas penuh) untuk
memimpin umat-Nya (dalam pengelompokan diri sebagai suatu institusi/organisasi)
guna mencapai tujuan-Nya (yang membawa keuntungan bagi pemimpin, bawahan, dan
lingkungan hidup) bagi dan melalui umat-Nya untuk kejayaan kerajaan-Nya (Yakob
Tomatala, 2008:3).
Pada prinsipnya, sama dengan kepemimpinan
secara umum, kepemimpinan Kristen adalah sebuah proses terencana yang dinamis.
Namun ada pengkhususan dalam konteks kepemimpinan kristiani karena proses dan
dinamikanya adalah merupakan rencana dan campur tangan Tuhan. Hal ini memberi
arti bahwa Kepemimpinan Kristen adalah inisiatif dan campur tangan Allah dalam
sejumlah proses dan dinamikanya. Ini seharusnya menjadi satu peringatan jelas
bahwa kepemimpinan yang kristiani akan selalu diwarnai dengan pengakuan akan
adanya rencana dan campur tangan Tuhan atasnya. Secara sederhana, kita dapat
menjelaskan bahwa kepemimpinan Kristen merupakan suatu kepemimpinan yang
merupakan inisiatif dan campur tangan Tuhan sehingga kepemimpinan ini akan
selalu mengacu kepada prinsip-prinsip yang termuat dalam Alkitab.
Karena kepemimpinan kristiani adalah merupakan
rencana dan didalamnya ternyata campur tangan Allah, maka sejatinya Tuhanlah
yang berdaulat memilih pemimpin Kristen. Tuhanlah yang memilih bagi
kemuliaan-Nya seorang pemimpin dan memperlengkapinya (melalui proses
pembentukan kepemimpinan) dengan segenap kapasitas untuk memimpin. Kita
mengerti bahwa tanpa campur tangan Allah, maka kepemimpinan yang terbentuk akan
menjadi kepemimpinan sekuler yang “timpang” dan “berbahaya”. Timpang karena
akan cenderung mengadobsi dalil-dalil kepemimpinan duniawi yang sudah pasti
akan berdampak buruk bagi dan dalam dinamika serta situasi kepemimpinan yang
ada.
Dalam Kepemimpinan Kristen, tujuan Allah adalah
dasar utama yang menjelaskan untuk apa gereja (umat-Nya) ada yang di atasnya
tujuan umat Allah di bangun. Penting untuk memahami bahwa secara filosofis,
Allah yang memilih bagi-Nya seorang pemimpin, memiliki suatu tujuan yang pasti
yaitu bagi kemuliaan nama-Nya dan kejayaan Kerajaan-Nya. Ketika sebuah
kepemimpinan dibentuknya, indikasi yang kuat adalah bahwa nama-Nya dimuliakan
dan Kerajaan-Nya ditegakkan.
Prinsip
Dasar Etos Kepemimpinan Yesus Kristus
Apa yang membuat seseorang di sebut sebagai
pemimpin? Apakah prestasi, tingkat sosial, kekuasaan atau penampilan? Apakah
secara otomatis seseorang dapat menjadi pemimpin ketika namanya tercantum di
bagan organisasi? Yesus menjawab semua pertanyaan ini dengan pernyataan yang
luar biasa. Pandangan-Nya tentang kepemimpinan ternyata berbanding terbalik
dengan pandangan yang lajim di pegang oleh orang-orang pada umumnya dalam Matius 20: 25-28.
Kata memerintah dalam
Bahasa Yunani berasal dari kata katakurieuosin (katakurieuosin) yang dalam analisa (parsing) adalah: 3p, pl, pres, act,
ind…. katakurieuw (katakurieuw).[6] Kata katakurieuosin (katakurieuosin)
menjelaskan fakta bahwa orang-orang (para pemimpin dunia) menjalankan kepemimpinan
dan terus melakukannya hingga kini secara aktif
dengan konsep memerintah.
Konsep memimpin
dengan cara memerintah memang lajim dalam dunia sejak zaman purba. Memerintah
dalam hal ini mengandung arti memberi komando. Terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia
terjemahan baru menambahkan kata tangan besi untuk menggambarkan pola
kepemimpinan memerintah ini. Kata “tangan besi” merupakan kata yang menjelaskan
kata di depannya, yaitu kata memerintah. Dalam bahasa Yunani kata ini tidak
ditemukan jadi adalah suatu kata yang melekat dengan kata yang dijelaskannya.
Terjemahan yang paling tepat untuk kata katakurieuosin (katakurieuosin)
adalah exercise dominion over
(tindakan menguasai atau mengendalikan).
Memerintah disini
mengandung konotasi yang kurang baik. Hal ini dijelaskan lebih mendalam dengan
kalimat ke dua dalam ayat yang sama: “pembesar-pembesar menjalankan kuasanya
dengan keras atas mereka.” Untuk
menjelaskan kalimat ini, kita harus mengerti arti kata: katexousiazousin (katexousiazousin)
yang berarti: exercise authority upon
(penerapan otoritas).
Apabila kita analisa
(parsing), maka kata katexousiazousin memiliki kesamaan
analitis dengan kata katakurieuosin (katakurieuosin).[7] Jadi kata ini menjelaskan
fakta bahwa orang-orang (para pemimpin dunia) menjalankan kepemimpinan dan
terus melakukannya hingga kini secara aktif
dengan menerapkan prinsif otoritas yang menguasai dan mengendalikan.
Kata memerintah dengan otoritas yang diindikasikan dengan tangan besi (bersifat
memaksa, mengendalikan, dan otoriter), adalah gambaran yang umum dalam
kepemimpinan sekuler. Pola ini ternyata telah dijalankan sejak zaman purba.
Raja Firaun yang memperbudak orang Ibrani ratusan tahun adalah contoh paling
tepat. Raja-raja dalam Perjanjian Lama yang memerintah Israel pun, beberapa diantaranya
pun, mempraktekkannya. Tetapi contoh paling sesuai konteks adalah Pontius
Pilatus. Gubernur Romawi yang menjalankan pemerintahan di salah satu koloninya
dengan tangan besi ( bandingkan Kisah Para Rasul 4:27; Lukas 3:1; 1 Timotius 6:13).
Pola kepemimpinan yang Yesus paparkan pada ayat
tersebut di atas adalah dengan menawarkan dua kata yang arti dan maknanya
sinonim. Pelayan dan hamba. Pelayan dari kata diakonos (diakonos)
dan hamba dari kata doulos
(doulos).
Menurut The Analitical Greek Lexicon, kata diakonos
(diakonos) berarti one who renders
service to another. Prinsip inti dari kata diakonos adalah orang yang
menyumbangkan (memberi) diri melayani yang lain. Memberi diri ini penting
sekali dipahami sebagai sebuah tindakan sadar yang dilakukan dengan dorongan
hati. Tindakan ini bukan keterpaksaan. Hal ini sesuai dengan pengertian dari Biblesoft's
New Exhaustive Strong's Numbers and Concordance with Expanded Greek-Hebrew
Dictionary: “a waiter (at table or in other
menial duties)”. Diakonos adalah seorang yang
selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani seperti seorang waiter. Dia
melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan rela. Sekali lagi
panggilan ini jauh dari keterpaksaan.
Kata doulos (doulos) adalah kata yang cukup sering kita
dengar, namun demikian sering kita kurang memahami artinya secara mendalam.
Gambaran arti kata ini dapat kita pahami sebagai berikut:
a.
a slave,
bondman, man of servile condition. a slave
(kata benda): budak. (kata kerja):
seorang yang bekerja keras, membanting tulang (over untuk).(kata sifat):
seorang pemburu-buru kerja. Bondman:
penjamin. Seorang yang terjual sebagai agunan (jaminan). Man of Servile Condition: seorang yang kondisinya bersikap
merendahkan diri.
b. Metaphorically (metafora):
-
one who gives himself up wholly to another's
will, (1
Korintus 7:23)
-
devoted
to another to the disregard of one's own interests. (Matius 20:27)
Jadi kalau kita tarik benang merah dari
beberapa pengertian di atas, maka kata doulos (doulos) berarti seseorang
yang telah terjual kepada seseorang. Ia memberikan dirinya secara keseluruhan
kepada keinginan pemiliknya, sehingga ia tidak mempedulikan sama sekali
kepentingan dirinya. Ia bekerja sangat keras (membanting tulang) demi
kepentingan tuannya.
Menurut sabda yang disampaikan Yesus Kristus,
jenis kepemimpinan yang sejati adalah pemimpin pelayan yang berhati hamba. Ia adalah
seorang yang selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani seperti
seorang waiter. Dia melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan
rela. Sekali lagi panggilan ini jauh dari keterpaksaan atau tekanan.
Hati seorang pemimpin adalah seorang yang
memberikan dirinya secara keseluruhan kepada keinginan pemiliknya, yaitu Tuhan.
Motif ini mendorong sehingga ia tidak mempedulikan sama sekali kepentingan
dirinya. Ia bekerja melayani dengan sangat keras (membanting tulang) demi
kepentingan tuannya. Yesus Kristus mengatakan, pemimpin dunia bukanlah teladan
kepemimpinan Kristen, tetapi kepemimpinan Kristen harus mengakar pada pelayan
berhati hamba.
Yesus Kristus memiliki pandangan yang sangat
jelas tentang apa yang Dia maksudkan dengan cara kita memimpin. Dia ingin kita
menjadi pemimpin tidak seperti dunia memimpin. Dunia memimpin dengan melakukan
apa saja untuk melanggengkan kekuasaannya, tidak peduli dengan cara apapun.
Ayat di atas tadi dengan jelas membedakan ciri-ciri kepemimpinan antara pemimpin
dunia dengan pemimpin yang meneladani Yesus Kristus.
Sisi
Gelap Dunia Kepemimpinan
Merujuk kepada dalil, kepemimpinan adalah
dilahirkan dan sekaligus di bentuk, maka akan di ulas faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya sebuah kepemimpinan. Indikasi ini dapat merupakan
pemicu yang bersifat negatif. Memang kita tidak dapat mengatakan bahwa pemicu
yang bersifat negatif ini selalu berdampak buruk. Walau juga kita tak dapat
mengklaimnya sebagai hal yang baik.
Pemicu negatif yang membentuk perilaku seorang
pemimpin tentu mempengaruhi tindakan kepemimpinannya di masa yang akan datang.
Bagaimana pun, latar belakang pembentukan mempengaruhi perilaku seseorang. Hal
ini dapat dijelaskan sebagai habitat yang sulit untuk ditinggalkan.
Sulit untuk mengharapkan sesuatu yang hebat
dari suatu hal yang tidak dipersiapkan dengan baik. Pola pembentukan
kepemipinan adalah seperti sebuah habitat alami yang akan mempengaruhi perilaku
atau karakter kepemimpinan seorang pemimpin. Olehnya, adalah sangat penting
untuk mempersiapkan seseorang untuk menjadi pemimpin masa depan.
Proses pembentukan kepemimpinan masa kini, akan
menjadi gambaran samar kepemimpinan masa yang akan datang. Bila pemimpin masa
ini dibentuk sesuai dengan pola alkitabiah, maka kita akan melihat pemimpin
alkitabiah di masa yang akan datang.
Kepemimpinan Akibat Rekayasa Pihak Lain
“Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus
serta anak-anaknya itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapan-Nya untuk meminta
sesuatu kepada-Nya.” (Matius 20:20)
Kata permintaan menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah: memohon sesuatu demi kepentingan sendiri.[8]
Ayat 20 ini diawali ketika Salome, ibu Yakobus dan Yohanes (Matius 27: 56 ,
Markus 15: 40) yang meminta Yesus supaya mengangkat salah satu dari anaknya
pada posisi tertentu kelak ketika Yesus menyatakan diri dalam kerajaanNya.
Kata Yesus: “apa yang kau kehendaki?” Jawabnya:
“berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam kerajaan-Mu, yang seorang di
sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.” (ayat 21).
Kata “maka” dapat diartikan “kemudian”, dipakai
oleh Matius untuk memulai perikop ini. Dengan memakai kata ini, Matius
menghubungkan pertanyaan tentang kemuliaan atau kedudukan yang tinggi. Ayat ini
merupakan permintaan ibu Yakobus dan Yohanes. Ayat ini bisa secara khusus
diartikan bahwa ibu Yakobus dan
Yohanes yang meminta sesuatu kepada
Yesus untuk memberikan suatu posisi yang khusus dan istimewa kepada kedua anaknya. Salome istri Zebedeus
yang juga ibu Yakobus dan Yohanes meminta untuk kepentingannya sendiri kepada
Yesus supaya memberikan tempat kepemimpinan dan fasilitas yang istimewa bagi
kedua anaknya itu. Matius agaknya bermaksud melindungi kedua murid itu waktu ia
menyebutkan bahwa mereka sebagai anak-anak Zebedeus dari istrinya Salome.
Matius menunjukkan bahwa yang mendekati Yesus
dan mengajukan permintaan atas nama kedua anaknya adalah ibu anak-anak
Zebedeus. Sekali lagi, Matius agaknya bermaksud melindungi kedua murid itu
waktu ia menyebutkan namanya.[9]
Hal yang berbau negatif, memang selalu mendapat publikasi khusus. Hal ini
digunakan sebagai salah satu strategi dalam mengelola informasi bagi pembaca
agar tidak terlihat pulgar.
Menjadi pemimpin memang bukan pekerjaan yang
gampang karena harus bisa memberdayakan orang lain. Ibu Yakobus dan Yohanes
rupanya melihat hal itu sebagai salah satu kekurangan dari seluruh murid-murid
Yesus, oleh karena itu dengan inisiatif sendiri ia mengajukan anak-anaknya
menjadi pemimpin yang paling penting dari yang lainnya.
Fakta yang ada dalam komunitas kecil
(murid-murid) adalah suatu indikasi yang
memberikan gambaran realitas dari faktor ini sudah ada sejak semula. Bahkan
dalam komunitas religius yang langsung di pimpin oleh Yesus Kritus, kita
menemukan indikasi ini. Ada pemimpin yang lahir karena di rekayasa oleh
oknum-oknum tertentu. Pemimpin yang direkayasa baik itu orangtua, teman,
kolega, dan pihak lain manapun, pada dasarnya akan menjadi pemimpin yang sulit
untuk mengejawantahkan tanggungjawab kepemimpinannya kelak. Ada kecenderungan
pemimpin seperti ini, tidak merasa bertanggung jawab terhadap kemajuan
organisasi yang berimplikasi tidak memberdayakan orang-orang. Pemimpin seperti
ini, cenderung menyalahkan pihak lain dan bahkan orang atau pihak-pihak yang
telah mengantarkannya pada kedudukan pemimpin. Alasan yang mengemuka adalah, dia memimpin karena rekayasa.
Pemimpin yang direkayasa, pasti akan menemukan
tekanan berat dan sering berujung pada keputusasaan. Kandas di tengah jalan
karena masalah-masalah yang harus diselesaikan sementara motivasi untuk keluar
dari dilema sungguh-sungguh tidak memadai. Namun demikian, apakah kita harus
menapikan sebuah rekayasa atau dukungan/dorongan dalam proses pembentukan
seorang pemimpin? Tentu tidak. Seorang pemimpin pun memerlukan rekayasa, dorongan,
dan dukungan dari pihak-pihak diluar dirinya. Tanpa rekayasa, dorongan, dan
atau permintaan sebagai pintu pembuka, sulit juga kita melihat lahirnya seorang
pemimpin.
Dalam budaya timur dimana kita bertemu dengan
kebiasaan menunggu dukungan, kita bertemu dengan keadaan dimana banyak pemimpin
menunggu untuk diminta memimpin. Berbeda dengan budaya barat, khususnya Amerika
yang terbiasa dengan keterbukaan, pola pembentukan kepemimpinan di Indonesia
khususnya, terbiasa dengan dukungan dan sokongan dari pihak-pihak tertentu.
Maka tak heran jika kita bertemu dengan pengerahan massa dan demontrasi yang berlebihan.
Pada dasarnya, indikasi menunggu dukungan dan dorongan dari orang lain tidaklah
seburuk yang kita bayangkan asalkan pribadi orang yang dicalonkan untuk
memimpin cukup mumpuni untuk disiapkan menjadi pemimpin.
Kepemimpinan dan Nepotisme
Nepotisme menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
adalah: Tindakan mementingkan (menguntungkan) sanak saudara atau teman-teman
sendiri, terutama dipemerintahan. Nepotisme adalah isu yang sangat hangat di
negara kita sejak zaman reformasi bergulir tahun 1998. Pergantian dan suksesi
kepemimpinan di Indonesia memang selalu diwarnai sejarah hitam. Kita
menyaksikan bagaimana kejamnya manusia dan besarnya harga yang harus di bayar
untuk sebuah suksesi kepemimpinan. Harga yang harus dibayar begitu besar akibat
tabiat pemerintahan orde baru yang diwarnai dengan nepotisme yang membabibuta.
Kata Yesus: “Apa yang kau kehendaki?” Jawabnya:
“berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak didalam
kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi disebelah
kiri-Mu.” (Ayat 21) Dalam ayat 21,
Matius sejatinya tidak ingin “memperlihatkan” Yakobus dan Yohanes
bersalah karena ambisi duniawinya. Maka ia menaruh permintaan ini pada mulut
ibu mereka, bukan pada mulut mereka sendiri. Permintaan ini sesungguhnya wajar
saja alasannya. Yakobus dan Yohanes bersaudara dekat dengan Yesus.
Injil Matius, Markus dan Yohanes semua memberi
daftar kaum perempuan yang berada di dekat salib ketika Yesus disalibkan.
Daftar menurut Matius kita lihat ada Maria Magdalena, dan Maria ibu Yakobus dan
Yusuf, dan ibu anak-anak Zebedeus (Matius 27: 56). Daftar menurut Markus adalah
Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus muda dan Yoses serta Salome (Markus 15: 40).
Daftar menurut Yohanes adalah Maria Ibu Yesus dan saudara ibu-Nya, Maria, istri
Klopas dan Maria Magdalena (Yohanes 19: 25).
Matius menyebut ibu anak-anak Zebedeus, Markus
menyebut Salome dan Yohanes menyebut saudara ibu Yesus. Kesimpulannya adalah,
ibu Yakobus dan Yohanes bernama Salome dan dia adalah saudara perempuan Maria,
ibu Yesus. Ini berarti bahwa Yakobus dan Yohanes adalah saudara sepupu Yesus
secara jasmaniah. Itulah sebabnya mereka merasa bahwa dengan hubungan yang
begitu dekat itu, mereka berhak mendapat tempat khusus dalam kerajaan-Nya.
Salome ibu Yakobus dan Yohanes merasa bahwa
sebagai sepupu Yesus, mereka berdua layak untuk berada pada posisi yang
terhormat. Seringkali kasus yang sama terjadi pada saat ini. Seorang ayah yang
mempunyai posisi penting di salah satu instansi memanfaatkan posisinya untuk
menawarkan anak bahkan istrinya untuk menjadi pemimpin diinstansinya. Hal yang
sama juga terjadi di organisasi gereja. Tanpa menyebutkan nama organisasi
tertentu, ketika seorang pendeta yang memimpin jemaatnya sudah tidak sanggup
lagi untuk memimpin, atau sang pendeta meninggal dunia. ia akan mewariskan
posisi itu kepada istri ataupun anaknya, tanpa melihat kompetensi pada calon
penggantinya itu
Hubungan darah
menjadi salah satu alasan untuk permintaan Salome ini. Salome berpikiran
bahwa kedua anaknya itu berhak atas kedudukan yang tertinggi diantara para
murid-murid Yesus karena adanya “hubungan” darah dengan Yesus. Di Palestina
sama seperti di suku Batak di Indonesia hubungan darah sangat berarti. Salome
melihat perlakuan istimewa Yesus terhadap saudara sepupunya itu. Beberapa kali
Yesus mengkhususkan Yakobus dan Yohanes antara lain pada waktu Yesus masuk ke
rumah Yairus (Markus 5: 37) dan pada waktu Yesus naik ke gunung dimana Yesus
dipermuliakan (Matius 17: 1). Yang paling diingini Salome adalah penetapan
secara resmi dari Yesus untuk keistimewaan itu.
Memilih pemimpin dengan melilhat dari sisi
kekerabatan atau nepotisme tidak selalu negatif, asalkan memenuhi kualitas kompetensi
dan kapabilitas sebagai pemimpin. Yesus juga mendahulukan kekerabatan dengan
mengutamakan Yakobus dan Yohanes dalam pelayanannya, terbukti dalam beberapa
kesempatan yang paling penting dalam pelayanan Yesus Kristus, Ia mengajak dan
membawa Yakobus dan Yohanes. (Matius 17: 1; Markus 9: 2; Lukas 9: 28). Terbukti
pilihan Yesus Kristus itu tidak salah. Yang menjadi masalah adalah ketika
kekuasaan memanfaatkan kekerabatan hanya untuk nafsu dan ambisi kekuasaan yang
dilakukan secara sporadis tanpa melandaskannya pada kompetensi dan kapabilitas
pemimpin.
Nepotisme akan menjadi penyakit kepemimpinan
apabila dilaksanakan secara sporadis tanpa memperhatikan kualitas
kompetensinya. Yesus memilih murid dari kerabat dekat dengan mengerti kualitas
kompetensi mereka. Yesus tentu mengenal kedua sepupunya, Yakobus dan Yohanes. Bahkan
Yesus memberi porsi kasih sayang yang istimewa kepada Yohanes. Namun semua itu
dalam koridor yang dapat dihitung. Yesus memahami kompetensinya dan
mempercayakan kepada mereka otoritas kepemimpinan berdasarkan kapasitas mereka.
Kepemimpinan dan Ambisi
Ada apa dengan ambisi? Apa yang salah
dengannya? Bukankah ambisi adalah faktor yang membantu sukses?
Pertanyaan-pertanyaan tadi tentu mengusik untuk dapat dijawab. Ambisi menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia artinya: gairah;
nafsu ingin mendapat pangkat. Sampai pada kata gairah, ambisi merupakan
sisi positif yang sejatinya harus tumbuh subur dan dipelihara, tetapi jika
terus berkembang tak terkendali menjadi nafsu untuk jabatan, maka ambisi dapat
menjadi masalah besar. Masalah bagi orang yang
diperbudaknya, sekaligus juga masalah serius bagi orang-orang disekitar
kepemimpinan orang tersebut.
Teks yang dibahas ini juga mengulas hal yang
menyangkut ambisi. Permintaan Yakobus dan Yohanes dengan sendirinya mengusik
para murid yang lain. Mereka tidak mengerti mengapa kedua orang ini harus
dibiarkan menuntut kedudukan istimewa. Sampai pada tahapan ambisi merupakan
gairah positif untuk memimpin, hasrat ini adalah energi positif yang seharusnya
dipelihara. Tetapi ketika ambisi berkembang menjadi nafsu, maka segala motivasi
seseorang dapat berubah menjadi energi provokatif yang mengusik komunitas.
Ketika permintaan untuk memimpin keluar dari mulut Ibu Salome, maka kegerahan
menjadi-jadi dikalangan para murid. Walau, kita dapat saja mengiyakan bahwa
sejatinya, Yakobus dan Yohanes yang “memanfaatkan” ibu mereka, namun tetap saja
“amarah” ditujukan kepada kedua orang bersaudara kandung ini.
Yesus tahu apa yang terkandung dalam benak
mereka, mereka juga ingin ditempatkan pada posisi yang sama seperti permintaan
Ibu Yakobus dan Yohanes. Permintaan ini murid-murid ajukan karena ambisi mereka
untuk memperoleh posisi dan ambisi menggantikan posisi Yesus pada masa suksesi
kepemimpinan Yesus. Hal ini dapat kita jelaskan sebab permintaan ini terjadi
setelah Yesus memberitakan tentang penderitaan jalan salib yang akan Ia lalui:
“Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada
imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman
mati.” (Matius 20:18).
Adalah hal yang sangat wajar, ketika seorang
pemimpin meninggal, maka suksesi pergantian kepemimpinan akan menjadi isu yang
sangat krusial. Kita mengerti beberapa pergantian kepemimpinan dapat berdampak
sangat posistif ketika tahta jatuh ketangan yang benar, tetapi sebaliknya,
pergantian kepemimpinan dapat menjadi malapetaka ketika jatuh ketangan orang
yang salah hal ini dapat kita perhatikan dalam suksesi tahta Daud (bacaan ada
di dalam Kitab II Samuel dan 1 Raja-Raja). Ketika Daud menyerahkan tahtanya
kepda Salomo, Kerajaan Israel mencapai puncak kejayaanya. Tetapi sebaliknya,
ketika Salomo digantikan oleh Rehabeam, maka masa suram meliputi Kerajaan
Yehuda.
Maka, Yesus berbicara kepada mereka dalam
kalimat yang merupakan dasar utama dalam kehidupan kristiani.[10]
Di dunia ini, Yesus mengatakan bahwa memang benar, pemimpin yang besar adalah
orang yang berkuasa atas orang yang lain; orang yang perintahnya harus dipatuhi
oleh orang lain; orang yang mampu menggerakkan orang lain hanya dengan gerakan
tangannya.[11] Dunia memandang mereka
sebagai orang yang penting dan terhormat. Tetapi sesungguhnya bagi Yesus
Kristus kebesaran dan kehormatan sebagai pemimpin adalah pelayanan. Kebesaran
sebagai pemimpin tidak terletak dalam memerintah orang lain untuk melakukan
sesuatu bagi dia, tetapi bagi Yesus makin besar pelayanan seseorang semakin
besar pula kehormatan bagi dia.
Murid-murid Yesus berpikir dalam hal upah dan
kepentingan pribadi. Mereka berpikir tentang sukses pribadi tanpa pengorbanan.
Murid-murid Yesus ingin Yesus dengan wibawa rajawi menjamin hidup bagaikan
pangeran kepada mereka.[12]
Setiap orang harus tahu bahwa keagungan sejati tidak terletak dalam kekuasaan,
melainkan dalam pelayanan; bahwa dalam setiap kebesaran dan keagungan sebagai
pemimpin ada harga yang harus dibayar.
Sekarang kita dapat mengerti bahwa ambisi dapat
menjadi energi yang positif jika diarahkan pada hasrat untuk melayani. Hasrat untuk melayani begitu
penting sehingga harus lahir dari hati hamba yang tulus dan suci. Mengapa?
Karena kepemimpinan adalah suatu tempat yang rawan pada kecenderungan untuk
bertindak diluar kendali. Saat seseorang memulai kepemimpinan yang didorong
hasrat untuk melayani, di saat itu juga hasrat itu dapat bertumbuh untuk
mengejar tahta atau jabatan dan melupakan tujuan mulia yaitu pelayanan. Ambisi
adalah ibarat pisau bermata dua. Dia dapat menjadi energi positif dalam
mendorong semangat kepemimpinan yang melayani, namun dia juga dapat menjadi
energi negatif yang menggerus hasrat melayani menjadi menguasai. Ambisi adalah
pedang yang harus dapat dikendalikan dengan baik oleh siapapun yang
dipersiapkan untuk memimpin.
PRINSIP-PRINSIP
KEPEMIMPINAN ALKITABIAH
Sampai pada tahapan ini, kesimpulan yang dapat
kita pahami adalah bahwa kepemimpinan adalah ide yang alkitabiah. Pemimpin dan
kepemimpinan adalah ide alkitabiah sehingga kita tidak perlu ragu menggagas dan
mengajarkannya. Sejatinya, setiap kitab yang kita pelajari dalam Alkitab, tidak
terlepas dari apa yang disebut dengan kepemimpinan. Alkitab memberikan kepada
kita mutiara-mutiara kepemimpinan yang indah dan harus digali untuk kepentingan
praksis dalam kehidupan gerejaNya. Berikut adalah prinsip-prinsip emas
kepemimpinan yang ditemukan dari kebenaran sabda Yesus Kristus:
Kepemimpinan Adalah Anugerah
Yesus berkata kepada mereka: “Cawan-Ku
memang akan kamu minum, tetapi hal duduk disebelah kanan-Ku atau disebelah
kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang
bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya.” (Matius 20: 23).
Kepemimpinan adalah pemberian Tuhan sehingga
tidak semua ditetapkan untuk menjadi pemimpin struktural dalam organisasi.
Kepemimpinan itu karunia sekaligus di bangun melalui pelatihan yang
berkesinambungan. Karunia itu diberikan oleh Tuhan, tetapi harus disertai
dengan pelatihan. Pemimpin yang diberi karunia untuk memimpin tetapi tidak
melatihnya akan menjadi pemimpin yang tidak efektif. Menyangkut posisi atau
jabatan yang diberikan dengan tempat yang nyaman dalam organisasi itu untuk
melayani kebutuhan dan kebudayaan organisasi (Ken Blanchard, 1996:10)
Kalau kita meneliti kitab Perjanjian Baru, kita
melihat bahwa Tuhan sendiri yang menetapkan para pemimpin bagi gereja-Nya,
yaitu para gembala dan penatua. Mereka adalah pemimpin rohani yang telah
menjadi teladan bagi seluruh umat. Oleh karena itu, jika cara hidup mereka sama
sekali tidak dapat dijadikan contoh, berarti ada kekeliruan yang sudah berat.
Murid-murid yang dipilih oleh Yesus Kristus
dilatih untuk kelak menjadi pemimpin yang bisa mencontoh-Nya. Hal ini
dilakukan sendiri oleh Yesus Kristus, Ia secara langsung melatih mereka jadi
pemimpin.
Pola hidup para pemimpin yang Yesus Kristus
pilih ini adalah model panutan bagi setiap pemimpin Kristen masa kini.
Prinsip-prinsip para pemimpin yang secara langsung Tuhan pilih ketika masa
pelayanannya adalah prinsip-prinsip yang sejatinya harus diteladani.
Anugerah adalah pemberian atau ganjaran dari
pihak atas (orang besar dalam hal ini Tuhan) kepada pihak bawah (orang
rendahan, dalam hal ini manusia), karunia dari Tuhan.[13]
Kasih karunia atau anugerah dalam bahasa
Yunani “kharis” yang artinya: Perbuatan atasan kepada bawahan padahal bawahan
itu sebenarnya tidak layak menerimanya. Istilah kharis dalam Alkitab terjemahan baru diterjemahkan
kasih karunia. Kalau diterjemahkan artinya, kepemimpinan itu adalah pemberian
yang sebenarnya tidak layak kita terima tetapi diberi oleh Tuhan bagi yang
layak menerimanya.
Anugerah ialah sikap yang Allah perlihatkan,
yang bertentangan dengan karya yang manusia lakukan.[14]
Anugerah juga mencakup perlengkapan Allah untuk kehidupan Kristen. Anugerah
kepemimpinan itu adalah hak istimewa yang Tuhan berikan bagi kita. Oleh sebab
itu sejatinya kita harus pergunakan dengan baik sebab jika tidak, maka itu
dapat menjadi bumerang.
Kepemimpinan adalah anugerah bermakna pada
salah satu unsur penting yaitu peranan Allah dalam kepemimpinan. Bila
kepemimpinan adalah anugerah, maka kepemimpinan dan pemimpin merupakan
pemberian Allah. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan ada dalam
rencana Allah.
Mari kita luruskan sejenak pengertian ini.
Kepemimpinan adalah rencana mulia Allah untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Ia sebagai sumber kuasa dan otoritas kepemimpinan. Oleh karenanya, Allah tentu
menyertakan norma atau pedoman kepemimpinan yang alkitabiah.
Dalam Roma
12:8 kita baca: “jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati.
Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang
ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin;
siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.”
Paulus dalam surat ini sedang menerangkan karunia dari Allah untuk orang-orang
yang dipilihNya. Pemimpin tentu adalah salah satu hal yang ingin diingatkan
oleh Paulus sebagai orang yang mendapatkan kasih karunia. Dalam hal inilah kita
dapat mempertegas prinsif bahwa kepemimpinan itu bukanlah semata-mata usaha
manusia. Dalam hubungannya dengan pelatihan kepemimpinan, maka anugerah
merupakan suatu warning (peringatan)
agar setiap pemimpin selalu ingat Tuhan. Dengan kesadaran inilah, seorang
pemimpin harus terus bersandar dan berharap agar Roh Kudus menolongnya memimpin
dengan benar. Artinya, bagaimana pun kerasnya seseorang berupaya untuk
memimpin, bila Tuhan tidak menolongnya, maka kepemimpinannya adalah
kepemimpinan yang tidak akan berfungsi maksimal.
Kepemimpinan Sebagai Suatu Konsekuensi.
Tetapi Yesus
menjawab, kata-Nya: “kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu
meminum cawan, yang harus Kuminum?” Kata mereka kepada-Nya: kami dapat.”(ayat
22).
Yesus mengatakan kepada Yakobus dan Yohanes
bahwa mereka kurang mengerti apa jalan kepada kemuliaan, dan juga siapa yang
memberi tempat-tempat kehormatan. Untuk mendapat kemuliaan mereka harus
menderita bersama-sama dengan Kristus. Apakah mereka sanggup? Cawan dalam
Mazmur 11: 6, diartikan sebagai piala atau cawan penderitaan. Yakobus dan Yohanes
mengerti arti cawan itu dan mereka mengatakan sanggup.
Yesus mengatakan bahwa mereka akan menderita,
Yakobus di bunuh (Kisah Para Rasul. 12: 2) dan Yohanes dipenjarakan (Kisah Para
Rasul. 4:3 dan 5: 18). Konsekuensi yang diterima sebagai pemimpin merupakan
suatu pertanyaan yang mendasar dalam kepemimpinan. Saat Yesus Kristus bertanya
apakah mereka sanggup, adalah indikasi yang sangat kuat akan resiko yang
menanti saat seseorang masuk dalam lingkaran kepemimpinan. Adalah hal yang
lajim bila mengatakan tak ada sukses yang datang dengan sendirinya. Sukses
adalah sebuah pencapaian. Dan pencapaian itu adalah suatu pengorbanan.
Pengorbanan akan banyak hal termasuk penderitaan fisik dan jiwa. Cawan
penderitaan merupakan kiasan dari resiko kepemimpinan yang harus disikapi
dengan benar. Para pemimpin Kristen tentu akan menjadi lebih beresiko karena
mendapat sorotan lebih. Sorotan bukan hanya seputar etika dan moral, tetapi
lebih jauh lagi mengenai kehidupan kerohanian.
Resiko yang paling berat mungkin salah satunya
adalah ketika harus mengkonfrontir dosa atau kesalahan. Ini adalah pekerjaan
yang sangat sulit dan krusial. Penulis buku laris “Crucial Confrontations” mengatakan: “Kita semua menghadapi
konfrontasi krusial. Kita menetapkan harapan yang jelas. Tetapi pihak sana
tidak menghormatinya – kita merasa kecewa. Para ahli hukum menyebut kejadian
itu melanggar kontrak. Di tempat kerja, kita mungkin menamakannya komitmen yang
tak dipenuhi; dengan teman, kita sebut pengingkaran janji; dan dengan anak
remaja kita, kita sebut pelanggaran sopan santun umum.”[15]
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemimpin Kristen seringkali terjebak dalam
konflik saat membenturkan filosofi kasih dengan disiplin. Ini adalah pekerjaan
beresiko sehingga seringkali tak dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
Beberapa pemimpin bahkan membiarkannya menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah
selesai. Atau juga pekerjaan rumah yang memang tak ingin diselesaikan dengan
alasan biarlah Tuhan sendiri yang turun menyelesaikannya.
Resiko atau konsekwensi adalah hal yang harus
diselesaikan. Ketika seorang pemimpin berada dalam kondisi konfrontatif
(meminta pertanggungjawaban), maka resikonya adalah jelas. Beberapa akan
terluka dan bahkan akan meradang. Namun itulah resiko menjadi pemimpin. Tidak
ada jalan lain, seorang pemimpin harus melewatinya. Pemimpin yang baik harus
mengambil resiko dan sekaligus menyelesaikan segala konsewensinya. Seorang
pemimpin harus membuat sebuah keputusan.
Yakobus dan Yohanes membuktikan mereka adalah
pemimpin yang sanggup menerima bukan hanya
cawan kebahagiaan sebagai pemimpin tetapi juga cawan penderitaan. Kata:
“Kami dapat” diambil dari kata Dunametha (Dunametha) yang berarti we are able or be possible (kami mampu). Kedua pemimpin ini
mengatakan dengan jelas komitmen mereka untuk menjalani semua resiko sebagai
konsekwensi dari kepemimpinan yang di taruh dipundak mereka. Salah satunya
adalah mengambil kepeutusan yang tidak populer. Keputusan beresiko yang harus
dibayar dengan harga yang mahal. Keputusan yang mungkin akan mengorbankan citra
dan sebagainya. Keputusan yang mungkin saja mempertaruhkan jabatan atau posisi
kepemimpinannya. Prinsip inilah yang sejatinya harus menjadi landasan dalam
menghadapi tantangan kepemimpinan gereja masa kini. Dalam memimpin sebuah
gereja lokal seperti Bethany Pulomas yang masih belum mencapai seumur jagung,
Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, telah mulai mengalami benturan-benturan tersebut.
Namun bagaimanapun, harga memang harus dibayar. Itu adalah konsekwensi dalam memimpin yang tentu berujung pada
kemuliaan nama Tuhan.
Prinsip
Kehambaan Sebagai Jantung Kepemimpinan Alkitabiah
Dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka
di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu (Matius 20: 27).
Budak atau hamba tidak memiliki hak dan tidak
dibayar untuk pekerjaannya. Dia dimiliki seutuhnya oleh tuannya dan seluruh
hidupnya adalah untuk melayani tuannya. Ia adalah seorang yang mau atau tidak
mau harus dengan rendah hati dan rela. Ini merupakan prinsip kebesaran jiwa
yang diberikan oleh Yesus kepada kita,
ini merupakan prinsip Kerajaan Allah.
Kalau kita mempelajari Perjanjian Baru, maka
Gelar Hamba Allah tidak pernah dipergunakan oleh Yesus. Kitab-kitab Injil tidak
pernah menghubungkannya dengan Yesus, namun demikian nampaknya gelar itu menjadi suatu keyakinan di antara
orang Kristen mula-mula.[16]
Indikasi ini menandakan bahwa para pengikut Kristus, telah dapat menjelaskan
konsep kehambaan karena telah mengamati dan melihatnya secara langsung dipraktekkan
oleh Yesus Kristus. Hal ini juga menjelaskan bagi kita bahwa melayani yang di
dorong oleh hati yang menghamba bukanlah hal-hal yang hanya diperkatakan,
tetapi dipraktekkan. Intinya, melayani sebagai hamba Allah bukanlah hal yang
asing bagi gereja mula-mula.
Sifat khas kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang menghambakan diri.
Identitas pemimpin Kristen yang paling penting adalah kehambaannya. Kehambaan
itu terpampang pada pribadi seorang pemimpin Kristen yang secara rela dari
lubuk hatinya menggagas setiap tindakan kepemimpinan sebagai hamba yang
melayani. Ini dapat berarti bahwa Kepemimpinan Kristen bukan untuk mencari
keuntungan materi maupun kejayaan moril atau kemasyuran namai, melainkan untuk melayani
(Matius 20: 26).
Dalam Perjanjian Lama, dijelaskan bahwa para
raja tidak di “desain” untuk meninggikan diri atas rakyat (Ulangan 17:20). Korah ditegur dan dihukum
akibat sikap kepemimpinan yang mengutamakan kedudukan (Bilangan 16:33). Paulus
memandang jabatan rasuli bukan untuk kemuliaan dirinya, melainkan untuk bekerja
keras dalam pelayanan (2 Korintus 11-12; 1 Korintus 15:10). Para penatua gereja dipanggil untuk menggembalakan dan
memelihara umat Allah (Ibrani 13:17; 1 Petrus 5:23).
Yesus Kristus mengajarkan kepemimpinan sebagai “menjadi hamba” dan Dia
menegaskannya melalui keteladanan-Nya (Matius 20: 27). Contoh-contoh di atas
menjelaskan kepada kita apa itu kepemimpinan yang melayani.
Seorang pemimpin Kristen, sejatinya tidak
mengincar posisi orang nomor satu dalam struktur gereja, sebab Kristus adalah Kepala Gereja. Ia memimpin namun juga dipimpin oleh Pemimpin Agung, Tuhan
Yesus (Yohanes 13:13). Artinya adalah bahwa motivasi
pemimpin yang di dorong oleh panggilan kehambaan. Dengan menyadari bahwa karena
hamba tidak berhak apapun atas dirinya, maka para pemimpin harus menyadari
siapa dirinya. Dia adalah milik Tuhan dan karena itu dia tidak berhak apapun
atas apapun. Dengan kesadaran ini, kerendahan
hati dalam kepemimpinan seorang pemimpin akan riil dalam prakteknya. Kerendahan
hati yang melihat baik kebenaran tentang dirinya maupun keterbukaan untuk terus
belajar akan kepemimpinan yang lebih baik.
Konsep Hamba Allah berasal dari nyanyian
tentang hamba dalam kitab Yesaya, jadi
perikop-perikop dalam kitab Yesaya ini merupakan titik tolak yang jelas untuk
menelusuri latar belakangnya. Ungkapan dalam bahasa Yunani Pais theou (pais
theou) dapat berarti Anak Allah atau Hamba Allah. Dalam kebanyakan kasus pada
masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ungkapan tersebut mempunyai
arti Hamba Allah.[17]
Dalam Perjanjian Lama kata hamba berasal dari kata eved atau eved YHWH yang
dipakai untuk makna yang religius. Hamba dalam Perjanjian Lama mempunyai arti
antara lain: cara orang saleh menyebutkan diri dihadapan Allah, yang
menunjukkan orang-orang saleh. Eved YHWH
dalam bentuk tunggal sebagai penggambaran Israel dan sebagai gelar khusus untuk
menggambarkan orang-orang yang dipakai Tuhan secara istimewa.[18]
Sebagai latar belakang penggunaan istilah ini
dalam Perjanjian Baru, kita perlu memperhatikan orang yang secara istimewa
ditunjuk dalam kitab Yesaya 42: 1-4; 49: 1-6; 50: 4-9; 52: 13 dan 53: 12). Ada
banyak perdebatan mengenai pengertian siapakah hamba yang dimaksud dalam kitab
Yesaya ini. Apakah ia merupakan seorang pribadi atau mewakili bangsa Israel
secara keseluruhan. Kedua pandangan ini bisa benar dan tidak bertentangan
menurut orang Ibrani. Kedua pandangan ini membantu dalam hal penerapan
perikop-perikop ini kepada Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.
Alkitab memakai kata “Doulos” dan “Diakonos”
yang diterjemahkan sebagai hamba. Meskipun kedua kata tersebut sulit dibedakan
dalam penggunaannya. Doulus mengacu kepada seseorang yang berada di bawah
otoritas orang lain sedangkan diakonos lebih menekankan kerendahan hati untuk
melayani orang lain.
Setelah mempelajari dua terminologi di atas,
kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa konsep pemimpin dalam Perjanjian
Baru adalah penghambaan. Lebih konkrit lagi hamba yang dengan rela hati
mengambil tempat yang terendah, dan bertahan dalam berbagai kesulitan dan
penderitaan karena pelayanannya terhadap orang lain.
Anak kalimat, “hendaklah ia menjadi hambamu”
dalam Bahasa Yunani adalah einai prwtos estai umon doulos (einai prootos estai humoon
doulos) yang diterjemahkan: be chief let
him be your servant (seorang pemimpin menjadikan dirinya seorang pelayan).
Terjemahan ini menjelaskan kepada kita bahwa pribadi seorang pemimpin harus
secara sadar dan rela menjadikan dirinya seorang pelayan. Ini lahir dari
kesadarannya yang terdalam dan itu adalah semangat dan ciri khas dinamika
kepemimpinannya.
Tugas hamba lebih dapat dimengerti jikalau yang
dimaksud adalah seorang pribadi yang dipanggil Allah dan dipenuhi Roh Kudus. Ia
akan memperbaharui bangsa Israel dan akan menetapkan keadilan di antara
bangsa-bangsa, lagi pula misinya itu universal yaitu untuk menyatakan
keadilan-Nya di antara bangsa-bangsa. Namun untuk mencapai tujuan-Nya, Ia harus
menghadapi penderitaan yang sifatnya demi orang lain.
Konsep budak dengan latar belakang Yahudi
berbeda dengan yang kita pahami dalam konteks perbudakan modern masa kini.
Tidak disangkal bahwa Alkitab versi Indonesia terjemahan baru menuliskan
“hamba” lebih banyak daripada “budak”. Perjanjian Baru menulis kata hamba
sebanyak 159 ayat, sedangkan kata “budak” hanya muncul di dalam 4 ayat. Padahal
kalau kita meneliti dalam bahasa aslinya, kata hamba dan budak itu selalu mengakar
dari kata yang sama yaitu doulos. Apakah
ini suatu cara untuk menghaluskan makna modern yang dianut oleh penterjamah
Alkitab LAI TB? Kita perlu mendapatkan keterangan dengan detail dari mereka.
Pemimpin Tanpa Otoriter
Banyak orang menganggap dirinya sebagai seorang
pemimpin, baik di kantor, organisasi, kampus, rumah ataupun gereja. Meskipun
konsep dan aksi kepemimpinan mereka sangat berbeda dengan konsep dan aksi
kepemimpinan yang pernah diajarkan dan didemonstrasikan oleh Yesus Kristus.
Padahal, mereka mengklaim diri mereka sebagai pemimpin Kristen.
Konsep kepemimpinan umum biasanya dikaitkan
dengan kuasa, karena pemimpin diidentikkan dengan kuasa, muncul opini umum yang
menyatakan bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang melekat dengan kuasa.
Kuasa seringkali didefinisikan sebagai kapasitas untuk mempengaruhi orang lain.
Kuasa bahkan adalah sebuah kemaampuan untuk mendominasi. Beberapa sumber kuasa
yang popular termasuk posisi, uang, fisik, senjata, kepakaran, informasi dan
lain sebagainya.
Matius 20: 25, “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya
dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas
mereka.” Kekuasaan cenderung korup, otoriter, bahkan sewenang-wenang. Banyak
bukti kepemimpinan di dunia ini yang melakukan kekerasan dan otoriterianisme,
bahkan kalau boleh dikatakan “hampir” semua pemimpin dunia mempraktekkannya.
Kita sangat akrab dengan pemimpin-pemimpin negara di dunia ini yang secara
terang-terangan memamerkan kuasanya.
Persoalan muncul ketika para pemimpin gereja
juga mengalami hal yang sama. Tidak jarang pemimpin-pemimpin gereja
mempergunakan kekerasan dan otoriterianisme dalam menjalankan peran
kepemimpinan. Banyak sudah data dan fakta yang terpampang secara gamblang dan
tak lagi menjadi rahasia bahwa untuk mendapatkan posisi kepemimpinan serta
mempertahankan posisi kepemimpinan tersebut, para pemimpin rohani ini terjebak
dalam dosa otoriterianisme.
Sungguh suatu hal tak elok untuk dituliskan
namun faktanya tak dapat kita sembunyikan. Para
pemimpin Kristen telah terpengaruh dengan prinsip adopsi-aborsi, adobsi
prinsip sekular dan aborsi prinsip kepemimpinan alkitabiah. Sungguh ini sudah
menjadi rahasia umum, artinya tidak lagi menjadi sebuah rahasia tetapi
kenyataan.
Alkitab mengajarkan bahwa seorang pemimpin,
tidak pantas dan tidak etis bertindak otoriter atau memaksakan kehendak.
Pemimpin Kristen justru harus meletakkan hak atau kuasa kepemimpinannya dan
mengambil posisi sebagai hamba yang melayani. Sejatinya, seorang pemimpin Kristen
harus lemah lembut dalam sikap melayani yang lahir dari hati sebgai hamba. Ia
bahkan secara rela mengorbankan apapun seperti yang sudah Yesus Kristus
lakukan. Pemimpin Kristen harus menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan
kepemimpinannya.
Kita belajar bahwa gereja mula-mula hanya
mengangkat para pemimpin yang memiliki standar moral dan etika yang sangat
tinggi. Dalam Kisah Para Rasul pasal 6, terlihat ketika Lukas mencatat tentang
bagaimana ketatnya para calon pemimpin pertama gereja dikaji dan dipilih oleh
saudara-saudara seiman. Demikian pula Kristus sendiri dengan teliti memilih dan
mengangkat para Rasul. Pemimpin Kristen kini pun harus melewati proses yang
sama. Karena bagaimanapun kita sedang menjelaskan dan memperbincangkan
kepemimpinan Kristen yang tak lain tak bukan adalah kepemimpinan yang
menjadikan Yesus Kristus sebagai pola teladan yang utama dan terutama.
Kuasa kepemimpinan tentu adalah konsep yang
alkitabiah. Kita tak dapat menyangkali bahwa kuasa atau otoritas melekat pada
pemimpin termasuk seorang pemimpin Kristen. Namun kuasa kepemimpinan yang
diajarkan Alkitab justru adalah dinamika yang didorong untuk melayani sehingga
timbul sebagai sebuah pengakuan dari masyarakat.
DR. Yakob Tomatala menulis: “Kuasa kepemimpinan
terdapat pada seseorang individu dalam organisasi yang secara umum mempertoleh
pengakuan/penghargaan dari kelompok/ masyarakat dimana ia berada.
Pengakuan/penghargaan ini datang, karena orang tersebut telah membuktikan diri
sebagai pekerja ulet (yang ahli) yang bermotivasi dan bermoral tinggi yang
telah berhasil secara nyata sehingga ia disebut sebagai orang sukses. Pengakuan
ini datang sebagai pengukuhan atas komitmen, dedikasi, serta kinerja yang telah
dibuktikan orang tersebut dalam lingkup kerja di tengah masyarakat.”[19]
Secara sederhana, ulasan Yakob Tomatala di atas
adalah menjelaskan tentang pembuktian diri yang menghasilkan penghargaan.
Seorang pemimpin dapat saja menjabat secara struktural, namun tidak mendapat pegakuan
secara praksis. Istilah hukum bagi persoalan ini adalah seorang pemimpin dapat
saja menjabat secara de jure namun
persoalan de fakto merupakan prosres
pembuktian diri.
Seorang pemimpin dapat saja menjabat secara
struktural, dan dalam menjalankan kepemimpinan melakukannya dengan pemaksaan
otoritas, sehingga dia tidak mendapatkan respon dan pengakuan dari komunitas
dimana kepemimpinannya berlangsung. Intinya, seorang pemimpin harus membuktikan
diri sebagai pelayanan, maka pengakuan atas pengaruhnya mendapatkan pengakuan.
Bukan sebaliknya, menjalankan atau memaksakan otoritas sehingga pengakuan dari
komunitas menjadi sangat minim. Dalam sebuah seminar kepemimpinan, John Maxwell
mengatakan: “Pengaruh datang dari hubungan dengan sesama, bukan dari posisi.”[20]
Kepemimpinan dan Pengorbanan
Sama seperti Anak Manusia datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang. (Matius 20: 28).
Ketika Yesus menderita dan mati menggantikan
manusia yang berdosa, Dia menggenapi nubuatan dalam Yesaya 53 yang menjelaskan
tugas-Nya sebagai Hamba Allah.[21]
Yesus sendiri melakukan apa yang diminta-Nya kepada para pengikut-Nya. Ia
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Ia datang bukan untuk
menduduki sebuah takhta, melainkan memikul salib. Yesus merangkum seluruh
hidup-Nya dalam satu kalimat yang sangat fenomenal dan tidak tertandingi: “Anak
Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. (
Matius 20: 28)
Kata memberi dalam ayat 28 berasal dari kata dounai
(dounai). Kata ini merupakan cikal bakal kata donation dalam bahasa Inggris yang berarti derma, sumbangan. Yesus
mendermakan hidupNya. Dalam kontek ayat ini kita harus memperjelas pengertian
mendermakan sebagai sebuah tindakan dari hati yang dengan sadar dan rela
melakukannya. Dalam Matius 27:50, kita menemukan
kata menyerahkan: “Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan
nyawa-Nya.” Kata menyerahkan berasal dari kata kerja afhken (afeeken) yang merupakan kata
kerja aoris aktif indikatif. Artinya, Yesus menyerahkan nyawanya melalui
kesadaran sendiri dan secara aktif. Ia telah melakukannya sekali pada masa lalu
ketika Ia tergantung di kayu salib. Konteks ini tentu selaras dengan kata
dounai sehingga kita dapat menjelaskan bahwa Yesus saat mendermakan hidupNya
bagi banyak orang yang berdosa waktu itu, telah melakukannya dengan kesadaran
penuh yang lahir dari hati yang tulus dan suci.
Kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang mendasarkan
otoritasnya pada pengorbanan. Sebab itu pemimpin
Kristen yang sejati disebut “pemimpin
pelayan”. Dalam menjalankan kepemimpinan, seorang pemimpin Kristen harus
menyadari dengan jelas bahwa kepemimpinan yang dijalankannya harus terdorong
oleh hati yang tulus dan suci. Hati yang tulus dan suci itu harus dipenuhi
kesadaran untuk siap sedia mendermakan hidupnya bagi kepentingan banyak orang
dalam lingkup kepemimpinannya. Hal yang utama untuk kita dapat mengenal
seseorang telah berjalan dalam prinsif kepemimpinan Kristen yang alkitabiah,
adalah ketika terbuktikan dalam situasi kepemimpinan kesadaran pemimpin untuk
mendermakan hidupnya secara tulus dan suci.
Cacat terdalam pada kepemimpinan sekuler
berakar pada arogansi yang membuatnya bertindak dominan otoriter berdasarkan
rasa superioritas. Yesus mengajarkan bahwa ciri khas dan kebesaran pemimpin spiritual terletak bukan pada posisi dan
kuasanya, melainkan pada pengorbanannya. Hanya melalui
melayani, seseorang menjadi besar (Matius 20: 26). Pemimpin yang memberi
keteladanan dan pengorbanan akan memiliki wibawa spiritual untuk memimpin orang
lain.
Yesus memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi
banyak orang artinya: manusia berada dalam cengkraman kuasa iblis yang tidak
dapat mereka hancurkan; dosa-dosa mereka telah mengikat mereka; dosa-dosa itu memisahkan
mereka dari Allah; dosa-dosa mereka menghancurkan hidup mereka sendiri, bagi
dunia dan bagi Allah.[22]
Kata tebusan berasal dari kata lutron
(lutron) yang berarti a ransom. Tebusan
ialah sesuatu yang dibayarkan atau diberikan untuk membebaskan manusia dari
situasi semacam itu, yang membuatnya tidak mungkin membebaskan diri sendiri.[23]
Tebusan juga berarti harga atau biaya yang harus dibayar untuk membebaskan
seorang tawanan. Sebagai contoh, budak atau tawanan perang dapat dibebaskan
dengan membayar tebusan. Karena itu ungkapan ini sangat sederhana artinya
yaitu: untuk membawa manusia kembali kepada Allah diperlukan pengorbanan
kehidupan dan kematian Yesus Kristus.
Inilah kebenaran yang agung dan luar biasa
bahwa tanpa Yesus dan hidup pelayanan serta kematian-Nya yang penuh kasih itu,
kita tidak pernah dapat menemukan jalan kembali kepada kasih Allah. Yesus
memberikan segalanya untuk membawa manusia kembali kepada Allah; dan kita harus
berjalan menuruti jejak-jejak Yesus yang sangat mengasihi itu.
Dalam konteks kepemimpinan, kata lutron bermakna
sangat mendalam. Seorang pemimpin harus mengerti bahwa konsep ini bukan sekedar
basa-basi. Konsep tebusan ini bermakna kehadiran seorang pemimpin harus menjadi
suatu solusi bagi persoalan dalam situasi kepemimpinan yang berlangsung.
Seperti Yesus yang menghadirkan diriNya sebagai sebuah jawaban, maka pemimpin
alkitabiah harus hadir sebagai alat Tuhan yang memberi jalan keluar. Pemimpin
dalam hal ini adalah seorang “juruselamat” yang dapat dirasakan maknanya dalam
situasi kepemimpinan.
Dunia sedang membutuhkan pemimpin-pemimpin
alkitabiah yang dapat menerapkan pengorbanan dalam situasi kepmimpinannya. Seorang
menyataknnya dengan sanagat indah: “ketika anda menjadi seorang pemimpin, anda
kehilangan hak untuk memikirkan diri sendiri.”[24]
Hukum pengorbanan menuntut bahwa semakin besar seorang pemimpin, semakin banyak
yang harus dikorbankannya.[25]
Pemimpin Kristen masa kini harus kembali merefleksikan kepemimpinan yang
alkitabiah. Dengan banyak belajar dari para pendahulu yang telah menoreh
sejarah sukses dan memuliakan nama Tuhan.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Menjalankan fungsi kepemimpinan dengan
memimpin berlandaskan etos kepemimpinan Yesus Kristus terbuktikan dari kata
yang luar biasa ini, pemimpin berhati hamba yang leyani dengan hati. Esensi
Kehambaan sebagai Landasan Kepemimpinan Aktual Gembala Sidang Bethany Pulomas,
yaitu Pdt. Joshua Mangiring Sinaga yang baru saja dipercayakan memulai
pelayanan kepemimpinan penggembalaan.
Pada prinsipnya, sama dengan kepemimpinan
secara umum, kepemimpinan Kristen yang diterapkan dalam membangun Gereja
Bethany Pulomas adalah sebuah proses terencana yang dinamis. Namun ada
pengkhususan dalam konteks kepemimpinan karena proses dan dinamikanya adalah
merupakan rencana dan campur tangan Tuhan. Hal ini memberi arti bahwa
Kepemimpinan ini adalah inisiatif dan campur tangan Allah dalam seluruh proses
dan dinamika petumbuhannya.
Pola kepemimpinannya adalah dengan menawarkan
dua kata yang arti dan maknanya sinonim. Pelayan dan hamba. Pelayan dari kata diakonos (diakonos)
dan hamba dari kata doulos
(doulos). Kepemimpinan yang sejati adalah pemimpin pelayan yang berhati hamba.
Ia adalah seorang yang selalu siap sedia untuk melaksanakan tugas melayani. Dia
melakukannya dengan panggilan hati yang dengan sadar dan rela. Hati seorang
pemimpin adalah seorang yang memberikan dirinya secara keseluruhan kepada
keinginan pemiliknya, yaitu Tuhan.
Karenanya kelahiran seorang pemimpin sejati
bukanlah merupakan hasil dari rekayasa oknum-oknum tertentu yang memang sudah
memiliki muatan motivasi yang pada gilirannya akan menciderai proses dan
dinamika kepemimpinan seorang pemimpin. Demikian juga kepemimpinan seharusnya
terhindar dari penerapan nepotisme sporadis yang tanpa mempertimbangkan
kompetensi dan kapabilitas seorang pemimpin, karena itu justru akan menjadi
bumerang dalam kepemimpinan yang berlangsung. Sejatinya kepemimpinan juga bukan
lahir dari ambisi dan nafsu memimpin semata-mata. Peran ambisi harus dibatasi
pada tahapan atau level positif sebab bila tidak sisi gelap pemimpin akan
mendorongnya menjadi pemimpin otoriter.
Kepemimimpinan adalah pemberian Tuhan sehingga
tidak semua ditetapkan untuk menjadi pemimpin secara organisasi. Kepemimpinan
itu karunia sekaligus di bangun melalui pelatihan yang berkesinambungan.
Karunia itu diberikan oleh Tuhan, tetapi harus disertai dengan pelatihan.
Pemimpin yang diberi karunia untuk memimpin tetapi tidak melatihnya akan
menjadi pemimpin yang tidak efektif. Adalah hal yang lajim bila mengatakan tak
ada sukses yang datang dengan sendirinya. Sukses adalah sebuah pencapaian. Dan
pencapaian itu adalah suatu pengorbanan. Pengorbanan akan banyak hal termasuk
penderitaan fisik dan jiwa. Cawan penderitaan merupakan kiasan dari resiko
kepemimpinan yang harus disikapi dengan benar.
Budak atau hamba tidak memiliki hak dan tidak
dibayar untuk pekerjaannya. Dia dimiliki seutuhnya oleh tuannya dan seluruh
hidupnya adalah untuk melayani tuannya. Ia adalah seorang yang mau atau tidak
mau harus dengan rendah hati dan rela. Ini merupakan prinsip kebesaran jiwa
yang diberikan oleh Yesus kepada para
pemimpin, ini merupakan prinsip Kerajaan Allah yang sejati bagi para pemimpin
yang meneladani Kristus sebagai jungjunganya.
Alkitab mengajarkan bahwa seorang pemimpin,
tidak pantas dan tidak etis bertindak otoriter atau memaksakan kehendak.
Pemimpin Kristen justru harus meletakkan hak atau kuasa kepemimpinannya dan
mengambil posisi sebagai hamba yang melayani. Sejatinya, seorang pemimpin
Kristen harus lemah lembut dalam sikap melayani. Ia bahkan secara rela
mengorbankan apapun seperti yang sudah Yesus Kristus lakukan.
Yesus sendiri melakukan apa yang diminta-Nya
kepada para pengikut-Nya. Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani. Ia datang bukan untuk menduduki sebuah takhta, melainkan memikul
salib. Yesus merangkum seluruh hidup-Nya dalam satu kalimat yang sangat
fenomenal dan tidak tertandingi oleh siapapun yaitu: “Anak Manusia datang untuk
memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. ( Matius 20: 28)
Mutiara-mutiara kepemimpinan yang sangat dalam
yang telah diuraikan dan disimpulkan pada bab ini, sejatinya haruslah menjadi
landasan etos kepemimpinan para pemimpin, khususnya dalam kepemimpinan gembala
sidang yang baru saja diteguhkan di dalam wadah gereja Bethany Pulomas. Dengan
menjadikan etos kepemimpinan Kristus sebagai landansan dalam seluruh tindakan
kepemimpinan dalam wadah gereja muda ini, maka indikasinya yang mengemuka
adalah akan terbitnya pelangi kemuliaan yang akan menyertai perjalan
penggembalaan sepanjang masa pelayanan.
Semoga tulisan ini juga dapat menginspirasi
para pemimpin khususnya para gembala-gembala di dalam wadah sinode Gereja
Bethany Indonesia pada khususnya dan para gembala-gembala gereja Tuhan ada
umumnya. Dengan demikian, seluruh pemimpin akhirnya memancarkan kemulian bagi
nama Tuhan dan junjungan kita, Yesus Kristus.
KEPUSTAKAAN
Barclay,
William, Pemahaman Alkitab Setiap
Hari Injil Matius Pasal 11-28, PT BPK
Gunung Mulia, 2009
Blanchard,
Ken., & Hodges, Phil, Lead Like Jesus, Visi Media,
Jakarta, 2006
Carlton,
Mattew E., Injil Matius, Yayasan
Karunia Bakti Budaya Indonesia, 2002
Guthrie,
Donald, Teologia Perjanjian Baru
, PT BPK Gunung Mulia, 2006
Guthrie,
Donald, Teologia Perjanjian Baru I,
PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010
Heer,
De J.J., Injil Matius (tafsiran Alkitab), PT BPK Gunung Mulia, 1990
Maxwell,
John C., 21 Hukum Tak Terbantahkan Dalam Kepemimpinan, Georgia,
Maxwell
Motivation, Inc. hal. 189
Maxwell,
John C., Manuskrip Million Leader Mandate,
hal. 2
Newman,
Barclay M., & Stine, Philip C., Pedoman
Penafsiran Alkitab Injil Matius,
LAI dan
Yayasan Karunia Bakti Budaya Indonesia,
Jakarta, 2008
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta,1996
Patterson,
Kerry, Crucial Confrontations, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta,
2007,
Tomatala,
Yakob, Kepemimpinan Yang Dinamis,
YTLF, Jakarta, 2008
Tenney,
Merril C., A Parsing Guide to the Greek New Testament, Herald Press, Ontario,
Verkuil,
J., Etika
Kristen Bagian Umum, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 1985
Alat
Bantu Parsing
Biblesoft's New Exhaustive Strong's
Numbers and Concordance with Expanded Greek- Hebrew dictionary. Copyright (c)
1994, Biblesoft and International Bible Translators, Inc.
[1] Ken Blanchard & Phil Hodges, Lead Like Jesus, Visi Media,
Jakarta, 1996, Hal: 5
[2] The Analytical Greek Lexicon, Harper & Brothers Publisher, New
York
[3] Biblesoft's New Exhaustive Strong's
Numbers and Concordance with Expanded Greek- Hebrew Dictionary. Copyright (c)
1994, Biblesoft and International Bible Translators, Inc.
[4] Thayer's Greek Lexicon, Electronic Database. Copyright (c) 2000 by
Biblesoft
[5] Yakob Tomatala, Kepemimpinan
yang Dinamis, YT Leadership Foundation, Jakarta, 2008, Hal. 3
[6] Merrill C. Tenney, A Parsing Guide to the Greek New Testament,
Herald Press, Ontario, 42
[7] Ibid
[8] W.J.S. Poerwadarminta, Loc. Cit.
[9]Barclay M. Newman dan Philip c. Stine, Pedoman Penafsiran Alkitab
Injil Matius, Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Karunia Bakti Budaya
Indonesia, Jakarta, 2008
[10] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Matius
Pasal 11-28, PT BPK Gunung Mulia, 2009
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 134
[13] W.J.S. Poerwadarminta, Loc. Cit.
[14] Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru , PT BPK Gunung
Mulia, 2006
[15] Kerry Patterson dan kawan-kawan, Crucial Confrontations, PT
Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007, Hal. 4
[16] Donald Guthrie,Teologia Perjanjian Baru I, PT BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2010
[17] Ibid
[18] ibid
[19] Loc Cit, Yakob Tomatala, Kepemimpinan Dinamis, hal. 114
[20] John Maxwell, Materi Seminar Kepemimpinan Million Leader Mandate, hal. 2
[21] Matthew E. Carlton, Injil Matius, Yayasan Karunia bakti
Budaya Indonesia, 2002
[22] DRS. J. J. De Heer, Injil
Matius (tafsiran Alkitab), PT BPK Gunung Mulia, 1990
[23] ibid
[24] John C. Maxwell, 21 Hukum Tak Terbantahkan Dalam
Kepemimpinan, Georgia, Maxwell
Motivation, Inc. hal. 189
[25] Ibid, hal 191
Tidak ada komentar:
Posting Komentar