PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN ALKITABIAH
Oleh: Ps Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th*
Alkitab
memberikan kepada kita mutiara-mutiara kepemimpinan yang indah dan harus digali
untuk kepentingan praksis dalam kehidupan gerejaNya. Berikut adalah beberapa
prinsip dasar kepemimpinan yang dijelaskan oleh Alkitab dan menjadi landasan
dasar kepemimpinan Kristen.
A. Kepemimpinan Sebagai Suatu Konsekuensi.
Tetapi
Yesus menjawab, kata-Nya: “kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu
meminum cawan, yang harus Kuminum?” Kata mereka kepada-Nya: kami dapat.”(ayat
22). Yesus mengatakan kepada Yakobus dan Yohanes bahwa mereka kurang mengerti
apa jalan kepada kemuliaan, dan juga siapa yang memberi tempat-tempat
kehormatan. Untuk mendapat kemuliaan mereka harus menderita bersama-sama dengan
Kristus. Apakah mereka sanggup? Cawan dalam Mazmur 11: 6 diartikan sebagai
piala atau cawan penderitaan. Yakobus dan Yohanes mengerti arti cawan itu dan
mereka mengatakan sanggup.
Yesus
mengatakan bahwa mereka akan menderita, Yakobus di bunuh (Kisah Para Rasul. 12:
2) dan Yohanes dipenjarakan (Kisah Para Rasul. 4:3 dan 5: 18). Konsekuensi yang
diterima sebagai pemimpin merupakan suatu pertanyaan yang mendasar dalam
kepemimpinan. Saat Yesus Kristus bertanya apakah mereka sanggup, adalah
indikasi yang sangat kuat akan resiko yang menanti saat seseorang masuk dalam
lingkaran kepemimpinan.
Adalah
hal yang lajim bila mengatakan tak ada sukses yang datang dengan sendirinya.
Sukses adalah sebuah pencapaian. Dan pencapaian itu adalah suatu pengorbanan.
Pengorbanan akan banyak hal termasuk penderitaan fisik dan jiwa. Cawan
penderitaan merupakan kiasan dari resiko kepemimpinan yang harus disikapi
dengan benar. Para pemimpin Kristen tentu akan menjadi lebih beresiko karena
mendapat sorotan lebih. Sorotan bukan hanya seputar etika dan moral, tetapi
lebih jauh lagi mengenai kerohanian.
Resiko
yang paling berat mungkin salah satu adalah ketika harus mengkonfrontir dosa
atau kesalahan. Ini adalah pekerjaan yang sangat sulit dan krusial. Penulis
buku laris “Crucial Confrontations” mengatakan: “Kita semua menghadapi
konfrontasi krusial. Kita menetapkan harapan yang jelas. Tetapi pihak sana
tidak menghormatinya – kita merasa kecewa. Para ahli hukum menyebut kejadian itu
melanggar kontrak. Di tempat kerja, kita mungkin menamakannya komitmen yang tak
dipenuhi; dengan teman, kita sebut pengingkaran janji; dan dengan anak remaja
kita, kita sebut pelanggaran sopan santun umum.”[1]
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa pemimpin Kristen seringkali terjebak dalam konflik
saat membenturkan filosofi kasih dengan disiplin. Ini adalah pekerjaan beresiko
sehingga seringkali tak dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Beberapa
pemimpin bahkan membiarkannya menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah selesai.
Atau juga pekerjaan rumah yang memang tak ingin diselesaikan.
Resiko
atau konsekwensi adalah hal yang harus diselesaikan. Ketika seorang pemimpin
berada dalam kondisi konfrontatif (meminta pertanggungjawaban), maka resikonya
adalah jelas. Beberapa akan terluka dan bahkan akan meradang. Namun itulah
resiko menjadi pemimpin. Tidak ada jalan lain, seorang pemimpin harus
melewatinya. Pemimpin yang baik harus mengambil resiko dan sekaligus
menyelesaikan segala konsewensinya. Seorang pemimpin harus membuat sebuah
keputusan.
Yakobus
dan Yohanes membuktikan mereka adalah pemimpin yang sanggup menerima bukan
hanya cawan kebahagiaan sebagai pemimpin
tetapi juga cawan penderitaan. Kata: “Kami dapat” diambil dari kata Dunametha (Dunametha) yang berarti we are able or be possible (kami mampu).
Kedua pemimpin ini mengatakan dengan jelas komitmen mereka untuk menjalani
semua resiko sebagai konsekwensi dari kepemimpinan yang di taruh dipundak
mereka. Salah satunya adalah mengambil keputusan yang tidak populer. Keputusan
beresiko yang harus dibayar dengan harga yang mahal. Keputusan yang mungkin
akan mengorbankan citra dan sebagainya.
B. Prinsip
Kehambaan Sebagai Jantung Kepemimpinan Alkitabiah
Dan
barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi
hambamu (Matius 20: 27). Budak atau hamba tidak memiliki hak dan tidak dibayar
untuk pekerjaannya. Dia dimiliki seutuhnya oleh tuannya dan seluruh hidupnya
adalah untuk melayani tuannya. Ia adalah seorang yang mau atau tidak mau harus
dengan rendah hati dan rela. Ini merupakan prinsip kebesaran jiwa yang diberikan oleh Yesus kepada kita, ini
merupakan prinsip Kerajaan Allah.
Kalau
kita mempelajari Perjanjian Baru, maka Gelar Hamba Allah tidak pernah
dipergunakan oleh Yesus. Kitab-kitab Injil tidak pernah menghubungkannya dengan
Yesus, namun demikian nampaknya gelar
itu menjadi suatu keyakinan di antara orang Kristen mula-mula.[2]
Indikasi ini menandakan bahwa para pengikut Kristus, telah dapat menjelaskan
konsep kehambaan karena telah mengamati dan melihatnya secara langsung
dipraktekkan oleh Yesus Kristus. Hal ini juga menjelaskan bagi kita bahwa
melayani yang di dorong oleh hati yang menghamba bukanlah hal-hal yang hanya
diperkatakan, tetapi dipraktekkan. Intinya, melayani sebagai hamba Allah
bukanlah hal yang asing bagi pembaca Injil Matius.
Sifat
khas kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang menghambakan
diri. Identitas pemimpin Kristen yang paling penting adalah kehambaannya.
Kehambaan itu terpampang pada pribadi seorang pemimpin Kristen yang secara rela
dari lubuk hatinya menggagas setiap tindakan kepemimpinan sebagai hamba yang
melayani. Ini dapat berarti bahwa Kepemimpinan Kristen bukan untuk mencari
keuntungan materi maupun kejayaan moril atau kemasyuran namai, melainkan untuk melayani
(Matius 20: 26).
Dalam Perjanjian
Lama, dijelaskan bahwa para raja tidak di “desain” untuk meninggikan diri atas
rakyat (Ulangan 17:20). Korah ditegur
dan dihukum akibat sikap kepemimpinan yang mengutamakan kedudukan (Bilangan
16:33). Paulus memandang jabatan rasuli bukan untuk kemuliaan dirinya,
melainkan untuk bekerja keras dalam pelayanan (2 Korintus 11-12; 1 Korintus 15:10).
Para penatua gereja dipanggil untuk menggembalakan dan memelihara
umat Allah (Ibrani 13:17; 1 Petrus 5:23). Yesus Kristus mengajarkan
kepemimpinan sebagai “menjadi hamba” dan Dia menegaskannya melalui
keteladanan-Nya (Matius 20: 27). Contoh-contoh di atas menjelaskan kepada kita
apa itu kepemimpinan yang melayani.
Seorang
pemimpin Kristen tidak harus mengincar posisi orang nomor satu dalam struktur gereja,
sebab Kristus adalah Kepala Gereja. Ia
memimpin namun juga dipimpin oleh Pemimpin Agung, Tuhan Yesus
(Yohanes 13:13). Artinya adalah bahwa motivasi pemimpin yang di dorong oleh
kehambaan. Dengan menyadari bahwa karena hamba tidak berhak apapun atas
dirinya, maka para pemimpin harus menyadari siapa dirinya. Dia adalah milik
Tuhan dan karena itu dia tidak berhak apapun atas apapun. Dengan
kesadaran ini, kerendahan hati dalam kepemimpinan seorang pemimpin akan riil
dalam prakteknya. Kerendahan hati yang melihat baik kebenaran tentang dirinya
maupun keterbukaan untuk terus belajar akan kepemimpinan yang lebih baik.
Konsep
Hamba Allah berasal dari nyanyian tentang hamba dalam kitab Yesaya, jadi perikop-perikop dalam kitab Yesaya ini
merupakan titik tolak yang jelas untuk menelusuri latar belakangnya. Ungkapan
dalam bahasa Yunani Pais
theou (pais
theou) dapat berarti Anak Allah atau Hamba Allah. Dalam kebanyakan kasus pada
masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ungkapan tersebut mempunyai
arti Hamba Allah.[3] Dalam Perjanjian Lama kata
hamba berasal dari kata eved atau eved YHWH yang dipakai untuk makna yang religius.
Hamba dalam Perjanjian Lama mempunyai arti antara lain: cara orang saleh
menyebutkan diri dihadapan Allah, yang menunjukkan orang-orang saleh. Eved YHWH dalam bentuk tunggal sebagai
penggambaran Israel dan sebagai gelar khusus untuk menggambarkan orang-orang
yang dipakai Tuhan secara istimewa.[4]
Sebagai
latar belakang penggunaan istilah ini dalam Perjanjian Baru, kita perlu
memperhatikan orang yang secara istimewa ditunjuk dalam kitab Yesaya 42: 1-4;
49: 1-6; 50: 4-9; 52: 13 dan 53: 12). Ada banyak perdebatan mengenai pengertian
siapakah hamba yang di maksud dalam kitab Yesaya ini. Apakah ia merupakan
seorang pribadi atau mewakili bangsa Israel secara keseluruhan. Kedua pandangan
ini bisa benar dan tidak bertentangan menurut orang Ibrani. Kedua pandangan ini
membantu dalam hal penerapan perikop-perikop ini kepada Yesus Kristus dalam
Perjanjian Baru.
Alkitab
memakai kata “Doulos” dan “Diakonos” yang diterjemahkan sebagai hamba. Meskipun
kedua kata tersebut sulit dibedakan dalam penggunaannya. Doulus mengacu kepada
seseorang yang berada di bawah otoritas orang lain sedangkan diakonos lebih
menekankan kerendahan hati untuk melayani orang lain.
Setelah
mempelajari dua terminologi di atas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa
konsep pemimpin dalam Perjanjian Baru adalah penghambaan. Lebih konkrit lagi
hamba yang dengan rela hati mengambil tempat yang terendah, dan bertahan dalam
berbagai kesulitan dan penderitaan karena pelayanannya terhadap orang lain.
Anak kalimat, “hendaklah ia menjadi hambamu” dalam Bahasa Yunani adalah einai prwtos estai umon doulos (einai prootos estai humoon
doulos) yang diterjemahkan: be chief let him be your servant (seorang pemimpin
menjadikan dirinya seorang pelayan). Terjemahan ini menjelaskan kepada kita
bahwa pribadi seorang pemimpin harus secara sadar dan rela menjadikan dirinya
seorang pelayan. Ini lahir dari kesadaranny ayang terdalam dan itu adalah
semangat dan ciri khas dinamika kepemimpinannya.
Tugas
hamba dalam perikop ini lebih dapat dimengerti jikalau yang dimaksud adalah
seorang pribadi yang dipanggil Allah dan dipenuhi Roh Kudus. Ia akan
memperbaharui bangsa Israel dan akan menetapkan keadilan di antara
bangsa-bangsa, lagi pula misinya itu universal yaitu untuk menyatakan
keadilan-Nya di antara bangsa-bangsa. Namun untuk mencapai tujuan-Nya, Ia harus
menghadapi penderitaan yang sifatnya demi orang lain.
Konsep
budak dengan latar belakang Yahudi berbeda dengan yang kita pahami dalam
konteks perbudakan modern masa kini. Tidak disangkal bahwa Alkitab versi
Indonesia terjemahan baru menuliskan “hamba” lebih banyak daripada “budak”.
Perjanjian Baru menulis kata hamba sebanyak 159 ayat, sedangkan kata “budak”
hanya muncul di dalam 4 ayat. Padahal kalau kita meneliti dalam bahasa aslinya,
kata hamba dan budak itu selalu mengakar dari kata yang sama yaotu doulos. Apakah ini suatu cara untuk menghaluskan
makna modern yang dianut oleh penterjamah Alkitab LAI TB? Kita perlu
mendapatkan keterangan dengan detail dari mereka.
C.
Kepemimpinan VERSUS Otoriter
Banyak
orang menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin, baik di kantor, organisasi,
kampus, rumah ataupun gereja. Meskipun konsep dan aksi kepemimpinan mereka
sangat berbeda dengan konsep dan aksi kepemimpinan yang pernah diajarkan dan
didemonstrasikan oleh Yesus Kristus. Padahal, mereka mengklai diri mereka
sebagai pemimpin Kristen.
Konsep
kepemimpinan umum biasanya dikaitkan dengan kuasa, karena pemimpin diidentikkan
dengan kuasa, muncul opini umum yang menyatakan bahwa seorang pemimpin adalah
seorang yang melekat dengan kuasa. Kuasa seringkali didefinisikan sebagai
kapasitas untuk mempengaruhi orang lain. Kuasa bahkan adalah sebuah kemaampuan
untuk mendominasi komunitas. Beberapa sumber kuasa yang popular termasuk
posisi, uang, fisik, senjata, kepakaran, informasi dan lain sebagainya.
Matius
20: 25: “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah
bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar
menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.” Kekuasaan cenderung korup,
otoriter, bahkan sewenang-wenang. Banyak bukti kepemimpinan di dunia ini yang
melakukan kekerasan dan otoriterianisme, bahkan kalau boleh dikatakan “hampir”
semua pemimpin dunia mempraktekkannya. Kita sangat akrab dengan
pemimpin-pemimpin negara di dunia ini yang secara terang-terangan memamerkan
kuasanya.
Persoalan
muncul ketika para pemimpin gereja juga mengalami hal yang sama. Tidak jarang
pemimpin-pemimpin gereja mempergunakan kekerasan dan otoriterianisme dalam
menjalankan peran kepemimpinan. Banyak sudah data dan fakta yang terpampang
secara gamblang dan tak lagi menjadi rahasia bahwa untuk mendapatkan posisi
kepemimpinan serta mempertahankan posisi kepemimpinan tersebut, para pemimpin
rohani ini terjebak dalam dosa otoriterianisme. Sungguh suatu hal tak elok
untuk dituliskan namun faktanya tak dapat kita sembunyikan. Para pemimpin Kristen telah terpengaruh dengan
prinsif adopsi aborsi, adobsi prinsif sekular dan aborsi prinsif kepemimpinan
alkitabiah. Sungguh ini sudah menjadi rahasia umum, artinya tidak lagi menjadi
sebuah rahasia tetapi kenyataan.
Alkitab
mengajarkan bahwa seorang pemimpin, tidak pantas dan tidak etis bertindak
otoriter atau memaksakan kehendak. Pemimpin Kristen justru harus meletakkan hak
atau kuasa kepemimpinannya dan mengambil posisi sebagai hamba yang melayani.
Sejatinya, seorang pemimpin Kristen harus lemah lembut dalam sikap melayani. Ia
bahkan secara rela mengorbankan apapun seperti yang sudah Yesus Kristus
lakukan. Pemimpin Kristen harus menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan
kepemimpinannya. Kita belajar bahwa gereja mula-mula hanya mengangkat para
pemimpin yang memiliki standar moral dan etika yang sangat tinggi. Dalam Kisah
Para Rasul pasal 6, terlihat ketika Lukas mencatat tentang bagaimana ketatnya
para calon pemimpin pertama gereja dikaji dan dipilih oleh saudara-saudara
seiman. Demikian pula Kristus sendiri dengan teliti memilih dan mengangkat para
Rasul. Pemimpin Kristen kini pun harus melewati proses yang sama. Karena
bagaimanapun kita sedang menjelaskan dan memperbincangkan kepemimpinan Kristen
yang tak lain tak bukan adalah kepemimpinan yang menjadikan Yesus Kristus
sebagai pola teladan yang utama dan terutama.
Kuasa
kepemimpinan tentu adalah konsep yang alkitabiah. Kita tak dapat menyangkali
bahwa kuasa atau otoritas melekat pada pemimpin termasuk seorang pemimpin
Kristen. Namun kuasa kepemimpinan yang diajarkan Alkitab justru adalah dinamika
yang didorong untuk melayani sehingga timbul sebagai sebuah pengakuan dari
masyarakat. DR. Yakob Tomatala menulis: “ Kuasa kepemimpinan terdapat pada
seseorang individu dalam organisasi yang secara umum mempertoleh
pengakuan/penghargaan dari kelompok/ masyarakat dimana ia berada.
Pengakuan/penghargaan ini datang, karena orang tersebut telah membuktikan diri
sebagai pekerja ulet (yang ahli) yang bermotivasi dan bermoral tinggi yang
telah berhasil secara nyata sehingga ia disebut sebagai orang sukses. Pengakuan
ini datang sebagai pengukuhan atas komitmen, dedikasi, serta kinerja yang telah
dibuktikan orang tersebut dalam lingkup kerja di tengah masyarakat.”[5]
Secara
sederhana, ulasan Yakob Tomatala di atas adalah menjelaskan tentang pembuktian
diri yang menghasilkan penghargaan. Seorang pemimpin dapat saja menjabat secara
struktural, namun tidak mendapat legalitas secara praktikal. Istilah hukum bagi
persoalan ini adalah seorang pemimpin dapat saja menjabat secara de jure namun
persoalan de fakto merupakan prosres pembuktian diri. Seorang pemimpin dapat
saja menjabat secara struktural, dan dalam menjalankan kepemimpinan
melakukannya dengan pemaksaan otoritas, sehingga dia tidak mendapatkan respon
dan pengakuan dari komunitas dimana kepemimpinannya berlangsung. Intinya,
seorang pemimpin harus membuktikan diri sebagai pelayanan, maka pengakuan atas
pengaruhnya mendapatkan pengakuan. Bukan sebaliknya, menjalankan atau
memaksakan otoritas sehingga pengakuan dari komunitas menjadi sangat minim.
Dalam sebuah seminar kepemimpinan, John Maxwell mengatakan: “Pengaruh datang
dari hubungan dengan sesama, bukan dari posisi.”[6]
D.
Kepemimpinan dan Pengorbanan
Sama
seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Matius 20: 28).
Ketika Yesus menderita dan mati menggantikan manusia yang berdosa, Dia
menggenapi nubuatan dalam Yesaya 53 yang menjelaskan tugas-Nya sebagai Hamba
Allah.[7]
Yesus sendiri melakukan apa yang diminta-Nya kepada para pengikut-Nya. Ia
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Ia datang bukan untuk
menduduki sebuah takhta, melainkan memikul salib. Yesus merangkum seluruh
hidup-Nya dalam satu kalimat yang sangat fenomenal dan tidak tertandingi oleh
siapapun yaitu: “Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan
bagi banyak orang”. ( Matius 20: 28)
Kata
memberi dalam ayat 28 berasal dari kata dounai (dounai). Kata ini merupakan cikal bakal kata donation dalam bahasa Inggris yang berarti derma, sumbangan. Yesus
mendermakan hidupNya. Dalam kontek ayat ini kita harus memperjelas pengertian
mendermakan sebagai sebuah tindakan dari hati yang dengan sadar dan rela
melakukannya. Dalam Matius 27:50, kita menemukan kata menyerahkan:
“Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya.” Kata
menyerahkan berasal dari kata kerja afhken (afeeken) yang merupakan kata kerja aoris aktif indikatif. Artinya,
Yesus menyerahkan nyawanya melalui kesadaran sendiri dan secara aktif. Ia telah
melakukannya sekali pada masa lalu ketika Ia tergantung di kayu salib. Konteks
ini tentu selaras dengan kata dounai sehingga kita dapat menjelaskan bahwa
Yesus saat mendermakan hidupNya bagi banyak orang yang berdosa waktu itu, telah
melakukannya dengan kesadaran penuh yang lahir dari hati yang tulus dan suci.
Kepemimpinan Kristen adalah
kepemimpinan yang mendasarkan otoritasnya pada pengorbanan. Sebab itu pemimpin
Kristen yang sejati disebut “pemimpin pelayan”. Dalam
menjalankan kepemimpinan, seorang pemimpin Kristen harus menyadari dengan jelas
bahwa kepemimpinan yang dijalankannya harus terdorong oleh hati yang tulus dan
suci. Hati yang tulus dan suci itu harus dipenuhi kesadaran untuk siap sedia
mendermakan hidupnya bagi kepentingan banyak orang dalam lingkup
kepemimpinannya. Hal yang utama untuk kita dapat mengenal seseorang telah
berjalan dalam prinsif kepemimpinan Kristen yang alkitabiah, adalah ketika
terbuktikan dalam situasi kepemimpinan kesadaran pemimpin untuk mendermakan
hidupnya secara tulus dan suci.
Cacat
terdalam pada kepemimpinan sekuler berakar pada arogansi yang membuatnya
bertindak dominan berdasarkan rasa superioritas. Yesus mengajarkan bahwa ciri
khas dan kebesaran pemimpin spiritual terletak bukan pada posisi dan
kuasanya, melainkan pada pengorbanannya.
Hanya melalui melayani, seseorang menjadi besar (Matius 20: 26). Pemimpin yang
memberi keteladanan dan pengorbanan akan memiliki wibawa spiritual untuk
memimpin orang lain.
Yesus
memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang artinya: manusia berada
dalam cengkraman kuasa iblis yang tidak dapat mereka hancurkan; dosa-dosa
mereka telah mengikat mereka; dosa-dosa itu memisahkan mereka dari Allah;
dosa-dosa mereka menghancurkan hidup mereka sendiri, bagi dunia dan bagi Allah.[8]
Kata
tebusan berasal dari kata lutron
(lutron) yang berarti a ransom. Tebusan
ialah sesuatu yang dibayarkan atau diberikan untuk membebaskan manusia dari
situasi semacam itu, yang membuatnya tidak mungkin membebaskan diri sendiri.[9]
Tebusan juga berarti harga atau biaya yang harus dibayar untuk membebaskan
seorang tawanan. Sebagai contoh, budak atau tawanan perang dapat dibebaskan
dengan membayar tebusan. Karena itu ungkapan ini sangat sederhana artinya
yaitu: untuk membawa manusia kembali kepada Allah diperlukan pengorbanan
kehidupan dan kematian Yesus Kristus.
Inilah
kebenaran yang agung dan luar biasa bahwa tanpa Yesus dan hidup pelayanan serta
kematian-Nya yang penuh kasih itu, kita tidak pernah dapat menemukan jalan
kembali kepada kasih Allah. Yesus memberikan segalanya untuk membawa manusia
kembali kepada Allah; dan kita harus berjalan menuruti jejak-jejak Yesus yang
sangat mengasihi itu.
Dalam
konteks kepemimpinan, kata lutron bermakna
sangat mendalam. Seorang pemimpin harus mengerti bahwa konsep ini bukan sekedar
basa-basi. Konsep tebusan ini bermakna kehadiran seorang pemimpin harus menjadi
suatu solusi bagi persoalan dalam situasi kepemimpinan yang berlangsung.
Seperti Yesus yang menghadirkan diriNya sebagai sebuah jawaban, maka pemimpin
alkitabiah harus hadir sebagai alat Tuhan yang memberi jalan keluar. Pemimpin
dalam hal ini adalah seorang “juruselamat” yang dapat dirasakan maknanya dalam
situasi kepemimpinan. Contoh yang menarik mengani hal ini dapat kita lihat
dalam kisah berikut ini:
“Iacocca seorang presiden
Ford Motor Company, posisi kepemimpinan tertinggi di bawah Pemimpin puncak
Henry Ford II yang bekerja selama tiga puluh dua tahun pada waktu mengundurkan
diri tahun 1978 sudah memiliki segalanya. Ia berada pada satu posisi dimana ia
tidak perlu bekerja lagi selamanya. Undangan Chrysler sebuah perusahaan motor
ketiga terbesar di Amerika Serikat yang sudah mau bangkrut kepadanya untuk
menjadi anggota dewan merupakan suatu kesempatan sekaligus tantangan seumur
hidup. John Riccardo, yang ketika itu menjabat sebagai ketua dewan Chrysler,
menyadari bahwa perusahaannya membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk dapat
bertahan, sesuatu yang ia sendiri tidak mampu memberikan.
Menurut Iacocca, Riccardo
tahu bahwa ia sudah kewalahan, maka ia ingin mengangkat mantan orang Ford itu
menjadi presiden Chrysler. Sebagai imbalannya, Riccardo akan turun dalam waktu
kurang dari dua tahun agar Iacocca dapat menjadi pimpinan puncak dan direktur
utama. John Riccardo rela mengorbankan dirinya demi kepentingan perusahaannya.
Iacocca menerima tawaran itu, namun ia juga harus memulai pengorbanan dirinya.
Yang pertama adalah dalam soal keuangannya. Gajinya hanya separuh dari gaji
yang ia terima dari Ford Motor Company. Yang kedua adalah keluarga. Ketika
bekerja pada perusahaan sebelumnya ia bekerja hanya pada hari senin sampai
dengan hari Jumat. Sabtu dan Minggu ia
meluangkan waktu untuk keluarga. Di Chrysler ia bekerja setiap hari. Menjadi
pemimpin yang baik harus rela berkorban segalanya. Ketiga, ia dan top eksekutif
lainnya rela memangkas upahnya sendiri demi kemajuan Chrysler. Keempat menelan
harga diri artinya Iacocco merendahkan diri menghadap kongres Amerika Serikat
untuk mendapat pinjaman, walau ia harus dimaki, diremehkan sebagai mantan orang
penting di Ford Motor Company dan terbukti kemudian kongres menyetujui memberi
pinjaman. Terbukti kemudian Chrysler bisa eksis dan berhasil meraup keuntungan
milliaran dolar Amerika Serikat.”
Apa yang
menarik dari kepemimpinan Lacocco? Pengorbanan untuk kebebasan sebuah
perusahaan yang sedang sekarat. Dunia sedang membutuhkan pemimpin-pemimpin
alkitabiah yang dapat menerapkan pengorbanan dalam situasi kepmimpinannya.
Gerald Brooks mengatakan: “ketika anda menjadi seorang pemimpin, anda
kehilangan hak untuk memikirkan diri sendiri.”[10]
Hukum pengorbanan menuntut bahwa semakin besar seorang pemimpin, semakin banyak
yang harus dikorbankannya.[11]
Pemimpin Kristen masa kini harus kembali merefleksikan kepemimpinan yang
alkitabiah. Dengan banyak belajar dari para pendahulu yang telah menoreh
sejarah sukses dan memuliakan nama Tuhan.
* Penulis adalah Pendiri CF dan Sekolah Tinggi Theologi Suneidesis. Ia melayani sebagai Gembala Jemaat Gereja Bethany Indonesia Pulomas Jakarta Timur. Menikah dengan Imelda Hanna Widjaja, SE dan mempunyai seorang anak perempuan, Corinthia Evangeline Joshua. Penulis tinggal di Jakarta.
[1] Kerry Patterson dan kawan-kawan, Crucial Confrontations, PT
Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007, Hal. 4
[2] Donald Guthrie,Teologia Perjanjian Baru I, PT BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2010
[3] Ibid
[4]ibid
[5] Loc Cit, Yakob Tomatala, Kepemimpinan Dinamis, hal. 114
[6] John Maxwell, Materi Seminar Kepemimpinan Million Leader Mandate, hal. 2
[7] Matthew E. Carlton, Injil Matius, Yayasan Karunia bakti
Budaya Indonesia, 2002
[8] DRS. J. J. De Heer, Injil
Matius (tafsiran Alkitab), PT BPK Gunung Mulia, 1990
[9] ibid
[10] John C. Maxwell, 21 Hukum Tak Terbantahkan Dalam
Kepemimpinan, Georgia, Maxwell
Motivation, Inc. hal 189
[11] Ibid, hal 191
Gaya kepemimpinan yang Alkitabiah : http://sentuhanimankristen.blogspot.com/2015/02/GayaKepemimpinanAlkitabiah.html
BalasHapus