Sekretariat STTS

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI SUNEIDESIS

Sekretariat:

Komplek Pertokoan Pulomas Blok XI/2 Jl. Perintis Kemerdekaan Jakarta Timur

e-mail: conscience.foundation@hotmail.com Telepon: 021-93555867, 082122715676

Kamis, 12 September 2013

PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN ALKITABIAH



PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN ALKITABIAH
Oleh: Ps Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th*

 

Alkitab memberikan kepada kita mutiara-mutiara kepemimpinan yang indah dan harus digali untuk kepentingan praksis dalam kehidupan gerejaNya. Berikut adalah beberapa prinsip dasar kepemimpinan yang dijelaskan oleh Alkitab dan menjadi landasan dasar kepemimpinan Kristen.

A.        Kepemimpinan Sebagai Suatu Konsekuensi.

Tetapi Yesus menjawab, kata-Nya: “kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?” Kata mereka kepada-Nya: kami dapat.”(ayat 22). Yesus mengatakan kepada Yakobus dan Yohanes bahwa mereka kurang mengerti apa jalan kepada kemuliaan, dan juga siapa yang memberi tempat-tempat kehormatan. Untuk mendapat kemuliaan mereka harus menderita bersama-sama dengan Kristus. Apakah mereka sanggup? Cawan dalam Mazmur 11: 6 diartikan sebagai piala atau cawan penderitaan. Yakobus dan Yohanes mengerti arti cawan itu dan mereka mengatakan sanggup.

Yesus mengatakan bahwa mereka akan menderita, Yakobus di bunuh (Kisah Para Rasul. 12: 2) dan Yohanes dipenjarakan (Kisah Para Rasul. 4:3 dan 5: 18). Konsekuensi yang diterima sebagai pemimpin merupakan suatu pertanyaan yang mendasar dalam kepemimpinan. Saat Yesus Kristus bertanya apakah mereka sanggup, adalah indikasi yang sangat kuat akan resiko yang menanti saat seseorang masuk dalam lingkaran kepemimpinan.

Adalah hal yang lajim bila mengatakan tak ada sukses yang datang dengan sendirinya. Sukses adalah sebuah pencapaian. Dan pencapaian itu adalah suatu pengorbanan. Pengorbanan akan banyak hal termasuk penderitaan fisik dan jiwa. Cawan penderitaan merupakan kiasan dari resiko kepemimpinan yang harus disikapi dengan benar. Para pemimpin Kristen tentu akan menjadi lebih beresiko karena mendapat sorotan lebih. Sorotan bukan hanya seputar etika dan moral, tetapi lebih jauh lagi mengenai kerohanian.

Resiko yang paling berat mungkin salah satu adalah ketika harus mengkonfrontir dosa atau kesalahan. Ini adalah pekerjaan yang sangat sulit dan krusial. Penulis buku laris “Crucial Confrontations” mengatakan: “Kita semua menghadapi konfrontasi krusial. Kita menetapkan harapan yang jelas. Tetapi pihak sana tidak menghormatinya – kita merasa kecewa. Para ahli hukum menyebut kejadian itu melanggar kontrak. Di tempat kerja, kita mungkin menamakannya komitmen yang tak dipenuhi; dengan teman, kita sebut pengingkaran janji; dan dengan anak remaja kita, kita sebut pelanggaran sopan santun umum.”[1]

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemimpin Kristen seringkali terjebak dalam konflik saat membenturkan filosofi kasih dengan disiplin. Ini adalah pekerjaan beresiko sehingga seringkali tak dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Beberapa pemimpin bahkan membiarkannya menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah selesai. Atau juga pekerjaan rumah yang memang tak ingin diselesaikan.

Resiko atau konsekwensi adalah hal yang harus diselesaikan. Ketika seorang pemimpin berada dalam kondisi konfrontatif (meminta pertanggungjawaban), maka resikonya adalah jelas. Beberapa akan terluka dan bahkan akan meradang. Namun itulah resiko menjadi pemimpin. Tidak ada jalan lain, seorang pemimpin harus melewatinya. Pemimpin yang baik harus mengambil resiko dan sekaligus menyelesaikan segala konsewensinya. Seorang pemimpin harus membuat sebuah keputusan.

Yakobus dan Yohanes membuktikan mereka adalah pemimpin yang sanggup menerima bukan hanya  cawan kebahagiaan sebagai pemimpin tetapi juga cawan penderitaan. Kata: “Kami dapat” diambil dari kata Dunametha (Dunametha) yang berarti we are able or be possible (kami mampu). Kedua pemimpin ini mengatakan dengan jelas komitmen mereka untuk menjalani semua resiko sebagai konsekwensi dari kepemimpinan yang di taruh dipundak mereka. Salah satunya adalah mengambil keputusan yang tidak populer. Keputusan beresiko yang harus dibayar dengan harga yang mahal. Keputusan yang mungkin akan mengorbankan citra dan sebagainya.


B.        Prinsip Kehambaan Sebagai Jantung Kepemimpinan Alkitabiah

Dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu (Matius 20: 27). Budak atau hamba tidak memiliki hak dan tidak dibayar untuk pekerjaannya. Dia dimiliki seutuhnya oleh tuannya dan seluruh hidupnya adalah untuk melayani tuannya. Ia adalah seorang yang mau atau tidak mau harus dengan rendah hati dan rela. Ini merupakan prinsip kebesaran jiwa yang  diberikan oleh Yesus kepada kita, ini merupakan prinsip Kerajaan Allah.

Kalau kita mempelajari Perjanjian Baru, maka Gelar Hamba Allah tidak pernah dipergunakan oleh Yesus. Kitab-kitab Injil tidak pernah menghubungkannya dengan Yesus, namun demikian nampaknya  gelar itu menjadi suatu keyakinan di antara orang Kristen mula-mula.[2] Indikasi ini menandakan bahwa para pengikut Kristus, telah dapat menjelaskan konsep kehambaan karena telah mengamati dan melihatnya secara langsung dipraktekkan oleh Yesus Kristus. Hal ini juga menjelaskan bagi kita bahwa melayani yang di dorong oleh hati yang menghamba bukanlah hal-hal yang hanya diperkatakan, tetapi dipraktekkan. Intinya, melayani sebagai hamba Allah bukanlah hal yang asing bagi pembaca Injil Matius.

Sifat khas kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang menghambakan diri. Identitas pemimpin Kristen yang paling penting adalah kehambaannya. Kehambaan itu terpampang pada pribadi seorang pemimpin Kristen yang secara rela dari lubuk hatinya menggagas setiap tindakan kepemimpinan sebagai hamba yang melayani. Ini dapat berarti bahwa Kepemimpinan Kristen bukan untuk mencari keuntungan materi maupun kejayaan moril atau kemasyuran namai, melainkan untuk melayani (Matius 20: 26).

Dalam Perjanjian Lama, dijelaskan bahwa para raja tidak di “desain” untuk meninggikan diri atas rakyat  (Ulangan 17:20). Korah ditegur dan dihukum akibat sikap kepemimpinan yang mengutamakan kedudukan (Bilangan 16:33). Paulus memandang jabatan rasuli bukan untuk kemuliaan dirinya, melainkan untuk bekerja keras dalam pelayanan (2 Korintus 11-12; 1 Korintus 15:10). Para penatua gereja dipanggil untuk menggembalakan dan memelihara umat Allah (Ibrani 13:17; 1 Petrus 5:23). Yesus Kristus mengajarkan kepemimpinan sebagai “menjadi hamba” dan Dia menegaskannya melalui keteladanan-Nya (Matius 20: 27). Contoh-contoh di atas menjelaskan kepada kita apa itu kepemimpinan yang melayani.

Seorang pemimpin Kristen tidak harus mengincar posisi orang nomor satu dalam struktur gereja, sebab Kristus adalah Kepala Gereja. Ia memimpin namun juga dipimpin oleh Pemimpin Agung, Tuhan Yesus (Yohanes 13:13). Artinya adalah bahwa motivasi pemimpin yang di dorong oleh kehambaan. Dengan menyadari bahwa karena hamba tidak berhak apapun atas dirinya, maka para pemimpin harus menyadari siapa dirinya. Dia adalah milik Tuhan dan karena itu dia tidak berhak apapun atas apapun. Dengan kesadaran ini, kerendahan hati dalam kepemimpinan seorang pemimpin akan riil dalam prakteknya. Kerendahan hati yang melihat baik kebenaran tentang dirinya maupun keterbukaan untuk terus belajar akan kepemimpinan yang lebih baik.

Konsep Hamba Allah berasal dari nyanyian tentang hamba dalam kitab Yesaya,  jadi perikop-perikop dalam kitab Yesaya ini merupakan titik tolak yang jelas untuk menelusuri latar belakangnya. Ungkapan dalam bahasa Yunani Pais theou (pais theou) dapat berarti Anak Allah atau Hamba Allah. Dalam kebanyakan kasus pada masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ungkapan tersebut mempunyai arti Hamba Allah.[3] Dalam Perjanjian Lama kata hamba berasal dari kata eved atau eved YHWH yang dipakai untuk makna yang religius. Hamba dalam Perjanjian Lama mempunyai arti antara lain: cara orang saleh menyebutkan diri dihadapan Allah, yang menunjukkan orang-orang saleh. Eved YHWH dalam bentuk tunggal sebagai penggambaran Israel dan sebagai gelar khusus untuk menggambarkan orang-orang yang dipakai Tuhan secara istimewa.[4]

Sebagai latar belakang penggunaan istilah ini dalam Perjanjian Baru, kita perlu memperhatikan orang yang secara istimewa ditunjuk dalam kitab Yesaya 42: 1-4; 49: 1-6; 50: 4-9; 52: 13 dan 53: 12). Ada banyak perdebatan mengenai pengertian siapakah hamba yang di maksud dalam kitab Yesaya ini. Apakah ia merupakan seorang pribadi atau mewakili bangsa Israel secara keseluruhan. Kedua pandangan ini bisa benar dan tidak bertentangan menurut orang Ibrani. Kedua pandangan ini membantu dalam hal penerapan perikop-perikop ini kepada Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.

Alkitab memakai kata “Doulos” dan “Diakonos” yang diterjemahkan sebagai hamba. Meskipun kedua kata tersebut sulit dibedakan dalam penggunaannya. Doulus mengacu kepada seseorang yang berada di bawah otoritas orang lain sedangkan diakonos lebih menekankan kerendahan hati untuk melayani orang lain.

Setelah mempelajari dua terminologi di atas, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa konsep pemimpin dalam Perjanjian Baru adalah penghambaan. Lebih konkrit lagi hamba yang dengan rela hati mengambil tempat yang terendah, dan bertahan dalam berbagai kesulitan dan penderitaan karena pelayanannya terhadap orang lain. Anak kalimat, “hendaklah ia menjadi hambamu” dalam Bahasa Yunani adalah einai prwtos estai umon doulos (einai prootos estai humoon doulos) yang diterjemahkan: be chief let him be your servant (seorang pemimpin menjadikan dirinya seorang pelayan). Terjemahan ini menjelaskan kepada kita bahwa pribadi seorang pemimpin harus secara sadar dan rela menjadikan dirinya seorang pelayan. Ini lahir dari kesadaranny ayang terdalam dan itu adalah semangat dan ciri khas dinamika kepemimpinannya.

Tugas hamba dalam perikop ini lebih dapat dimengerti jikalau yang dimaksud adalah seorang pribadi yang dipanggil Allah dan dipenuhi Roh Kudus. Ia akan memperbaharui bangsa Israel dan akan menetapkan keadilan di antara bangsa-bangsa, lagi pula misinya itu universal yaitu untuk menyatakan keadilan-Nya di antara bangsa-bangsa. Namun untuk mencapai tujuan-Nya, Ia harus menghadapi penderitaan yang sifatnya demi orang lain.

Konsep budak dengan latar belakang Yahudi berbeda dengan yang kita pahami dalam konteks perbudakan modern masa kini. Tidak disangkal bahwa Alkitab versi Indonesia terjemahan baru menuliskan “hamba” lebih banyak daripada “budak”. Perjanjian Baru menulis kata hamba sebanyak 159 ayat, sedangkan kata “budak” hanya muncul di dalam 4 ayat. Padahal kalau kita meneliti dalam bahasa aslinya, kata hamba dan budak itu selalu mengakar dari kata yang sama yaotu doulos.  Apakah ini suatu cara untuk menghaluskan makna modern yang dianut oleh penterjamah Alkitab LAI TB? Kita perlu mendapatkan keterangan dengan detail dari mereka.


C.                Kepemimpinan VERSUS Otoriter

Banyak orang menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin, baik di kantor, organisasi, kampus, rumah ataupun gereja. Meskipun konsep dan aksi kepemimpinan mereka sangat berbeda dengan konsep dan aksi kepemimpinan yang pernah diajarkan dan didemonstrasikan oleh Yesus Kristus. Padahal, mereka mengklai diri mereka sebagai pemimpin Kristen.

Konsep kepemimpinan umum biasanya dikaitkan dengan kuasa, karena pemimpin diidentikkan dengan kuasa, muncul opini umum yang menyatakan bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang melekat dengan kuasa. Kuasa seringkali didefinisikan sebagai kapasitas untuk mempengaruhi orang lain. Kuasa bahkan adalah sebuah kemaampuan untuk mendominasi komunitas. Beberapa sumber kuasa yang popular termasuk posisi, uang, fisik, senjata, kepakaran, informasi dan lain sebagainya.

Matius 20: 25: “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.” Kekuasaan cenderung korup, otoriter, bahkan sewenang-wenang. Banyak bukti kepemimpinan di dunia ini yang melakukan kekerasan dan otoriterianisme, bahkan kalau boleh dikatakan “hampir” semua pemimpin dunia mempraktekkannya. Kita sangat akrab dengan pemimpin-pemimpin negara di dunia ini yang secara terang-terangan memamerkan kuasanya.

Persoalan muncul ketika para pemimpin gereja juga mengalami hal yang sama. Tidak jarang pemimpin-pemimpin gereja mempergunakan kekerasan dan otoriterianisme dalam menjalankan peran kepemimpinan. Banyak sudah data dan fakta yang terpampang secara gamblang dan tak lagi menjadi rahasia bahwa untuk mendapatkan posisi kepemimpinan serta mempertahankan posisi kepemimpinan tersebut, para pemimpin rohani ini terjebak dalam dosa otoriterianisme. Sungguh suatu hal tak elok untuk dituliskan namun faktanya tak dapat kita sembunyikan. Para  pemimpin Kristen telah terpengaruh dengan prinsif adopsi aborsi, adobsi prinsif sekular dan aborsi prinsif kepemimpinan alkitabiah. Sungguh ini sudah menjadi rahasia umum, artinya tidak lagi menjadi sebuah rahasia tetapi kenyataan.

Alkitab mengajarkan bahwa seorang pemimpin, tidak pantas dan tidak etis bertindak otoriter atau memaksakan kehendak. Pemimpin Kristen justru harus meletakkan hak atau kuasa kepemimpinannya dan mengambil posisi sebagai hamba yang melayani. Sejatinya, seorang pemimpin Kristen harus lemah lembut dalam sikap melayani. Ia bahkan secara rela mengorbankan apapun seperti yang sudah Yesus Kristus lakukan. Pemimpin Kristen harus menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan kepemimpinannya. Kita belajar bahwa gereja mula-mula hanya mengangkat para pemimpin yang memiliki standar moral dan etika yang sangat tinggi. Dalam Kisah Para Rasul pasal 6, terlihat ketika Lukas mencatat tentang bagaimana ketatnya para calon pemimpin pertama gereja dikaji dan dipilih oleh saudara-saudara seiman. Demikian pula Kristus sendiri dengan teliti memilih dan mengangkat para Rasul. Pemimpin Kristen kini pun harus melewati proses yang sama. Karena bagaimanapun kita sedang menjelaskan dan memperbincangkan kepemimpinan Kristen yang tak lain tak bukan adalah kepemimpinan yang menjadikan Yesus Kristus sebagai pola teladan yang utama dan terutama.

Kuasa kepemimpinan tentu adalah konsep yang alkitabiah. Kita tak dapat menyangkali bahwa kuasa atau otoritas melekat pada pemimpin termasuk seorang pemimpin Kristen. Namun kuasa kepemimpinan yang diajarkan Alkitab justru adalah dinamika yang didorong untuk melayani sehingga timbul sebagai sebuah pengakuan dari masyarakat. DR. Yakob Tomatala menulis: “ Kuasa kepemimpinan terdapat pada seseorang individu dalam organisasi yang secara umum mempertoleh pengakuan/penghargaan dari kelompok/ masyarakat dimana ia berada. Pengakuan/penghargaan ini datang, karena orang tersebut telah membuktikan diri sebagai pekerja ulet (yang ahli) yang bermotivasi dan bermoral tinggi yang telah berhasil secara nyata sehingga ia disebut sebagai orang sukses. Pengakuan ini datang sebagai pengukuhan atas komitmen, dedikasi, serta kinerja yang telah dibuktikan orang tersebut dalam lingkup kerja di tengah masyarakat.”[5]

Secara sederhana, ulasan Yakob Tomatala di atas adalah menjelaskan tentang pembuktian diri yang menghasilkan penghargaan. Seorang pemimpin dapat saja menjabat secara struktural, namun tidak mendapat legalitas secara praktikal. Istilah hukum bagi persoalan ini adalah seorang pemimpin dapat saja menjabat secara de jure namun persoalan de fakto merupakan prosres pembuktian diri. Seorang pemimpin dapat saja menjabat secara struktural, dan dalam menjalankan kepemimpinan melakukannya dengan pemaksaan otoritas, sehingga dia tidak mendapatkan respon dan pengakuan dari komunitas dimana kepemimpinannya berlangsung. Intinya, seorang pemimpin harus membuktikan diri sebagai pelayanan, maka pengakuan atas pengaruhnya mendapatkan pengakuan. Bukan sebaliknya, menjalankan atau memaksakan otoritas sehingga pengakuan dari komunitas menjadi sangat minim. Dalam sebuah seminar kepemimpinan, John Maxwell mengatakan: “Pengaruh datang dari hubungan dengan sesama, bukan dari posisi.”[6]


D.                Kepemimpinan dan Pengorbanan

Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. (Matius 20: 28). Ketika Yesus menderita dan mati menggantikan manusia yang berdosa, Dia menggenapi nubuatan dalam Yesaya 53 yang menjelaskan tugas-Nya sebagai Hamba Allah.[7] Yesus sendiri melakukan apa yang diminta-Nya kepada para pengikut-Nya. Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Ia datang bukan untuk menduduki sebuah takhta, melainkan memikul salib. Yesus merangkum seluruh hidup-Nya dalam satu kalimat yang sangat fenomenal dan tidak tertandingi oleh siapapun yaitu: “Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. ( Matius 20: 28)

Kata memberi dalam ayat 28 berasal dari kata dounai (dounai). Kata ini merupakan cikal bakal kata donation dalam bahasa Inggris yang berarti derma, sumbangan. Yesus mendermakan hidupNya. Dalam kontek ayat ini kita harus memperjelas pengertian mendermakan sebagai sebuah tindakan dari hati yang dengan sadar dan rela melakukannya. Dalam Matius  27:50, kita menemukan kata menyerahkan: “Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya.” Kata menyerahkan berasal dari kata kerja afhken (afeeken) yang merupakan kata kerja aoris aktif indikatif. Artinya, Yesus menyerahkan nyawanya melalui kesadaran sendiri dan secara aktif. Ia telah melakukannya sekali pada masa lalu ketika Ia tergantung di kayu salib. Konteks ini tentu selaras dengan kata dounai sehingga kita dapat menjelaskan bahwa Yesus saat mendermakan hidupNya bagi banyak orang yang berdosa waktu itu, telah melakukannya dengan kesadaran penuh yang lahir dari hati yang tulus dan suci.

Kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang mendasarkan otoritasnya pada pengorbanan. Sebab itu pemimpin Kristen yang sejati disebut  “pemimpin pelayan”. Dalam menjalankan kepemimpinan, seorang pemimpin Kristen harus menyadari dengan jelas bahwa kepemimpinan yang dijalankannya harus terdorong oleh hati yang tulus dan suci. Hati yang tulus dan suci itu harus dipenuhi kesadaran untuk siap sedia mendermakan hidupnya bagi kepentingan banyak orang dalam lingkup kepemimpinannya. Hal yang utama untuk kita dapat mengenal seseorang telah berjalan dalam prinsif kepemimpinan Kristen yang alkitabiah, adalah ketika terbuktikan dalam situasi kepemimpinan kesadaran pemimpin untuk mendermakan hidupnya secara tulus dan suci.

Cacat terdalam pada kepemimpinan sekuler berakar pada arogansi yang membuatnya bertindak dominan berdasarkan rasa superioritas. Yesus mengajarkan bahwa ciri khas dan kebesaran pemimpin spiritual terletak bukan pada posisi dan kuasanya, melainkan pada pengorbanannya. Hanya melalui melayani, seseorang menjadi besar (Matius 20: 26). Pemimpin yang memberi keteladanan dan pengorbanan akan memiliki wibawa spiritual untuk memimpin orang lain.

Yesus memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang artinya: manusia berada dalam cengkraman kuasa iblis yang tidak dapat mereka hancurkan; dosa-dosa mereka telah mengikat mereka; dosa-dosa itu memisahkan mereka dari Allah; dosa-dosa mereka menghancurkan hidup mereka sendiri, bagi dunia dan bagi Allah.[8]

Kata tebusan berasal dari kata lutron (lutron) yang berarti a ransom. Tebusan ialah sesuatu yang dibayarkan atau diberikan untuk membebaskan manusia dari situasi semacam itu, yang membuatnya tidak mungkin membebaskan diri sendiri.[9] Tebusan juga berarti harga atau biaya yang harus dibayar untuk membebaskan seorang tawanan. Sebagai contoh, budak atau tawanan perang dapat dibebaskan dengan membayar tebusan. Karena itu ungkapan ini sangat sederhana artinya yaitu: untuk membawa manusia kembali kepada Allah diperlukan pengorbanan kehidupan dan kematian Yesus Kristus.

Inilah kebenaran yang agung dan luar biasa bahwa tanpa Yesus dan hidup pelayanan serta kematian-Nya yang penuh kasih itu, kita tidak pernah dapat menemukan jalan kembali kepada kasih Allah. Yesus memberikan segalanya untuk membawa manusia kembali kepada Allah; dan kita harus berjalan menuruti jejak-jejak Yesus yang sangat mengasihi itu.

Dalam konteks kepemimpinan, kata lutron bermakna sangat mendalam. Seorang pemimpin harus mengerti bahwa konsep ini bukan sekedar basa-basi. Konsep tebusan ini bermakna kehadiran seorang pemimpin harus menjadi suatu solusi bagi persoalan dalam situasi kepemimpinan yang berlangsung. Seperti Yesus yang menghadirkan diriNya sebagai sebuah jawaban, maka pemimpin alkitabiah harus hadir sebagai alat Tuhan yang memberi jalan keluar. Pemimpin dalam hal ini adalah seorang “juruselamat” yang dapat dirasakan maknanya dalam situasi kepemimpinan. Contoh yang menarik mengani hal ini dapat kita lihat dalam kisah berikut ini:
“Iacocca seorang presiden Ford Motor Company, posisi kepemimpinan tertinggi di bawah Pemimpin puncak Henry Ford II yang bekerja selama tiga puluh dua tahun pada waktu mengundurkan diri tahun 1978 sudah memiliki segalanya. Ia berada pada satu posisi dimana ia tidak perlu bekerja lagi selamanya. Undangan Chrysler sebuah perusahaan motor ketiga terbesar di Amerika Serikat yang sudah mau bangkrut kepadanya untuk menjadi anggota dewan merupakan suatu kesempatan sekaligus tantangan seumur hidup. John Riccardo, yang ketika itu menjabat sebagai ketua dewan Chrysler, menyadari bahwa perusahaannya membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk dapat bertahan, sesuatu yang ia sendiri tidak mampu memberikan.

Menurut Iacocca, Riccardo tahu bahwa ia sudah kewalahan, maka ia ingin mengangkat mantan orang Ford itu menjadi presiden Chrysler. Sebagai imbalannya, Riccardo akan turun dalam waktu kurang dari dua tahun agar Iacocca dapat menjadi pimpinan puncak dan direktur utama. John Riccardo rela mengorbankan dirinya demi kepentingan perusahaannya. Iacocca menerima tawaran itu, namun ia juga harus memulai pengorbanan dirinya. Yang pertama adalah dalam soal keuangannya. Gajinya hanya separuh dari gaji yang ia terima dari Ford Motor Company. Yang kedua adalah keluarga. Ketika bekerja pada perusahaan sebelumnya ia bekerja hanya pada hari senin sampai dengan hari Jumat. Sabtu dan Minggu  ia meluangkan waktu untuk keluarga. Di Chrysler ia bekerja setiap hari. Menjadi pemimpin yang baik harus rela berkorban segalanya. Ketiga, ia dan top eksekutif lainnya rela memangkas upahnya sendiri demi kemajuan Chrysler. Keempat menelan harga diri artinya Iacocco merendahkan diri menghadap kongres Amerika Serikat untuk mendapat pinjaman, walau ia harus dimaki, diremehkan sebagai mantan orang penting di Ford Motor Company dan terbukti kemudian kongres menyetujui memberi pinjaman. Terbukti kemudian Chrysler bisa eksis dan berhasil meraup keuntungan milliaran dolar Amerika Serikat.”

Apa yang menarik dari kepemimpinan Lacocco? Pengorbanan untuk kebebasan sebuah perusahaan yang sedang sekarat. Dunia sedang membutuhkan pemimpin-pemimpin alkitabiah yang dapat menerapkan pengorbanan dalam situasi kepmimpinannya. Gerald Brooks mengatakan: “ketika anda menjadi seorang pemimpin, anda kehilangan hak untuk memikirkan diri sendiri.”[10] Hukum pengorbanan menuntut bahwa semakin besar seorang pemimpin, semakin banyak yang harus dikorbankannya.[11] Pemimpin Kristen masa kini harus kembali merefleksikan kepemimpinan yang alkitabiah. Dengan banyak belajar dari para pendahulu yang telah menoreh sejarah sukses dan memuliakan nama Tuhan.

* Penulis adalah Pendiri CF dan Sekolah Tinggi Theologi Suneidesis. Ia melayani sebagai Gembala Jemaat Gereja Bethany Indonesia Pulomas Jakarta Timur. Menikah dengan Imelda Hanna Widjaja, SE dan mempunyai seorang anak perempuan, Corinthia Evangeline Joshua. Penulis tinggal di Jakarta.


[1] Kerry Patterson dan kawan-kawan, Crucial Confrontations, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2007, Hal. 4
[2] Donald Guthrie,Teologia Perjanjian Baru I, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010
[3] Ibid
[4]ibid
[5] Loc Cit, Yakob Tomatala, Kepemimpinan Dinamis, hal. 114
[6] John Maxwell, Materi Seminar Kepemimpinan Million Leader  Mandate, hal. 2
[7] Matthew E. Carlton, Injil Matius, Yayasan Karunia bakti Budaya Indonesia, 2002
[8]  DRS. J. J. De Heer, Injil Matius (tafsiran Alkitab), PT BPK Gunung Mulia, 1990
[9] ibid
[10] John C. Maxwell, 21 Hukum Tak Terbantahkan Dalam Kepemimpinan,  Georgia, Maxwell Motivation, Inc. hal 189
[11] Ibid, hal 191

1 komentar:

  1. Gaya kepemimpinan yang Alkitabiah : http://sentuhanimankristen.blogspot.com/2015/02/GayaKepemimpinanAlkitabiah.html

    BalasHapus