Sekretariat STTS

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI SUNEIDESIS

Sekretariat:

Komplek Pertokoan Pulomas Blok XI/2 Jl. Perintis Kemerdekaan Jakarta Timur

e-mail: conscience.foundation@hotmail.com Telepon: 021-93555867, 082122715676

Jumat, 13 September 2013

MEMIKUL SALIB, YAKIN?



Memikul Salib, Yakin? Suatu Perenungan dari Lukas 14:25-35
Oleh: Pdt. Nathanail Sitepu, M.Th.



Terus terang sejak kecil saya suka sekali dengan lambang salib. Di pintu masuk kamar tidur saya tergantung hiasan salib. Banyak orang Kristen yang memasang hiasan Salib di rumahnya, baik di kamar, di ruang tamu, bahkan ada yang di ruang makan. Ada juga yang gemar memakai kalung salib, mulai yang terbuat dari besi putih, perak, sampai emas.
Nah, dalam Lukas 14:25-23 ini saya mau mengajak kita semua untuk merenungkan tentang Salib itu sendiri. Ayat kunci dari perikop ini terletak pada ayat. 27, “barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Ternyata dalam Alkitab istilah memikul salib ini bukan perkara sepele. Orang-orang pada saat itu ketika mendengar kata salib, adalah sesuatu yang mengerikan. Salib merupakan hukuman yang sangat berat pada zaman itu. orang yang disalib adalah orang yang terkutuk (Galatia 3:13).
Penyaliban merupakan hukuman yang paling kejam dan sadis ditelinga orang-orang pada masa itu berbeda dengan kita yang kini melihat salib dalam dua sisi, yaitu penderitaan sekaligus kemuliaan, karena kita sudah mengenal akan tujuan salib dalam perspektif rohani, yaitu Yesus menggantikan manusia untuk dihukum karena dosa. Dan peristiwa penyaliban Yesus merupakan bagian dari skenario Allah untuk memperdamaikan diri-Nya dengan manusia (Yoh. 3:16).
Ketika percakapan ini berlangsung, Yesus sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem. Yesus menyadari bahwa Ia sedang berjalan menuju salib. WaktuNya hampir genap. Sementara orang-orang berbondong-bondong mengikuti Dia karena tidak tahu akan hal tersebut, dan malah berpikir bahwa Yesus sedang menuju Kerajaan-Nya secara fisik/politis. Dari teks Firman Tuhan ini kita akan merenungkannya dibawah tema: Kunci kekuatan dalam memikul Salib. Ada 2 kunci kekuatan dalam memikul salib:

1.      Hidup dalam komitmen total.

Komitmen adalah keterikatan. Dalam ayat. 25-26. Istilah membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya tidak boleh diartikan secara hurufiah, karena akan menimbulkan pertanyaan, “kok, Yesus yang penuh kasih mengajarkan kebencian?”. Dalam budaya Yahudi ikatan keluarga itu sangat dijunjung tinggi. Kekerabatan dalam keluarga. Bahkan ada aturan bila seorang istri ditinggal mati oleh suaminya, maka adiknya harus menikahinya, agar dapat mempertahankan nama dan garis keturunan si almarhum. Berikutnya bisa kita lihat contohnya dalam Lukas 9:29, ketika Yesus mengajak salah seorang murid-Nya, “ikutlah Aku”, Tetapi orang itu berkata: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." Sebenarnya orang itu bukan ragu-ragu atau setengah hati mengikut Yesus, melainkan karena dalam Taurat tertulis: Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu (Kel.20:12;juga 21:15,17; Im. 19:3). Dan memang hukum ini menjadi tuntutan umum yang berlaku bagi seorang anak pada zaman itu. seorang anak harus mengatur kuburan orang tuanya ke dalam kuburan para leluhurnya dan untuk mengatur upacara ratapan.
Maka istilah “membenci” merupakan gaya bahasa hiperbola atau “gaya ucapan yang berlebihan” atau disebut exaggerated saying yang digunakan untuk menonjolkan pesan yang mencolok. Disini Yesus menegaskan bahwa mengikut Dia diperlukan kesungguhan yang radikal! Mengikut Yesus berarti kita siap menempatkan Dia di atas semua komitmen kita.
Suatu kali saya pernah ngobrol dengan seorang ibu yang sudah lanjut usia, kira-kira usia 60 tahun lebih, dia adalah teman dari teman saya yang kebetulan anaknya berkuliah di tempat ibu tersebut mengajar. Ibu tersebut ternyata adalah seorang profesor, beliau adalah lulusan dari sebuah perguruan tinggi di Eropa. Dia mengaku penganut kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa saja, tapi tidak terikat kepada agama manapun. Beberapa kali saya berbincang-bincang dengan beliau saya selalu membawa nama Yesus, dan memang dia tahu saya pendeta. Hingga akhirnya dia terbuka kepada saya bahwa dia dulu adalah jemaat di suatu gereja, tetapi karena berbeda iman dengan suaminya, dan perbedaan keyakinan tersebut membuat mereka cekcok, akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari gereja dan tidak berjemaat dimanapun, demi menyelamatkan keluarganya. Beliau mengaku bersyukur dan berterima kasih karena bisa berbincang-bincang dengan saya karena merasa disejukkan dan dikuatkan. Saya juga bilang terima kasih anda adalah profesor, tapi mau mendengarkan saya.
Saudaraku yang terkasih, sebagai manusia kita harus menyadari bahwa kita hidup di antara Allah dan iblis. Allah memiliki kita, namun iblis selalu berupaya untuk merenggut kita. iblis adalah oknum yang cerdik, sehingga dengan berbagai cara dia mencari sela dalam menjatuhkan kita, bisa melalui keluarga, pekerjaan, suami, istri, anak, keuangan, dll. Komitmen total menjadi kekuatan. Menomor satukan Yesus membuat kita mampu untuk tetap terus berjalan dalam jalan-jalan-Nya. Memampukan kita untuk tetap taat dan setia. Sudahkah komitmen tertinggi kita adalah komitmen dalam mengikut Yesus?

2.      Mengikut Yesus bukan dengan NEKAD melainkan TEKAD.

Yesus ingin semua orang mengikuti Dia dengan motivasi yang benar. Yesus berbeda dengan pemimpin dunia yang mempromosikan diri dengan kata-kata muluk, dengan janji-janji busuk. Yesus menghendaki supaya setiap orang yang mengikuti diri-Nya dengan penuh kesadaran tinggi. Karena memang demam Yesus sudah sangat merambah pada masa itu. kerinduan mereka akan sosok Mesias yang akan memulihkan Kerajaan Daud dari penjajahan Romawi. Mereka melihat bahwa segala perbuatan Yesus, seperti memberi makan orang banyak dengan 5 roti 2 ikan merupakan sebuah tindakan ajaib yang pernah dilakukan oleh Musa.
Musa adalah tokoh pembebas mereka. Musa pernah meminta Tuhan untuk memberi mereka makan dengan roti manna. Dan mujizat itu terjadi kembali, dilakukan oleh Yesus. Disini Yesus tidak mau mereka hanya berpegang kepada berkat saja, melainkan kepada penderitaan juga harus tetap setia ikut Yesus. Cinta kita kepada Yesus bukan cinta buta! Seperti cinta anak ABG. Yang nekad dan berujung kepada penyesalan! Tekad merupakan kebulatan hati dan pikiran. Yesus berkata dalam Matius 22:37: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Ini menunjukkan bahwa kasih kepada Allah disertai dengan kesadaran yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. Iman kristen bukan iman yang buta atau iman yang berjalan dalam gelap. Iman yang terus bergumul dan terkoneksi dengan Tuhan agar semakin memiliki pengenalan yang sempurna dalam menjalani hidup sebagai umat-Nya.
Ayat.28-31, menjelaskan pentingnya kita mengenali akan diri kita dalam mengikut Yesus, dengan tujuan agar kita tidak putus iman di tengah jalan.  Yesus menggunakan analogi orang yang membangun menara, dimana menara dalam zaman Perjanjian Lama digunakan oleh Israel dan Yehuda sebagai sarana untuk pertahanan dan mengintai musuh. Kemudian Yesus juga menganalogikan mengikut Dia dengan cerita seorang raja yang memperhitungkan kekuatan dirinya berbanding dengan kekuatan musuhnya. Zaman dahulu seorang raja yang mengatur langsung formasi kekuatan militernya untuk berperang. Raja harus yakin dulu bahwa mereka besar kemungkinan menang baru mengerahkan pasukannya, bila tidak lebih baik mengalah, daripada dipermalukan oleh musuh.
Nah, hari ini sebagai hamba Yesus kita harus mempersiapkan diri untuk berperang melawan iblis, yang selalu mengincar dan menjatuhkan kita. kita harus sadar bahwa mengikut Yesus harus ada strategi rohani melawan segala tipu daya Iblis.
Hidup ini adalah perjuangan iman. Sebelum memutuskan melayani Tuhan, menjadi anggota gereja, sebaiknya setiap orang harus mendahuluinya dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut kepada diri sendiri, yaitu: “Mengapa aku percaya Yesus? Apakah aku sudah siap dalam suka dan duka mengikut Dia? Apa tujuanku dalam mengikut Yesus? Hal ini sangat ditekankan Yesus agar kita tidak hanya “sekedarnya” mengikut Dia, melainkan mampu menunjukkan kualitas kehidupan, kesaksian hidup yang nyata bagi konteks kita berada, sebagai garam yang terjaga keasinannya (34-35). Begitu banyak kisah tentang para aktivis gereja yang ketika menikah justru berpaling dari imannya. Banyak hamba Tuhan yang meninggalkan pelayanannya karena tawaran jabatan dan materi. Bahkan saya pernah mendengar kesaksian seorang mahasiwa teologi yang akhirnya meninggalkan studinya karena ada tawaran menjadi SPG (Sales Promotion Girl) perusahaan rokok.
Kesaksian hidup pengikut Yesus, bukan yang temporer, bukan juga euforia sesaat, melainkan terus menerus, seperti lilin yang menyala. Lilin itu akan berhenti nyalanya seiring dengan habisnya tubuh lilin itu. Marilah kita terus menjaga kualitas iman kita, sampai bertemu dengan Bapa di surga, muka dengan muka. Selamat memikul salib. Pikulah Salib yang Tuhan berikan bagi kita dengan keteguhan iman kepada Kristus. Salam Salib. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar