Memikul Salib,
Yakin? Suatu Perenungan dari Lukas 14:25-35
Oleh:
Pdt. Nathanail Sitepu, M.Th.
Terus
terang sejak kecil saya suka sekali dengan lambang salib. Di pintu masuk kamar
tidur saya tergantung hiasan salib. Banyak orang Kristen yang memasang hiasan
Salib di rumahnya, baik di kamar, di ruang tamu, bahkan ada yang di ruang
makan. Ada juga yang gemar memakai kalung salib, mulai yang terbuat dari besi
putih, perak, sampai emas.
Nah,
dalam Lukas 14:25-23 ini saya mau mengajak kita semua untuk merenungkan tentang
Salib itu sendiri. Ayat kunci dari perikop ini terletak pada ayat. 27, “barangsiapa
tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Ternyata
dalam Alkitab istilah memikul salib ini bukan perkara sepele. Orang-orang pada
saat itu ketika mendengar kata salib, adalah sesuatu yang mengerikan. Salib
merupakan hukuman yang sangat berat pada zaman itu. orang yang disalib adalah
orang yang terkutuk (Galatia 3:13).
Penyaliban
merupakan hukuman yang paling kejam dan sadis ditelinga orang-orang pada masa
itu berbeda dengan kita yang kini melihat salib dalam dua sisi, yaitu
penderitaan sekaligus kemuliaan, karena kita sudah mengenal akan tujuan salib
dalam perspektif rohani, yaitu Yesus menggantikan manusia untuk dihukum karena
dosa. Dan peristiwa penyaliban Yesus merupakan bagian dari skenario Allah untuk
memperdamaikan diri-Nya dengan manusia (Yoh. 3:16).
Ketika
percakapan ini berlangsung, Yesus sedang dalam perjalanan menuju Yerusalem.
Yesus menyadari bahwa Ia sedang berjalan menuju salib. WaktuNya hampir genap.
Sementara orang-orang berbondong-bondong mengikuti Dia karena tidak tahu akan
hal tersebut, dan malah berpikir bahwa Yesus sedang menuju Kerajaan-Nya secara
fisik/politis. Dari teks Firman Tuhan ini kita akan merenungkannya dibawah
tema: Kunci kekuatan dalam memikul Salib. Ada 2 kunci kekuatan dalam memikul
salib:
1.
Hidup dalam komitmen total.
Komitmen
adalah keterikatan. Dalam ayat. 25-26. Istilah membenci bapanya, ibunya,
isterinya, anak-anaknya tidak boleh diartikan secara hurufiah, karena akan
menimbulkan pertanyaan, “kok, Yesus yang penuh kasih mengajarkan kebencian?”.
Dalam budaya Yahudi ikatan keluarga itu sangat dijunjung tinggi. Kekerabatan
dalam keluarga. Bahkan ada aturan bila seorang istri ditinggal mati oleh suaminya,
maka adiknya harus menikahinya, agar dapat mempertahankan nama dan garis
keturunan si almarhum. Berikutnya bisa kita lihat contohnya dalam Lukas 9:29,
ketika Yesus mengajak salah seorang murid-Nya, “ikutlah Aku”, Tetapi orang itu
berkata: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." Sebenarnya
orang itu bukan ragu-ragu atau setengah hati mengikut Yesus, melainkan karena
dalam Taurat tertulis: Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di
tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu (Kel.20:12;juga 21:15,17; Im.
19:3). Dan memang hukum ini menjadi tuntutan umum yang berlaku bagi seorang
anak pada zaman itu. seorang anak harus mengatur kuburan orang tuanya ke dalam
kuburan para leluhurnya dan untuk mengatur upacara ratapan.
Maka
istilah “membenci” merupakan gaya bahasa hiperbola atau “gaya ucapan yang
berlebihan” atau disebut exaggerated saying yang digunakan untuk menonjolkan
pesan yang mencolok. Disini Yesus menegaskan bahwa mengikut Dia diperlukan
kesungguhan yang radikal! Mengikut Yesus berarti kita siap menempatkan Dia di
atas semua komitmen kita.
Suatu
kali saya pernah ngobrol dengan seorang ibu yang sudah lanjut usia, kira-kira
usia 60 tahun lebih, dia adalah teman dari teman saya yang kebetulan anaknya
berkuliah di tempat ibu tersebut mengajar. Ibu tersebut ternyata adalah seorang
profesor, beliau adalah lulusan dari sebuah perguruan tinggi di Eropa. Dia
mengaku penganut kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa saja, tapi tidak
terikat kepada agama manapun. Beberapa kali saya berbincang-bincang dengan
beliau saya selalu membawa nama Yesus, dan memang dia tahu saya pendeta. Hingga
akhirnya dia terbuka kepada saya bahwa dia dulu adalah jemaat di suatu gereja,
tetapi karena berbeda iman dengan suaminya, dan perbedaan keyakinan tersebut
membuat mereka cekcok, akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari gereja dan
tidak berjemaat dimanapun, demi menyelamatkan keluarganya. Beliau mengaku
bersyukur dan berterima kasih karena bisa berbincang-bincang dengan saya karena
merasa disejukkan dan dikuatkan. Saya juga bilang terima kasih anda adalah
profesor, tapi mau mendengarkan saya.
Saudaraku
yang terkasih, sebagai manusia kita harus menyadari bahwa kita hidup di antara
Allah dan iblis. Allah memiliki kita, namun iblis selalu berupaya untuk
merenggut kita. iblis adalah oknum yang cerdik, sehingga dengan berbagai cara
dia mencari sela dalam menjatuhkan kita, bisa melalui keluarga, pekerjaan, suami,
istri, anak, keuangan, dll. Komitmen total menjadi kekuatan. Menomor satukan
Yesus membuat kita mampu untuk tetap terus berjalan dalam jalan-jalan-Nya.
Memampukan kita untuk tetap taat dan setia. Sudahkah komitmen tertinggi kita
adalah komitmen dalam mengikut Yesus?
2. Mengikut
Yesus bukan dengan NEKAD melainkan TEKAD.
Yesus
ingin semua orang mengikuti Dia dengan motivasi yang benar. Yesus berbeda
dengan pemimpin dunia yang mempromosikan diri dengan kata-kata muluk, dengan
janji-janji busuk. Yesus menghendaki supaya setiap orang yang mengikuti
diri-Nya dengan penuh kesadaran tinggi. Karena memang demam Yesus sudah sangat
merambah pada masa itu. kerinduan mereka akan sosok Mesias yang akan memulihkan
Kerajaan Daud dari penjajahan Romawi. Mereka melihat bahwa segala perbuatan
Yesus, seperti memberi makan orang banyak dengan 5 roti 2 ikan merupakan sebuah
tindakan ajaib yang pernah dilakukan oleh Musa.
Musa
adalah tokoh pembebas mereka. Musa pernah meminta Tuhan untuk memberi mereka
makan dengan roti manna. Dan mujizat itu terjadi kembali, dilakukan oleh Yesus.
Disini Yesus tidak mau mereka hanya berpegang kepada berkat saja, melainkan
kepada penderitaan juga harus tetap setia ikut Yesus. Cinta kita kepada Yesus
bukan cinta buta! Seperti cinta anak ABG. Yang nekad dan berujung kepada
penyesalan! Tekad merupakan kebulatan hati dan pikiran. Yesus berkata dalam Matius
22:37: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Ini menunjukkan bahwa kasih kepada Allah
disertai dengan kesadaran yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. Iman
kristen bukan iman yang buta atau iman yang berjalan dalam gelap. Iman yang
terus bergumul dan terkoneksi dengan Tuhan agar semakin memiliki pengenalan
yang sempurna dalam menjalani hidup sebagai umat-Nya.
Ayat.28-31,
menjelaskan pentingnya kita mengenali akan diri kita dalam mengikut Yesus,
dengan tujuan agar kita tidak putus iman di tengah jalan. Yesus menggunakan analogi orang yang membangun
menara, dimana menara dalam zaman Perjanjian Lama digunakan oleh Israel dan
Yehuda sebagai sarana untuk pertahanan dan mengintai musuh. Kemudian Yesus juga
menganalogikan mengikut Dia dengan cerita seorang raja yang memperhitungkan
kekuatan dirinya berbanding dengan kekuatan musuhnya. Zaman dahulu seorang raja
yang mengatur langsung formasi kekuatan militernya untuk berperang. Raja harus
yakin dulu bahwa mereka besar kemungkinan menang baru mengerahkan pasukannya,
bila tidak lebih baik mengalah, daripada dipermalukan oleh musuh.
Nah,
hari ini sebagai hamba Yesus kita harus mempersiapkan diri untuk berperang
melawan iblis, yang selalu mengincar dan menjatuhkan kita. kita harus sadar
bahwa mengikut Yesus harus ada strategi rohani melawan segala tipu daya Iblis.
Hidup
ini adalah perjuangan iman. Sebelum memutuskan melayani Tuhan, menjadi anggota
gereja, sebaiknya setiap orang harus mendahuluinya dengan mengajukan pertanyaan
sebagai berikut kepada diri sendiri, yaitu: “Mengapa aku percaya Yesus? Apakah
aku sudah siap dalam suka dan duka mengikut Dia? Apa tujuanku dalam mengikut
Yesus? Hal ini sangat ditekankan Yesus agar kita tidak hanya “sekedarnya” mengikut
Dia, melainkan mampu menunjukkan kualitas kehidupan, kesaksian hidup yang nyata
bagi konteks kita berada, sebagai garam yang terjaga keasinannya (34-35). Begitu
banyak kisah tentang para aktivis gereja yang ketika menikah justru berpaling
dari imannya. Banyak hamba Tuhan yang meninggalkan pelayanannya karena tawaran
jabatan dan materi. Bahkan saya pernah mendengar kesaksian seorang mahasiwa
teologi yang akhirnya meninggalkan studinya karena ada tawaran menjadi SPG (Sales Promotion Girl) perusahaan rokok.
Kesaksian
hidup pengikut Yesus, bukan yang temporer, bukan juga euforia sesaat, melainkan
terus menerus, seperti lilin yang menyala. Lilin itu akan berhenti nyalanya
seiring dengan habisnya tubuh lilin itu. Marilah kita terus menjaga kualitas
iman kita, sampai bertemu dengan Bapa di surga, muka dengan muka. Selamat
memikul salib. Pikulah Salib yang Tuhan berikan bagi kita dengan keteguhan iman
kepada Kristus. Salam Salib. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar