Sekretariat STTS

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI SUNEIDESIS

Sekretariat:

Komplek Pertokoan Pulomas Blok XI/2 Jl. Perintis Kemerdekaan Jakarta Timur

e-mail: conscience.foundation@hotmail.com Telepon: 021-93555867, 082122715676

Rabu, 25 September 2013

KEDAULATAN ALLAH DALAM MISI



KEDAULATAN ALLAH DALAM MISI
Ps. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th


Sebuah Pengantar

Hampir dapat dipastikan semua agama menempatkan Tuhan dalam posisi berdaulat. Walau persfektif berdaulat itu berbeda-beda dalam penjabaran tiap-tiap agama dalam pembelajaran dogmatisnya. Ini adalah satu langkah maju untuk membawa pemahaman kita betapa besar dan mulianya Tuhan itu. Dia berada dan ada melintasi pemahaman dogmatis agama-agama duniawi. Dia juga ada sebagai jawaban bagi kebuntuan science. Dia bahkan mutlak ada pada orang-orang yang berusaha meniadakan Tuhan (ateis). Sejatinya, setiap saat kita sedang ada dan berada dalam naungan Sang Mahaberdaulat yang memenuhi segala hal.

Kristianitas memberikan kepada dunia yang beradab lebih dari pada cukup informasi tentang Allah yang berdaulat. Kita tidak perlu menekankan dogma kedaulatan Allah karena semua orang kristen pasti sepakat bahwa Allah berdaulat atas segala ciptaanNya. Konsekwensi dari pengakuan bahwa Dia adalah Allah pencipta, mengharuskan semua yang percaya hal itu, mengakuyi kedaulatanNya atas ciptaanNya. Dalam hal ini, Allah bukanlah manusia yang seringkali tidak berkuasa mengendalikan apa yang diciptanya. Misalnya, penemuan manusia akan tenaga nuklir. Beberapa saat yang lalu kita semua termangu ketika gempa yang disusul tsunami menghamtam daerah pesisir Kerajaan Jepang. Pembangkit listrik tenaka nuklir di Sendai pun tak luput. Kebakaran dan ledakan dahsyat meluluhlantakkan kehidupan di sana. Nuklir yang telah dicipta untuk kehiudpan yang lebih baik, menjadi liar tak terkendali dan membunuh penciptanya. Manusia tak berdaulat atas ciptaannya bahkan seringkali kecenderungan diperbudak oleg ciptaannya.

Salah satu contoh kegagalan manusia untuk mengendalikan ciptaannya adalah penemuan komputer. Komputer telah memberikan kemudahan yang luar biasa. Apa yang seharusnya bisa dikerjakan setahun, kini oleh bantuan komputer hanya memerlukan waktu beberapa hari saja. Proses pembuatan buka pada abab ke 17 memerlukan waktu bertahun-tahun, kini tak lebih dari satu bulan sebuah Alkitab sudah dapat dicetak dan dipasarkan. Komputer kini sudah seperti ‘tuhan’ bagi manusia disegala tempat. Namun, manusia tak dapat mengendalikan komputer seutuhnya. Komputer kini dapat menjadi musuh yang menakutkan karena berada ditangan orang yang bermoral bejad. Motivasi awal menjadikan komputer sebagai teman yagn membantu kegiatan manusia, kini menjadi musuh yang menghancurkan manusia. Komputer sekarang bahkan telah menjadi momok yang sangat menakutkan lebih dari pada nuklir. Melalui komputer orang dapat menyebarkan perang, pornografi, teror, penipuan perbankan, dan bahkan segala hal yang jahat. Manusia kini tak dapat lagi mengendalikan dampak dari zaman komputerisasi yang telah mengglobal. Artinya, manusia tidak berdaulat atas ciptaannya.

Memang tidak dapat tersangkali, pemahaman dogmatis Kristianiatas dari masa ke masa terus mengalami dinamika yang sangat berwarna. Namun itu semua tidaklah mengurangi kedaulatan Allah yang Maha tersebut. Semua orang Kristen yang berdoa pasti menyadari kedaulatan Allah. Allah yang berdaulat atas apa ayng telah diberikanNya. Dia juga berdaulat untuk menaham pemberianNya. Dan Allah juga berdaulat untuk tidak memberikan apa yagn ada padaNya. Ketiga hal yang sudah menjadi pemahaman umum dalam dinamikia doa, tentu secara kasat mata adalah bentuk dari kedaulatan Allah.

Kalau dirunut berdasarkan kajian sejarah gereja, kita tentu akan selalu belajar dari seorang  Agustinus. Tokoh gereja mula-mula ini memberikan gambaran yang mengenai tentang apa itu kedaulatan gereja. Pemahaman ini jugalah yang pada gilirannya mempengaruhi Yohanes Calvin dalam menggariskan paparan teologisnya pada zaman reformasi. Terlepas dari pemahanan para pengikut calvin yang sering disebut calvinis, yang seringkali tidak dapat menjelaskan dengan tepat buah pikiran John Calvin, namun kita harus mengakui bahwa John Calvin telah meletakkan landasan teologis yagn mendalam dan kuat mengenai Allah yang berdaulat. Sejatinya, jika ada orang yang mengatakan Allah tidak berdaulat, maka dia telah mengebiri Allah yang serba Maha. Memang tak dapat disangkali, penuturan dan penjelasan dogmatis Allah Berdaulat, tak selalu seperti apa yang telah digariskan oleh para pendahulu. Maka memang tak heran jika ada sebuah pertanyaan. Apakah John Calvin seorang Calvinis?

Kini kita ada dalam abad yang paling ramai dalam hal penafsiran. Seiring dengan bertumbuhnya kekristenan dan semakin makmurnya gereja?, kita akan dengan mudah menemukan tokoh-tokoh teolog genius yang dengan cemerlang memberikan gambaran tentang hal itu. Kita memang sekian lama terpenjara dengan thema-thema teologi dari barat, sehingga kita secara paksa mengadobsi pemahanan mereka walau dalam kontek yang berbeda seringkali menjadi benturan yang cukup menyulitkan. Memang sangat riskan, karena teologi seharusnya kontekstual sehingga dapat menjangkau orang-orang dalam konteksnya, namun karena kekurangan sumber daya, maka bertahun-tahun gereja di Indonesia khususnya terpaksa menelan bulat-bulat pemahaman teologi barat yang tak selalu sesuai dengan adat dan budaya ketimuran.

Dari sekian banyak teolog Injili yang ada, saya secara khusus menyorot seorang teolog lokal berbasis internasional. Dia adalah DR. Yakob Tomatala. Seorang teolog pribumi yang berupaya dengan pemahaman lintas bangsa mengurai dengan khas apa itu kedaulatan Allah dalam kontek pemahaman lokal . Walau beliau masih selalu mengutip pendapat para teolog barat, namun beliau secara khas menelisik dan mengkritisi pandangan-pandangan tersebut dalam buku-bukunya. Seorang pengajar dan pembelajar yang sederhana dan membumi. Itulah kesan yang saya dapatkan ketika mengikuti kelas-kelas beliau. Oleh karena itulah maka, saya mencoba mengurai dari sudut pandang beliau thema menarik ini. Tema seputar Kedaulatan Allah dan hubungannya dengan Misi.



Kedaulatan Allah dalam Misi

Ada dua kata yang harus kita jelasksan dalam sudut pandang yang benar. Daulat dan Allah. Bagaimanakah kedua kata ini akhirnya bisa bersanding? Apakah dalam kedaulatan ada Allah dan srebaliknya dalam Allah ada kedaulatan? Memang pertanyaan ini terkesan sebagai permaian kata-kata, namun sejatinya dari situlah kita akan menemukan benang merah. Benang merah yang menandakan kita menerima pemahaman yang seimbang dan bermanfaat secara dogmatis.

Berdaulat dari kata dasar daulat, menurut WJS Poerwadarminta berarti:

1.      Bahagia; berkat kebahagiaan (yang ada pada raja)
2.      Berdaulat; berbahagia, bertuah
3.      Berdaulat; mempunyai kekuasaan tertinggi atau hak dipertuan (atas sesuatu pemerintahan negara atau daerah)
4.      Kedaulatan; kekuasaan yang tertinggi atau hak dipertuan (atas pemerintahan negara, daerah dan sebagainya)[1]

Kalau ditarik sebuah penyimpulan, maka kedaulatan dalam konteks ini bermakna kekuasaan atau otoritas mutlak (tertinggi) Allah atas seluruh jagad ciptaanNya. Dalam hal ini Allah berdaulat atas diriNya karena tidak ada lagi yang dapat mengatasi atau yang lebih tinggi dari Dia. Maka kita dapat katakan bahwa Allah berdaulat mutlak karena tak ada unsur atau anazir apapun yang dapat menyamai atau mengalahkan kedaulatanNya.

Seorang raja dikatakan berdaulat karena dia merupakan penguasa atau poemerintah tertinggi dalam sebuah kerajaan (negara), namun kedaulatan dalam konteks ini tidak absulute karena suatu saat dia dapat saja dilengserkan dari tahtanya. Inilah yang membedakan kedaulatan Allah yang absolut karena tak ada yang dapat menyamai dan tak ada juga yang dapat mengkudetaNya.

DR. Tomatala menjelaskan: “Hakikat diri Allah yang berdaulat dinyatakanNya dalam kehendakNya yang berdaulat.”[2] Yang menarik dari seluruh uraian DR Tomatala dalam bukunya, Teologi Misi, adalah kata pembuktian. Saya senang dengan seorang teman di kelas mata kuliah ini yang menyatakan bahwa teologi yang tepat untuk DR Tomatala adalah Teologi Pembuktian. Segala hal harus dibuktikan, termasuk dalam hal ini kedaulatanNya. Bagaimana kita mengerti Allah berdaulat? Dengan melihat kehendakNya yang dinyatakan.

Ini sangat menarik karena memang kedaulatan Allah yang sejatinya tak perlu lagi dibuktikan karena sudah terbukti berdaulat dalam kehendakNya, namun oleh karenba kebesaran dan keagungan kasihNya, dengan rela Ia mempertunjukkan kedaulatanNya. Hal ini bermakna bahwa Ia adalah Allah yang terbuktikan karena kehendakNya terlaksana dan selalu terlaksana. Berikut adalah ulasan lanjutan beliau: “Pemahaman tentang diriNya yang berdaulat ini dapat dilihat dari keseluruhan hakikat diriNya. Dari segi moral, Allah adalah Mahakasih, Mahasuci dan Mahabenar, dimana pada diriNya ada hakikat kemahakuasaan azali yang bersifat determinatif. Kemahakuasaan azali ini menegaskan bahwa Allah memiliki segala sesuatu pada diriNya yang self determinatif.”[3]

Sisi lain yang dapat kita ungkap mengenai kedaulatan Allah adalah kemahapemilikanNya. Artinya, hanya Dialah yang memiliki segala hal. Segala hal ada padaNya dan padaNyalah segala hal ada. Ini bermakna kemutlakan diriNya sebagai Allah yang berdaulat. Karena tidak ada satupun yang kurang pada diriNya karna semuaNya melekat dan menjadi milikNya, maka dia berdaulat penuh atas segala hal. Karena ini Allah tidak bergantung pada siapapun dan kepada apapun. Kebergantungan adalah keterbatasan dan keterbatasan adalah rintangan yang sulit bagi kedaulatan. Menarik sekali untuk membincangkan bagaimana Allah yang mutlak itu tidak bergantung pada siapapun dan kepada apapun karena kesan pemula bagi para pembelajar teologi alan bertanya, kalau Allah yang mutlak berdaualt itu tidak membutuhkan apa pun dan siapapun mengapa perlu misi? Ini adalah sebuah pertanyaan panjang yang semoga pada akhir makalah pendek ini dapat terjawab.

Yang sangat menantang dari kedaulatan Allah adalah kewenangan azali yang melekat padaNya untuk menetapkan hukum hidup bagi ciptaanNya.[4] Kita sedang berada pada tahapan yang paling krusial dari keberadaan Allah yang berdaulat.  Kata yang tepat untuk kesan pertama bagi Allah yang berdaulat dalam kontek hukum hidup adalah otoriterisme. Tantangan untuk menunjukkan pribadi Allah yang berdaulat namun yang memiliki kepribadian Mahakasih adalah suatu hal yang perlu dijabarkan secara hati-hati. Para pengkritik Alkitab telah melepaskan peluru kritik mereka dalam hal ini. Mereka meminta para teolog ortodok untuk menjelaskan secara hubungan antara sifat azali Allah yang Mahakasih dengan kedaulatan azaliNya? Bukankah ada paradok yang saling berbenturan di situ?   

Jawaban bagi para pengkritik Alkitab tentu adalah jawaban kritis yang tak selalu bermakna rohani. Mereka mengajukan pertanyaan itu untuk tujuan yang tidak tulus dan mengada-ada. Oleh karena itu jawaban paling praktis dan palign tepat bagi mereka adalah: Itulah salah satu kedaulatan Allah yang absolut. Dia absolut dalam sifat azaliNya yang Mahakasih dan absolut dalam kehendakNya. keduaNya dapat dijadikanNya tidak bergesekan dan tidak berbenturan karena justru Dia bergerak dalam kedaulatan yang mahamutlak sehingga tidak mungkin bertentangan. 

Dapat dijelaskan prinsip-prinsip kedaulatan Allah, namun disini hanya membatasi wacana pada topik kedaulatan Allah dalam perspektif misi. Namun demikian marilah kita melihatnya secara sepintas prinsip-prinsip kedalautan Allah untuk membantu membuka wawasan teologis kita secara sederhana.  

Allah yang berdaulat adalah Allah Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Allah orang Kristen sejati adalah Allah yang menciptakan alam semesta sekaligus memeliharanya. Allah yang menciptakan segala sesuatu (Kej. 1) berarti Dia adalah sumber segala sesuatu. Ia yang menciptakan manusia, berarti Ia jugalah sumber kita mengerti manusia. Alangkah tidak masuk akalnya jika seorang manusia mau mengerti manusia bukan dari Allah, tetapi dari ilmu-ilmu dunia bahkan dari interpretasi sendiri. Selain sebagai Pencipta, Allah juga adalah Pemelihara ciptaan-Nya. Bukan seperti Deisme yang mengajarkan bahwa setelah menciptakan alam semesta, Allah meninggalkan ciptaannya untuk diatur oleh hukum alam, Kekristenan sejati mengajarkan bahwa Allah yang mencipta juga adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya. Ini membuktikan adanya providensia Allah. Pemeliharaan Allah atas alam juga mencakup adanya anugerah umum Allah untuk mencegah (bukan menghilangkan) kerusakan alam ini. Hal ini memberi kekuatan bagi iman kita di kala kita putus asa.

Allah yang berdaulat adalah Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun. Allah adalah Tuhan dan Pencipta segala sesuatu, oleh sebab itu Ia pasti tidak sama dengan ciptaan. Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan di bagian ini adalah Allah itu Kekal, sedangkan manusia itu relatif/sementara. Allah yang Kekal berarti Allah yang melampaui ruang dan waktu, Ia bekerja dan menetapkan sebelum dunia dijadikan. Dalam hal keselamatan pun, Allah telah menetapkan beberapa orang untuk menjadi umat-Nya.

Allah yang berdaulat adalah Allah yang Berkuasa mutlak. Tidak ada anazir apapun yang dapat mengurangi atau menambahi kuasaNya. Dia adalah Allah yang Mahakuasa sehingga tidak adalagi yang dapat disamakan denganNya. Karena Dia mutlak, maka kuasaNya juga absolut. Tidak ada unsur yang dapat membatalkan, menghalangi, dan atau mengurangi.

Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Tiga Pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus. Topik Trinitas memang adalah hal yang penuh jebakan. Kita harus secara hati-hati menjelaskan, karena penjelasan yang tidak tepat dapat mengkhamiri kebenaran sejati Trinitas.  Kita tidak dalam domain membahas konsep Trinitas, jadi kita hanya menyebutnya sepintas saja. KedaulatanNya yang hadir dalam tiga Pribadi harus kita terima apa adanya seperti yang dijelaskan oleh Alkitab. Upaya teologis untuk menjelaskannya seringkali justru mengaburkan pengertiannya yang sejati. Jadi, dari pada kita terjebak dalam kesalahan yang fatal, lebih baik kita menerimannya apa adanya. Memang Dia adalah Allah Trinitas.

Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana) sekaligus imanen (yang dekat dengan kita). Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana), sekaligus Allah yang dekat dengan umat-Nya (imanen). Di dalam Perjanjian Lama, konsep ini dijelaskan. Allah menunjukkan kekudusan-Nya kepada umat Israel di Gunung Sinai, sehingga selain Musa, tidak ada yang boleh naik ke Gunung Sinai (baca: Kel. 19). Di sisi lain, Allah menunjukkan imanensi-Nya dengan menyebut umat Israel sebagai anak-Nya (baca: Kel. 4:22, 23; Hos. 11:1). Di Perjanjian Baru, kita juga mendapati hal serupa. Penulis Ibrani mengingatkan bahwa kita jangan sekali-kali menolak Kristus atau pun Allah, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibr. 12:29) Di sisi lain, Allah juga digambarkan sangat mengasihi umat pilihan-Nya, sehingga mereka disebut anak-anak-Nya, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” (Rm. 8:14-16)

Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya. Allah yang berdaulat adalah Allah yang berdaulat mutlak dan rela membatasi diri-Nya untuk dikenal oleh ciptaan-Nya (Rm. 1:19). Penyataan diri Allah ini berkaitan dengan atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan. Penyataan Allah yang paling dapat dipahami oleh manusia yang paling ateheis pun adalah keteraturan alam semesta. Sudut pandang para astronout Unisoviet (sosialis komunis) dan Amerika (Kristiani) ketika berada di luar atmosfher bumi menjelaskan kealfaan mereka dan menggambarkan kedaulatan Allah yang terejawantahkan lewat ciptaanNya yang mahasempurna. Baik atheis maupun Kristiani liberal, semuanya tertunduk dan mengakui kedaulatan Allah yang mencipta alam semesta dengan luar biasa.

Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil (dan Mahakudus). Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kedua atribut Allah ini tidak bisa dipisahkan. Alkitab mengajarkan bahwa Allah itu Mahakasih sekaligus Mahaadil. Di dalam kasih-Nya, Ia tetap menghukum umat-Nya yang bersalah (baca: Why. 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”)

Yang paling terakhir adalah, Allah yang berdaulat adalah Allah yang berdaulat dalam keselamatan. Topik inilah yang akan kita kaji dengan mendalam karena kaitannya dengan penginjilan. Kalau Allah berdaulat dalam keselamatan, maka dimanakah letak tanggung jawab manusia. Benarkah bahwa Allah berdaulat dalam keselamatan adalah satu pertanyaan tetapi pertanyaan selanjutnya apakah tanggung jawab manusia dalam keselamatan adalah suatu sisi pertanyaan yang lain. Kedua hal ini memiliki lubang-lubang jebakan yang berbahaya sehingga tidak mudah untuk menguraikannya. Kita tidak dapat dengan serta merta memeluk suatu kebenaran tetapi kita mengabaikan kebenaran yang lain. Hal ini justru telah membuat kebenaran yang kita peluk menjadi suatu yang tidak benar karena telah melukai kebenaran yang lain. J.I Packer menulis: “Terdapat kontroversi yang telah berlangsung lama dalam gereja mengenai apakah Allah sungguh-sungguh adalah Tuhan atas tindakan manusia dan atas iman yang menyelamatkan. Situasi yang sebanrnya tidak seperti apa yang tampak dipermukaan. Tidak benar ada orang Kristen yang percaya pada kedaulatan ilahi dan ada yang tidak. Sebenarnya, semua orang Kristen percaya pada kedaulatan ilahi, tetapi sebagian mereka tidak menyadari hal ini sehingga dengan tegas menolaknya. Apa penyebab sikap salah ini? Akar permasalahannya ini sama seperti dalam kebanyakan kasus kesalahan dalam gereja, yaitu hadirnya spekulasi rasionalis, penekanan yang berlebihan pada konsistensi rasionalis, keengganan untuk mengakui adanya misteri dan pengakuan bahwa Allah lebih bijak dari pada manusia. Akbiatnya, alkitab diletakkan dibawah tuntutan logika manusia.”[5]

Apabila Allah berdaulat dalam keselamatan, maka dimanakah letak tanggung jawab manusia. Bukankah manusia adalah mahluk moral yang mana tindakannya harus dipertanggungjawabkan kelak di tahta pengadilan Allah. Bukankah manusia harus bertangung jawab dalam merespon berita keselamatan dari Injil. Kalau Allah memang berdaulat, maka apa dasar Allah meminta pertanggungjawaban dari manusia atas berita Injil yang dia tolak atau dia terima? Bukankah hal yang absurb meminta pertanggunjawaban jika sebenarnya keselamatan adalah kedaulatan Allah. Jika keselamatan telah direncanakanNya, apakah mungkin Dia mengingkari keadilanNya dengan meminta pertanggungjawaban?

Jawaban bagi pertanyaan yang beruntun tadi tentulah tidak sesederhana membalik telapak tangan. Namun bagaimanapun juga kita harus menjawabnya. Memang ada pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, tapi dalam kontek ini, pertanyaan tersebut memerlukan jawaba. Bukan untuk sekedar memuaskan dahaga logika, tetapi karena merupakan landasan yang mendasar dari semua kegiatan misi penginjilan.

Ada bahaya yang mengancam apabila orang menekankan kedaulatan Allah. Orang yang terlalu menekankan kedaulatan Allah akan cenderung bertindak apatis terhadap misi penginjilan. Mereka akan mengatakan bahwa Allah telah mentakdirkan orang diselamatkan, dan sebagian untuk binasa. Kita tidak perlu mengutus misionari karena Allah dapat menyelamatkan mereka dengan caraNya sendiri. Kita jangan mengambil bagian yang adalah domainnya Tuhan. Kelompok ini dapat saja mengatakan bahwa proyek-proyek misi adalah keniscayaan dan pemborosan, toh semua yang ada akan kembali kepada kedaulatan Allah. Bagaiman pun kerasnya kita menginjil, tetapi toh semua berbalik kepada kedaulatanNya. Sikap ini akan mencipta suatu kelompok yang apatis. Mereka tidak lagi memikirkan misi dan mencoba berlindung pada paham bahwa biarlah Allah dalam kemuliaanNya yang melakukan caraNya yang mulia untuk menjangkau dan menyelatkan orang. Itu memang domainNya jadi jangan mencuri hak Tuhan. Sungguh berbahaya bukan? Apa yang ada dalam benak kita bila gereja akhirnya mengadobsi pemahaman seperti ini? Yang pertama, adalah mereka menjadi kelompok orang yang justru mengabaikan kebenaran berita pengabaran Injil yang ditekankan oleh para rasul. Rasul Paulus sebagai bapak misionari PB menulis dalam I Korintus 9:16: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.”

Penekanan bahwa keselamatan adalah kedaulatan Allah adalah kebenaran namun kebenaran ini tidak berhenti disini karena ada kebenaran yang lain yang kebenarannya juga sama dan sebobot. Dengan menekankan satu kebenaran dan mengabaikan kebenaran yang lain, justru akan menghamiri kebenaran tersebut. Ada banyak ayat-ayat yang mendorong kita untuk mengerjakan misi, tetapi yang paling kuat mungkin adalah Matius 28:18-20: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Amanat Agung Tuhan Yesus tak terbantahkan sebagai landasan kuat dan kokoh untuk menegerjakan proyek Misi. Tidak ada yang dapat menyangkalinya termasuk orang yang menekankan kedaulatan Allah. Inilah dasar yang menjadi landasan bagi sekelompok orang yang menekankan tanggung jawab manusia. Mereka mengerjakan proyek misi dan menginvestasikan waktu, dana, sarana, dan segalam hal untuk pekerjaan misi. Mereka mengirimkan para misionari keseluruh penjuru bumi untuk mengikut apa yang disebut pelaksana Amanat Agung. Tanggung jawab yang berat dan besar ini dipikul bukan hanya mengorbankan dana, atau meterial bahkan termasuk nyawa. Sampai disini, pemahaman dan tindakan ini masih benar. Namun, apabila tanggungjawab ini diperbesar lagi dengan mengatakan bahwa keselamatan adalah sebuah proyek yang harus dapat diukur presentasi keberhasilannya. Bila suatu cara atau pendekatan misi tertentu telah dikatakan gagal melalui sebuah evaluasi, maka cara yang baru dapat dicoba, sampai akhirnya kita mendapatkan sebuah hasil yang dapat diukur.  Penekanan ini menunjuk bahwa keselamatan orang adalah tanggung jawab orang percaya sehingga apapun akan digunakan agar orang tersebut menjadi percaya. Hal ini kita jumpai dalam perjalanan sejarah gereja khususnya ketika penguasa sebuah negara akhirnya menetapkan agama Kristen sebagai agama nasional. Tidak boleh ada satupun dari warga negara yang menolak agama Kristen dan Kristus. Pada tahapan politis, ternyata memang sangat ampul karena gereja bertumbuh dengan pesat melebihi pertumbuhan apapun. Namun benarkah tindakan seperti ini? Apakah memang keselamatan adalah tanggungjawab moral orang percaya? Apakah keselatan adalah merupakan hasil dari kemanusiaan semata? Bukankah kita memegang dogma bahwa keselamatan adalah anugerah? Bukankah keselamatan adalah pemberian Allah semata-mata?  Rasul Paulus menulis dalam Efesus  2:8, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,”


ADA APA DENGAN PREDESTINASI?

Predestinasi adalah sebuah konsep religius, yang melibatkan hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Konsep teologis ini percaya pada predestinasi, percaya bahwa sebelum Penciptaan, Allah telah menentukan nasib alam semesta di seluruh waktu dan ruang. Calvinis berkeyakinan bahwa Allahlah yang menentukan takdir kekal terhadap orang-orang, beberapa untuk keselamatan oleh kasih karunia, sementara sisanya akan menerima penghukuman kekal atas semua dosa mereka, bahkan dosa asal mereka.

Sebelum mempelajari seluk-beluk predestinasi, kita perlu memahami lebih dahulu beberapa istilah penting yang sering dipakai dan disalahpahami. Istilah-istilah itu adalah Foreordination: penentuan segala sesuatu sejak kekekalan; Predestination: penentuan yang berhubungan dengan keselamatan atau kebinasaan kekal sejak kekekalan; dan Election: penentuan sebagian orang untuk diselamatkan sejak kekekalan.

Election merupakan salah satu bagian dari predestination, sedangkan predestination sendiri merupakan salah satu bagian dari foreordination. Doktrin tentang predestinasi merupakan salah satu doktrin yang paling membingungkan dan sedikit dimengerti oleh orang Kristen[6]. Berikut ini adalah beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi dan bagaimana kita seharusnya menyikapinya:

  1. Orang menganggap doktrin ini berada di luar kapasitas manusia untuk memahaminya. Namun karena Alkitab mengajarkan predestinasi, karena itu kita tidak boleh mengabaikan apa yang telah Allah nyatakan. Ada beberapa aspek dari doktrin ini yang memang trans-rasional, karena selalu akan misteri setiap kali ciptaan ingin memahami Pencipta, tetapi itu bukan halangan untuk berhenti memahami doktrin ini sejauh yang Allah telah nyatakan. Karena Allah telah menyatakannya, sekalipun itu mungkin sungguh sulit untuk dipahami, kita harus mempelajarinya.

  1. Orang menganggap doktrin ini tidak berhubungan sama sekali dengan hal praktis. Doktrin ini dianggap hanya sebagai spekulasi filosofis dari rasio manusia yang ada di awan-awan (teoritis saja). Namun yang kita dapat amati adalah bahwa beberapa bagian Alkitab yang menyinggung tentang predestinasi justru berhubungan dengan hal praktis.

  1. Orang menganggap doktrin ini hanya dimiliki oleh sebagian denominasi/aliran theologi. Kata maupun ide predestinasi memang diajarkan oleh Alkitab (bukan produk theolog Reformed), misalnya Roma 8:29, 30; Efesus 1:5, 11 (NIV).

Apakah ketetapan Allah sejak kekekalan mencakup segala sesuatu atau beberapa hal saja? Apakah ketetapan Allah bisa gagal? Seandainya ketetapan tersebut mencakup segala sesuatu dan tidak bisa gagal berarti predestinasi merupakan hal yang tidak terelakkan. Ayat-ayat Alkitab yang sangat banyak dan bergamam konteks menunjukkan bahwa ketetapan Allah memang mencakup segala sesuatu, baik besar maupun kecil dan tidak bisa batal. Apabila kita menelitinya satu persatu tentu akan memakan waktu yang panjang dan kertas yang disediakan dalam makalah ini tidak akan mencukupinya. Untuk itu kita hanya akan mendaftakan ayat-ayat itu secara acak dan semoga itu dapat menjelaskan lebih dari cukup untuk membuktikan predestinasi yaitu kedaulatan Allah dalam keselamatan:

  1. Yohanes 6:44;  tidak ada seorang pun yang dapat datang kepadaku jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa” apa yang termaktub dalam ayat ini? Pengamatan tanpa jeli pun dapat mengerti bahwa Allah Bapa adalah pribadi perancang keselamatan. Mari kita lihat ayat-ayat berikut dari perikop yang sama:

2.      Yohanes 6:37; Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Artinya Bapalah yangh memberikan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.

  1. Yohanes 6:65;  Lalu  Ia berkata: "Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya."

4.      Yohanes 15:16 kita dapat baca pernyataan alkitab yang lebih jelas lagi: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.”

Ayat-ayat  ini lebih menegaskan peranan mutlak dari Bapa dalam hal keselamatan. Tidak ada hal yang dapat dilakukan oleh manusia jika Allah tak mengaruniakan itu kepadanya. Jadi keselamatan itu adalah anugerah semata-mata dari ALLAH. Tidak ada hal apapun dari manusia yang dapat menyebabkan keselamatan terjadi. Bahkan iman sekalipun berasal dari Allah. Iman yang ada pada manusia itu bersumber dari Allah dan dikaruniakan oleh Allah bagi siapa yang dikehendakiNya.

Artinya pemilihan tidak terletak pada kemauan atau tindakan iman orang percaya. Iman memang dikaruniakan Allah kepada manusia tetapi pemilihan bukan buah dari iman kita. Iman dalam hal ini bukan semacam guide yang menolong kita memilih Allah. Allahlah yang memilih kita orang percaya dan Allah mengaruniakan iman kepada kita untuk dapat mengikuti dan mempercayai Dia (Kisah Para Rasul 13:48)

Rasul Paulus menjelaskan konsep ini dalam tulisannya kepada jemaat di Roma: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (8:29-30), dan surat pastoralnya kepada jemaat di Efesus: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” (1:4)

Doktrin predestinasi bukan sebagai doktrin yang terpisah (berdiri sendiri). Doktrin ini didasarkan pada dua kebenaran utama. Pertama, natur keberdosaan manusia. Semua manusia turut berdosa dalam Adam sebagai perwakilan semua umat manusia (Roma 5:12-21). Manusia mengalami apa yang disebut total depravity (kerusakan total). Efesus 2:3 “secara natur kita adalah anak-anak kemurkaan”. Kebaikan manusia seperti apa pun tetap merupakan kejahatan di mata Allah (Roma 3:9-20). Manusia tidak mungkin memilih Allah karena mereka dikuasai oleh kuasa lain (Efesus 2:1-3; 2 Korintus 4:3-4). Alur pemikiran ini menunjukkan bahwa produk manusiawi dengan segala kebajikannya adalah barang fana yang tak dapat tahan uji dalam pencapaian hal-hal rohani. “Tetapi kami sekalian seperti seorang najis jua dan segala kebenaran kami seperti sehelai kain yang larah, sebab itu kami sekalianpun luruh seperti daun dan kami dibawa oleh kejahatan kami seperti diterbangkan oleh angin.” (Yesaya 64:6)

Kedua, kedaulatan Allah yang mutlak. Segala sesuatu ditetapkan oleh Allah berdasarkan kehendak-Nya sendiri. Walaupun secara kronologis tidak bisa dibedakan, namun secara logis Allah lebih dahulu menetapkan segala sesuatu lalu Ia mengetahui segala sesuatu. Jadi, ketetapan Allah mendahului pengetahuan-Nya. Jadi master planNya telah ada terlebih dulu baru kemudian penerapanNya. (Roma 9:11-21; Efesus 1:5; Yohanes 4:10)

Ada beberapa keberatan teologis yang mengemuka namun kita mengerti selalu ada jawaban filosifis yang kiranya menolong. Pertanyaan itu misalnya, karena Allah telah menetapkan sejak semula, kita tidak perlu memberitakan Injil. Toh Allah sudah memilih siapa yang akan selamat dan siapa yang akan binasa? Pertanyaan ini tentu bersifat pasifitas yang menyerang? Sebagai manusia yang terbatas, kita tidak tahu siapa yang telah dipilih oleh Allah untuk selamat. Oleh karena kita tidak tahu siapa yang kita tahu akan diselamatkan, kita harus terus memberitakan Injil. Pemberitaan Injil adalah bukti ketaatan kita kepada Allah. Dan kita hanya akan dapat mengerti jika telah ada pembuktian iman dari seseorang yang telah menjadi percaya.

Pandangan Hiper Calvinis adalah pandangan yang terlalu. Mereka menekankan sangat berat pada kedaulatan Allah sehingga melupakan tanggungjawab manusia. Karena keselamatan itu pasti, maka walau kita berbuat dosa sebesar apapun, kita pasti selamat. Allah menjamin orang pilihan dengan cara memberikan kemauan dan kemampuan untuk taat. Orang yang telah diplihNya untuk selamat, tentu terbuktinyatakan lewat perilaku kristiani yang taat memuliakan Tuhan. Justru ketika seseorang hidup dalam kebebasan berbuat dosa, maka pilihan atas dia sebagai umat terpilih menjadi meragukan. Adalah sangat mungkin kita meragukan kelahirbaruan seseorang yang mengaku Kristiani, namun dalam perilaku hidupnya berseberangan dengan berita Injil. Allah menolong umat pilhanNya untuk hidup dalam kemenangan melawan tabiat dosa mereka. (Filipi 2:12-13)

Lantas bagaimanakah menghubungkan kedaulatan Allah disini dengan tanggungjawab manusia? Kalau seandainya memang manusia tidak memiliki peranan apapun dalam keselamatan, bukankah semua yang kita bicarakan ini adalah sandiwara Allah semata. Bukankah manusia memiliki kehendak bebas?

Kalau keselamatan adalah pemberian (anugerah), maka segala usaha apapun sejatinya tidak bermakna dalam keselamatan. Itu memang anugerah semata-mata dan tidak ada hubungannya dengan apapun yang sifatnya antropomorfis. Sampai disini kita berada pada jurang yang menganga lebar. Jurang yang memisahkan antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia dalam misi. Apa yang terjadi? Bukankah keduanya adalah sama-sama benar? mengapa keduanya tidak dapat disatukan? Apakah memang keduanya adalah kebenaran yang berjalan sendiri-sendiri? J.I Parker memberikan suatu terobosan praktis yang sangat membantu dan sangat tepat dalam hal menjembatani jurang menganga ini.


SEBUAH ANTINOMI

ANTINOMI adalah dua kebenaran yang tampaknya tidak bersesuaian. Antinomi muncul ketika ada dua kebenaran yang keduanya tidak dapat disangkali tetapi tampak tidak dapat didamaikan. Keduanya sama-sama ditopang oleh alasan yang kuat dan bukti yang jelas dan kuat sehingga layak dipercaya, tetapai bagaimana mencocokkan keduanya masih merupakan misteri. Anda melihat bahwa keduanya benar, tetapi anda tidak mengerti bagaimana keduanya dapat sama-sama benar.[7]

Ada dua kebenaran yang mana keduanya memiliki landasan yang valid dalam Alkitab. Kedaulatan Allah adalah hal yang tak tersangkali. Tanggung jawab manusia dalam keselamatan juga adalah ajaran kitab suci Alkitab yang memiliki landasan sangat kuat. Tetapi sekarang kita terjebak pada lobang menganga yang sulit kita seberangi agar dapat menyinkronkan dan atau menghubungkan kedua kebenaran ini.

Berbagai pendekatan yang sifatnya coba dijelaskan oleh beberapa ahli, namun fakta yang ada adalah semakin lebarnya jurang tersebut. Pendekatan teoritis yang coba dibangun kadang-kadang justru melahirkan persoalan yang baru. Alih-alih cari solusi, fakta yang ada adalah semakin memperkeruh suasana. J.I Packer kembali menulis: “Kita seharusnya tak terkejut jika menemukan misteri seperti ini dalam Firman Allah, karena pencipta tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh ciptaanNya. Allah yang dapat kita pahami sepenuhnya dan yang wahyuNya sama sekali tidak mengandung misteri pastilah allah hasil imajinasi manusia dan sama sekali bukan Allah yang dinyatakan dalam Alkitab.”[8] 

Allah tentu bukan sedang berpolemik. Dia memang adalah Pribadi Mahaagung sehingga kita hanya dapat memahami Dia sejauh Dia menyatakan atau menyingkapkan diriNya atau firmanNya kepada kita. Bila ada hal yang terselubung atau menjaid misteri yang tak terpencahkan oleh akal atau pikiran logis manusiawi, itu hanya menerangkan keagungan dan kebasaranNya sebagai Pribadi mahaagung danmaha segalanya.

Ketika kita bertemu dengan misteri ini, kita seharusnya menjadi semakin takjub dan memuliakan Tuhan. Sikap mencurigai dan atau mempertanyakan keabsahan berita Alkitab, adalah suatu sikap yang sejatinya menunjuk pada kepicikan dan kekerdilan cara kita memhami Allah. Para pengkritik Alkitab yang mencoba meneliti dan mengungkap ketidaksinkronan berita atau informasi dalam Alkitab, sehingga mereka meragukan keabsahan Alkitab, hanyalah menerangkan keterbatasan dan kekerdilan pemahaman mereka. Cristian Science menitikberatkan logika pada pemahaman teologis, sehingga mereka akhirnya terjebak pada kegagalan memahami Allah. Sebab Allah yang sejati adalah Allah yang melebihi science. Dia jauh melampaui penalaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Dia juga jauh melampaui hal-hal yang spiritual, sebab Dia bukanlah Allah yang spiritual saja. Karena Allah itu mahasegalanya, maka nalar, spiritual, dan sebagainya,  yang kita coba gunakan sebagai instrument untuk menjelaskan Pribadi Mahasegalanya, hanya akan menghasilkan pemahaman sebatas apa yang dapat diterima oleh nalar, sprititual, dan sebagainya yang kita miliki. Ringkasnya, kita tak mungkin dapat menghadirkan pemikiranNya dalam media kertas atau komputer yang kita miliki. Dia jauh melampaui apapun dan siapapun.

Dalam Ulangan  29:29 tertulis: “ Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini.” Berlebihankah jika kita mengatakan bahwa misteri antara kedaulatan Allah dan tangung jawab manusia adalah sebuah antinomi yang menunjukkan kemuliah Tuhan? Ketika kita bertemu dengan hal-hal yang penuh misteri seperti ini sejatinya membuat kita tertunduk malu danmengakui keterbatasan kita dihadapan Tuhan. Sikap ini tentu akan mendorong kelompok yang menekankan kedaulatan Allah menjadi lebih mengasihi Tuhan dan semakin bergiat dalam pelayanan misi. Pemahanan ini juga akan membantu orang-orang yang menekankan tanggung jawab manusia dalam keselamatan untuk membatasi dirinya pada hal-hal tertentu saja dan menyerahkan hal-hal yang menjadi domain Allah kepada DIA yang mengijinkan misteri teologis ini tetap tersembunyi tanpa jawaban. Yang selanjutnya, kita tidak perlu bersusah payah untuk mencari jalan untuk menghubungkan kedua fakta antinomi ini dengan berbagai-bagai teori yang sudah jelas tadi dikatakan justru memperkerush suasana teologis yang sedang kita bangun. Kalau toh itu memang harus tetap tersembunyi, biarlah dia tetap tersembunyi. Toh, suatu kali kelak bila Dia berkenan, kita bisa bertanya langsung kepadaNya di sorga?

Apakah sikap ini sebagai sebuah sikap yang menandakan kemuduran? Tentu bila kita memndangnya dari persfektip negatif, bisa saja kita berkata demikian. Tetapi bila kita mengambil sisi positipnya, ini justru berdampak reformasi teologis. Kita akan mendapatkan berkatnya karena perselisihan teologis yang telah berabad-abad antara para pengikut Calvin dan pengikut Arminian dapat segera kita damaikan. Bukankah dengan menganut paham antinomi ini, kita akhirnya bisa mengagungkan kemuliaanNya dan tetap melanjutkan tugas misi kita memberitakan Injil Yesus Kristus sampai ke ujung-ujung bumi.



KESIMPULAN DAN APLIKASI

Penginjilan adalah tugas mulia yang pantas dan layak dikerjakan sebagai proyek misi sepanjang masa bagi gerejaNya. Tidak ada alasan untuk menunda dan atau membatalkan proyek ini. Tidak ada juga alasan teologis dan filosofis untuk meninjau ulang tekanan Alkitabiah mengenai misi. Misi adalah jantung dari kehidupan atau pergerakan misi dan sebagai indikator penting dalam pertumbuhan gereja. Tanpa misi maka sejatinya gereja sedang “mati”.

Misi menurut DR. Yakob Tomatala adalah mandat shalom Allah kepada umatNya untuk  menjadi penikmat dan alat berkatNya. Menurut beliau, misi adalah tugas-tugas shalom dari umat Allah (yang berkoinonia, berdiakonia, bermarturia, dan berkerigma,) dengan bermisi (mission) untuk menjadi berkat melalui “penginjilan” yang membawa pertumbuhan kehidupan umat Allah (pertumbuhan gereja).[9]

Dengan Misi, gereja menghadirkan sejahtera yang tetap dan terus bereformasi[10]. Gereja missioner terbuktikan ketika geliat misi tetap menjadi motor yang menyala sepanajgn masa dan bergerak berbanding lurus dengan dinamika gereja Tuhan. Pemahanan akan kedaulatan Tuhan akan keselamatan mendorong gereja untuk menjadi lebih giat dan semangat dalam setiap pergerakan misi. Gereja yang memuliakan TUHAN  yang berdaulat hanya akan terbuktinyatakan ketika mereka menjadi pribadi yang bermisi.

Penginjilan dan pertumbuhan gereja adalah bagian integral dalam misi. Uraian DR. Tomatala di atas memberikan signifikansi misi yang tak dapat dipisahkan dari penginjilan yang berujung pada pertumbuhan gereja. Pemahaman ini menjadi hal yang menarik karena mewartakan gereja yang misioner. Sejatinya, gereja adalah gereja yang misioner (Banding, Teologi Misi, Ibid, hal  169 -182). Tanpa embel-embel atau slogan, pada hakikatnya gereja memang misioner. Sejatinya semua gereja haruslah misioner karena hakikiatnya memanglah demikian.

Misi mendatangkan sejahtera dalam hal ini berhubungan dengan realita kehidupan sosial yang harus berubah ketika Injil menghampiri seseorang. Sejahtera dalam hal ini harus diterjemahkan sebagai hal yang holistik. Tidak terbatas pada realitas spiritual semata, tetapi juga menyangkut hal yang bersifat jasmaniah. Seorang yang telah menerima Injil akhirnya memang harus sejahtera secara rohani; dia menjadi pribadi yang matang dan dewasa dalam imannya, serta menjadi sejahtera dalam hidup manusiawinya.

Tanggung jawab misi dalam hal ini sebagai suatu bagian yang selaras dengan kedaulatan Allah (walau sepertinya keduanya tak dapat disandingkan secara teoritis dogmatis), merupakan nafas dinamika gereja yang sehat dan bertumbuh. Dengan menyadari kedaulatan Allah yang mutlak, maka gereja yagn sehat adalah gereja yang bermisi. Sikap apatis seperti yang dikemas orang-orang yang menganut teologi hiper calvinis, justru merupakan antiklimaks kedaulatan Allah. Dengan menapikan tugas misi, gereja yang mengagungkan Allah yang berdaulat, sejatinya sedang menyangkali keagunganNya.

Dua kebenaran yang sepertinya tak dapat didamaikan ini bukan berarti bertentangan satu dengan yang lain. Justru itu adalah suatu pertanda keagungan dari rahasia Allah yang hanya menginjinkan wahyuNya dipahami sejauh mana Dia ijinkan. Siapakah kita sehingga kita harus menghakimi pencipta kita? Rasul Paulus mengatakan: “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang di bentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?" (Roma 9:20). Sebgai ciptaanNya, sikap yang pantas adalah memberi tempat untuk rahasiaNya tetap ada untuk menandakan keagunanNya yang tak terhingga. Fakta ini seharusnya menjadi instrument yang membuat kita sebagai ciptaanNya tertunduk dan mengakui keagunganNya yang maha segalanya.
Dengan mengambil sikap bijak seperti ini, gereja akan menjadi instrumen misi yang dahsyat. Energi yang adalah potensi luar biasa akan dapat disalurkan untuk memberitakan Injil sehingga pertumbuhan gereja yang ada dalam koridor dan domain Allah akan terwujud nyatakan. Seperti yang ternyata dari uraian tokoh pertumbuhan gereja, Prof. Peter Wagner: “ Pertmbuhan gereja secara operasional menyangkut segala sesuatu yang mencakup soal membawa orang yang tidak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus, masuk ke dalam persekutuan dengan Dia dan membawa mereka menjadi anggota gereja yang bertanggungjawab.”[11]

Kata kunci dari defenisi pertumbuhan gereja secara operasional tadi adalah aksi atau tindakan aktif gereja dalam membawa berita Injil ke dalam lokus utamanya yaitu dunia. Dunia dalam hal ini manusia dan sleuruh ciptaanNya adalah sasaran diman Injil diberitakan sehingga rencana shalomNya, terwujudnyatakan dalam koridor atau domain Allah yang berdaulat penuh. Terpujilah Tuhan yang mulia dan biarlah kiranya InjilNya terus diberitakan sehingga kemulian dan kedaulatanNya menjadi nyata melalui misi aktif dan terencana dari gerejaNya. Haleluyah, amin.


DAFTAR PUSTAKA

ALKITAB, LAI, Terjemahan Baru
Poerwadarminta, WJS,  Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pusataka, Jakarta, 1996
Tomatala, YAKOB,  Teologi Misi, YT Leadership Foundation, Jakarta, 2003
Packer, J.I., Penginjilan dan Kedaulatan Allah, Penerbit Momentum, Surabaya, 2009
Erickson, Millard J., Christian Theology, 921


[1] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pusataka, Jakarta, 1996, Hal.232
[2] Yakob Tomatala, Teologi Misi, YT Leadership Foundation, Jakarta, 2003, Hal. 38
[3] Ibid, Hal. 39
[4] Ibid, Hal. 39
[5] J.I Packer, Penginjilan dan Kedaulatan Allah, Penerbit Momentum, Surabaya, 2009, hal. 7
[6]  Millard J. Erickson, Christian Theology, 921
[7] Ibid, Hal. 10
[8] Ibid, Hal.14
[9] Ibid, hal. 26
[10] Bandingkan dengan pernyataan DR. Yakob Tomalata, bahwa dalam menadabuktikan dirinya sebagai misioner, gereja harus menyatakan, hakikat (esse)nya yang memiliki sejahtera (bene esse) yang harus dihidupnya secara konsisten.
[11] Ibid, Hal. 185