Sekretariat STTS

SEKOLAH TINGGI THEOLOGI SUNEIDESIS

Sekretariat:

Komplek Pertokoan Pulomas Blok XI/2 Jl. Perintis Kemerdekaan Jakarta Timur

e-mail: conscience.foundation@hotmail.com Telepon: 021-93555867, 082122715676

Kamis, 19 September 2013

STRATEGI MISI LINTAS BUDAYA (Suatu Pendekatan Misi bagi Suku Batak Toba)



STRATEGI MISI LINTAS BUDAYA
(Suatu Pendekatan Misi bagi Suku Batak Toba)
Oleh: Ps Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th


PENDAHULUAN

“Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia.”(Yohanes 16:14-16)

Sebagai mahluk sosial yang berbudaya, walau kita telah menjadi warga negara Kerajaan Surga, kita masih tetap berdiam di permukaan planet bumi. Tuhan Yesus tidak berdoa agar secara ramai-ramai kita semua eksodus dari planet ini. Justru Ia mengutus kita semua ketengah-tengah dunia agar menjadi berkat. Memang ayat-ayat di atas memebrikan gambaran yang jelas bahwa kehadiran kita sebagai umat Kristen tidak akan disukai oleh dunia karena kita bukan berasal dari dunia. Kata “bukan berasal dari dunia” dapat bermakna bahwa sebagai orang Kristen, kita tidak akan seirama dengan budaya duniawi.

Menjadi orang Kristen justru adalah suatu panggilan untuk misi ke tengah-tengah dunia. Sesaat kita menyerahkan hidup kepada Kristus, maka kita memiliki misi untuk kembali ke dalam dunia untuk suatu tujuan yang jelas. Menjadikan semua bangsa muridNya. Disinilah konflik akan mulai. Kita yang bukan dari dunia harus membaur dengan dunia demi tugas menjangkau dan memenangkan mereka bagi Kerajaan Surga. Sementara kita harus tetap kelihatan berbeda atau tidak menjadi sama dengan dunia.

Budaya sebagai produk peradaban manusia duniawi tentu adalah “dunia” yang harus dilayari dengan cermat oleh setiap orang Kristen. Budaya sebagai karyacipta manusia yang berbudi adalah kreatifitas yang tidak selalu seirama dengan Injil. Harus disampaikan bahwa memang budaya tidak selalu kontra Injil, namun yang jelas bahwa budaya bukanlah Injil dan Injil bukanlah budaya. Harus ditarik garis lurus yang jelas agar kita mengerti bahwa tidak terjebak dalam kebodohan menginjilkan budaya atau membudayakan Injil.

Kehadiran Yesus dalam konsep Inkarnasi menjelaskan bahwa Ia tetap Allah. saat Ia menjadi Manusia, Yesus tidak berhenti menjadi Allah. ini memberikan kepada kita pengertian bahwa Allah adalah Allah dan budaya adalah budaya. Keduanya adalah dua dimensi yang tidak dapat disamakan. Allah dan budaya adalah dua hal yang berbeda namun demikian tidak berarti bahwa tidak dapat bersinergi.

Yesus yang hadir dalam rupa Manusia menempati budaya Yahudi. Ia bertumbuh dan berkembang di sana. Ia juga mengenakan “budaya” Yahudi dalam sepanjang hidup ManusiaNya. Namun demikian Ia tidak tergerus oleh budaya. Saat Yesus masuk dalam budaya, tidak berarti Ia terhanyut dalam budaya itu.

DR. Paskalinus Bustan menjelaskan bahwa kita tidak dapat menghindarkan diri dari sinkritisme yang masih dalam kategori “aman”, namun pada akhirnya setelah tujuan dari upaya kompromistis berbau “sinkritisme” itu telah berhasil, kita harus cepat berbalik kepada makna yang sebenarnya.[1] Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa ada bentuk budaya yang dapat diterima namun artinya dirubah sebagai upaya kontekstualisasi. Misalnya, penggunaan pohon natal yang berbau kepercayaan kuno. Pohon natal diterima tetapi arti lamanya di rubah. Hal ini juga dapat kita aplikasikan dalam pendekatan antropologis dalam menjawab tantangan misi kontekstual sehingga berita Injil dapat diseberangkan dan bertumbuh dalam sebuah kebudayaan.

Persoalan yang mengemuka memang adalah sampai sejauh mana kita dapat “mengkompromikan” produk budaya sebagai upaya untuk mendaratkan Injil? Adakah sebuah patokan atau nilai-nilai yang dapat kita jadikan acuan?  DR. Yakob Tomatala mengatakan bahwa 92 % produk  budaya dapat di terima, 6 % dapat didiskusikan, dan hanya 2 % yang ditolak karena berhubungan dengan penyembahan berhala dan sejenisnya. Kalau melihat persentasi yang luar biasa ini, maka pastilah terbuka pintu yang lebar dimana Injil dapat diseberangkan atau dintegrasikan dalam beragam produk budaya manusia. Ini tentu menjadi kabar gembira bagi para penggiat misi lintas budaya untuk terus berkreasi dalam karyanya dalam menjangkau dan memenangkan sebanyak mungkin manusia budaya bagi Kerajaan Allah.

Kelemahan yang serius dari “kompromi” misi lintas budaya adalah tergilasnya Injil dalamperjalanan waktu oleh pengaruh budaya. Artinya, ada kecenderungan dimana kebudayaan menjadi dominan atas Injil. Motivasi awal sejatinya adalah bagaimana agar Injil dapat diterima, namun karena pengaruh budaya menjadi lebih dominan, Injil akhirnya tenggelam dalam semangat kompromistis yang menyesatkan. Ini adalah tantangan yang harus diperhatikan secara serius sehingga ending dari misi lintas budaya adalah kemenangan Injil atas semua hal.

Nilai-nilai Injil haruslah tetap kembali kepada teks dan konteksnya. Pemaksaan yang “terlalu” dalam mengkompromikan arti teks dan konteks Injil demi konteksualisasi kebudayaan adalah langkah yang harus hati-hati saat hendak dimulai dan saat dilaksanakan. Karena jika tidak, pijakan yang rawan kompromi negatif justru akan menjadi lebih dominan di masa mendatang dan justru ketika pijakan kontekstualisasi sudah menjadi kokoh, akan sulit untuk membongkar ulang apa yang sudah terlanjur dianggap sebagai sebuah kebenaran. Itu akan jauh lebih mudah untuk memulai dari awal dari pada harus membaharui apa yang sudah dimulai dan sudah berlangsung dan mendarah daging. Disinilah letak hikmatnya seperti apa yang Yesus katakan dalam  Matius  10:16 "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”


BATASAN STUDI

Kebudayaan Batak Toba adalah suatu kebudayaan yang sangat kompleks dan luas. Kita tidak dapat menyentuh dan atau mengklasifikasinya secara mendetail dalam tulisan paper yang singkat ini. Namun, apapun itu, penulis sebagai keturunan asli Batak Toba bermarga Sinaga yang lahir dan besar di Bonapasogit, telah secara alami belajar sehingga dapat memahami dan mengerti apa itu budaya Batak Toba.

Penulis mencoba mengangkat Pelayanan Misi Lintas Budaya di Desa Pamatang Jorlang Hataran. Desa ini adalah kampung kecil yang termasuk dalam kecamatan Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Desa Pamatang terdiri dari dua RT dengan populasi tidak lebih dari 100 kepala keluarga (kurang lebih 3000 jiwa.)

Penulis adalah keturunan ketiga (cucu) dari Raja (Sipukkahuta) L. L. Sinaga yang merupakan pendiri atau perintis Huta Pamatang. Pekuburan megah di tengah kampung Pamatang sebagai penghormatan atas seorang pemuka (pendiri) desa menjadi saksi bisu penghormatan seluruh warga kampung kepada kakek penulis, L.L. Sinaga.

L.L. Sinaga meninggalkan Bonapasogit (Pulau Samosir) sebagai Huta (kampung) asal Orang Batak dan merantau ke tanah Simalungun. Hutan belantara yang lebat tidak menyurutkan niat L.L. Sinaga sampai akhirnya berhasil membuka ladang mendirikan sebuah rumah sederhana untuk keluarganya. Tidak lama berselang, beberapa kerabat bermarga sinaga bersama keluarganya bergabung dan meramaikan kampung Pamatang. Kampung Pamatang yang didominasi marga Sinaga pada awalnya kini sudah dihuni beragam marga seiring dengan pertumbuhan desa. Desa yang seabad silam adalah hutan belantara kini telah ramai. Jalan desa sudah di aspal dan sarana transportasi kekota sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Ciri khas kampung Pamatang adalah konon penyembahan atau ritual terhadap sebuah patung bernama Batu Silaon yang konon merupakan jelmaan dari dua orang bermarga Sinaga. Penyembahan atau ritus itu hingga kini masih berlangsung walau telah dilakukan secara pribadi dan lebih tersembunyi karena tekanan yang kuat dari pejabat gereja. Hal ini akan dijelaskan secara lebih detail di bab selanjutnya. Ada sebuah gereja HKBP yang cukup besar dan sebuah gereja aliran pentakosta yang kecil di kampung ini. Gereja Roma Katolik juga didirikan di ujung desa beberapa tahun yang silam.


RUMUSAN ISTILAH

Menurut WJS Poerwadarminta, strategis adalah siasat, akal untuk mencapai suatu tujuan[2]. Dalam konteks makalah ini, maka strategi berhubungan dengan siasat atau akal yang logis dan etis, dalam menjalankan dan mengupayakan pencapaian maksimal dalam pekerjaan misi. Logis dalam arti harus dapat memenuhi kaidah-kaidah yang diterjemahkan dalam tindakan praktis, sementara etis berarti memenuhi kaidah-kaidah hukum yng berlaku dalam kebudayaan tertentu. Etis juga berbicara tentang cara yang tidak melukai hati dan atau perasaan sasaran strategi, artinya tidak menekankan segi pragmatis belaka.

Misi sendiri harus diartikan sebagai pekerjaan pelayanan kristianitas dalam upaya memberitakan Kabar Baik (INJIL) kepada seluruh suku bangsa (etnis) di muka bumi ini (Bandingkan dengan Matius 28:19-20). Jadi misi adalah segala hal yang berhubungan dengan upaya dan atau usaha dalam menyeberangkan Injil kepada setiap manusia dari segala suku dan bangsa yang berdiam di bumi ini sepanjang masa, yang mana upaya itu bertujuan untuk membawa manusia dari kebinasaan kepada keselamatan yagn kekal di dalam Yesus Kristus Juruselamat semua umat manusia.

Lintas budaya merupakan dua kata yang dapat diartikan sebagai suatu pengertian yang telah menyatu. Lintas budaya dapat diartikan sebagai melalui atau melewati suatu kebudayaan. Artinya suatu keadaan dimana sebuah kebudayaan dapat dilalui sehingga terjadi proses akulturasi budaya akibat dari pengarus perlintasan budaya tersebut.

Kebudayaan adalah kehidupan dan cara hidup total dari sekelompok orang[3]. Dalam hal tulisan ini, kita harus membatasinya pada kebudayaan Batak Toba, satu dari lima sub suku batak yang berdomisili pada awalnya di pulau Sumatera bagian utara.



SELAYANG PANDANG KEBUDAYAAN BATAK TOBA

“Dan oleh Roh Kudus dengan perantaraan hamba-Mu Daud, bapa kami, Engkau telah berfirman: Mengapa rusuh bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia?” (Kisah Para Rasul 4:25)

Barangkali salah satu suku yang paling di kenal di Indonesia ini adalah suku Batak. Tidak dinyana, suku Batak memang khas. Baik dari produk budayanya seperti logat, sifat, perilaku, perangai, tabiat, dan lain sebagainya, juga prestasinya dalam dunia pendidikan, pemerintahan, dan sosial budaya. Suku batak telah menjadi bagian sejarah yang tak dapat diabaik dari bumi NKRI. Kini, suku Batak bahkan telah mendiami hampir seluruh wilayah di Nusantara. Suatu hari ketika penulis mengunjungi pedalaman Kalimantan Barat, penulis berbincang dengan seorang guru SD yang bermarga Purba. Sungguh luar biasa, seorang Batak menjadi guru bagi anak-anak Suku Dayak dan telah berlangsung selama puluhan tahun.

Terlepas dari semua yang diungkap di atas, dapat dikatakan bahwa suku Batak pun mendapatkan berbagai kesan yang kurang nyaman dari suku-suku yang lain di dalam negeri. Di kota Jakarta misalnya, masih melekat dalam persepsi sebagain orang tentang perangai “keras dan ngotot” orang Batak. Perilaku ini seringkali menjadi bahan lelucon yang tak enak untuk didengar khususnya oleh orang-orang batak. Maka tak heran, beberapa orang dari suku Batak seringkali berupaya menyembunyikan asal sukunya demi rasa aman dari ejekan-ejekan tersebut.

Namun demikian, tentu kita tidak dapat menggeneralisasi kasus di atas. Tak semua orang Batak memiliki perilaku tak baik di atas. Dan tak semua orang Batak juga tak senang mengungkap identitasnya. Banyak juga orang-orang Batak menjadi orang yang disenangi oleh suku yang lain. Dan banyak juga orang batak yang dengan bangga mengungkap asal sukunya. Banyak orang batak bangga dengan kebatakannya.


SEJARAH ASAL-USUL BATAK TOBA

Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20. 

Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.[4] Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

Sumber yang lain mejelaskan bahwa Orang Batak termasuk ras Mongoloid Selatan yang berbahasa Austronesia. Namun, tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak)


LEGENDA ASAL MUASAL DAN PERSERAKAN


Menurut berbagai catatan dan sumber-sumber, suku Batak pertamakalinya menghuni Pulau Samosir. Posisnya berada dilembah Gunung Pusuk Buhit yang dikenal dengan nama Sianjur Mula-Mula. Pulau Samosir adalah sebuah pulau yang terbentuk akibat peristiwa vulkanik yang menimbulkan terciptanya Danau Toba serta sebuah pulau di tengah-tengahnya. Prasasti yang ada di Puncak Gunung Pusuk Buhit memberikan banyak informasi tentang apa yang kita sebutkan sebagai nenek moynag pertama suku batak yang juga menjelaskan asal-muasalnya.

Konon  menurut legenda masyarakat Batak, Siboru Deak Parujar turun dari langit. Dia terpaksa meninggalkan kahyangan karena tidak suka dijodohkan dengan Siraja Odap-odap. Padahal mereka berdua sama-sama keturunan dewa. Dengan alat tenun dan benangnya, Siboru Deak Parujar yakin menemukan suatu tempat persembunyian di benua bawah. Alhasil, dia tetap terpaksa minta bantuan melalui burung-suruhan Sileang-leang Mandi agar Dewata Mulajadi Nabolon berkenan mengirimkan sekepul tanah untuk ditekuk dan dijadikan tempatnya berpijak. Namun sampai beberapa kali kepul tanah itu ditekuk-tekuk, tempat pijakan itu selalu diganggu oleh Naga Padoha Niaji. Raksasa ini sama jelek dan tertariknya dengan Siraja Odap-odap melihat kecantikan Siboru Deak Parujar. Akhirnya Siboru Deak Parujar mengambil siasat dengan makan sirih. Warna sirih Siboru Deak Parujar kemudian semakin menawan Naga Padoha Niaji. Dia mau tangannya diikat asal yang membuat merah bibir itu dapat dibagi kepadanya. Namun setelah kedua tangan berkenan diikat dengan tali pandan, Siboru Deak Parujar tidak memberikan sirih itu sama sekali dan membiarkan Naga Padoha Niaji meronta-ronta sampai lelah. (Disarikan dari sumber: http://tanobatak.wordpress.com/2007/07/20/pusuk-buhit-gunung-leluhur-batak/)

Bumi yang diciptakan oleh Siboru Deak Parujar terkadang harus diguncang gempa. Gempa itulah hasil perilaku Naga Padoha Niaji. Namun ketika guncangan itu mereda Siboru Deak Parujar mulai merasa kesepian dan mencari teman untuk bercengkerama. Tanpa diduga dan mengejutkan, diapun bertemu dengan Siraja Odap-Odap dan sepakat menjadi suami-istri yang melahirkan pasangan manusia pertama di bumi dengan nama Raja Ihat dan Itam Manisia. Pasangan manusia pertama inilah yang menurunkan Siraja Batak sebagai generasi keenam dan menjadi leluhur genealogis orang Batak.

Umumnya orang Batak percaya kalau Siraja Batak diturunkan langsung di Pusuk Buhit, sebuah bekas gunung vulkanis dekat Pangururan (ibukota Kabupaten Samosir). Siraja Batak kemudian membangun perkampungan di salah satu lembah gunung tersebut dengan nama Sianjur Mula-mula Sianjur Mula Tompa yang masih dapat dikunjungi sampai saat ini sebagai model perkampungan pertama. Letak perkampungan itu berada di garis lingkar Pusuk Buhit, di lembah Sagala dan Limbong Mulana. Ada dua arah jalan daratan menuju Pusuk Buhit. Satu dari arah Tomok (bagian Timur) dan satu lagi dari dataran tinggi Tele.

Sebelum menaiki puncak Pusuk Buhit Anda perlu berkeliling lingkar jalan tersebut sambil menikmati pemandangan ke kawasan hijau lembah, bukit, dan arah Danau Toba. Celah di bagian lingkar Timur Pusuk Buhit juga ada air hangat yang mengandung belerang jika angin pegunungan Bukit Barisan ternyata membuat badan semakin dingin menjelang malam. Setelah itu Anda dapat meneruskan rencana mencapai puncak Pusuk Buhit lewat jalan dan petunjuk dari perkampungan itu. Ketinggian Pusuk Buhit mencapai 1077 meter dari permukaan danau.

Dalam perjalanan pendakian ke Pusuk Buhit yang telah dilakukan sebanyak dua kali oleh penulis, keindahan pemandangan dari Puncak Pusuk Buhit memang sungguh tak dinyana. Sayang sekali pada pendakian pertama, awan yang sangat tebal menghalangi pemandangan sehingga penukis hanya bisa melihat bias matahari dan mengabadikan beberapa foto dokumentasi.Pemdakian memang disengaja mulai jam delapan malam sehingga tiba di puncak dengan perjalanan normal tepat pukul 06.00 pagi. Tepat saat matahari terbit sehingga mendapat view alam yang mahaindah. Karya pencipta yang sungguh tak dinyana hebatnya.

Elda Sitohang, seorang praktisi wisata menggambarkan Pusuk Buhit dalam portalnya: http://eldatohang.blogspot.com/2011/04/legenda-pusuk-buhit.html: Sangat menukik ke perut bumi, yang dalam analisis Dante Allighieri, pengarang Divina Commedia, adalah lambang Tehom, pratata, tempat manusia pendosa dan kejahatan. Buat Israel, ini dilambangkan oleh lembah Kidron, tempat segala kenajisan, Beelzebul, dan Tehom, yang bagi Buddha, Siddharia Gautama, adalah lumpur yang menumbuhkan tanaman Teratai: Dari kekotoran lumpur tumbuh tumbuhan, dari tumpur dan bawah air, menjulang ke angkasa mencapai langit dengan bubungan indah dan anggun: suci, murni, kudus. Unsur ketiga-adalah perlambangan air. Jelas untuk Batak hal ini diragakan oleh air Danau Toba, yang sangat indah. Tidak semua gunung suci dunia mempunyai peragaan danau yang demikian. Tetap perlambangan air, sebagai air kehidupan, ingat Sendang Sono di Jawa (artinya air pohon sona), yang sangat tepat dihadirkan oleh Matamual Sipitu Dai (yang membual dari akar pohon jabijabi dan menjadi mata air suci bagi Batak). Ada lagi kelebihan Pusuk Buhit dari gunung-gunung suci dunia. Bersama dengan gunung Vesuvius (Junani), Pusuk Buhit mempunyai kelengkapan pertambangan api dalam Aer Rangat (Air Hangat), air yang berasal dari gunung marapi. Kelengkapan keempat perlambangan agama yang paling mendasar ini (puncak, lembah, air dan api) dimiliki oleh gunung suci Pusuk Buhit, yang pada dasamya merupakan kelebihan dari gunung-gunung suci dunia.


HUTA PAMATANG

Huta dalam bahasa Batak dapat berarti desa, kampung, atau nagari. Huta Pamatang adalah sebuah desa yang berada dalam satu kelurahan Pamatang Jorlang Hataran di wilayah kecamatan Jorlang Hataran, kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara.

Huta Pamatang merupakan pusat dari kelurahan Pamatang Jorlang Hataran dengan populasi tidak sampai 1000 jiwa. Huta ini dibagi dalam dua RT dengan jumlah kepala keluarga lebih dari 300. (Salah satu ketua RT yang disebut di atas adalah ayah dari penulis).

Sejarah terciptanya Huta Pamatang dimulai kurang lebih 100 tahun silam ketika Sipukka Huta (Pembuka lahan dan perkampungan yang pertama) Tuan L.L Sinaga meninggalkan kampung halamannya di Samosir dan merantau ke tanah Simalungun. Konon, Huta Pamatang masih rimba raya. Tidak ada jalan kampung dan alat transportasi. Bahkan penjajah Belanda tak tertarik untuk menggarap wilayah ini karena masih merupakan rimba perawan.

Tuan L.L Sinaga akhirnya mendirikan pemukiman yang dinamainya Pamatang. Ia berkeluarga dan melahirkan beberapa anak laki-laki. Anak laki-laki ini kemudian memperluas wilayah perladangan dan huta. Salah satu dari anak laki-laki Tuan LL Sinaga adalah kakek dari penulis. Jadi penulis dalam hal ini adalah keturunan keempat atau merupakan buyut dari sipukka huta Pamatang.

Proses membuka lahan sangat sulit karena kondisi hutan yang masih perawan. Namun karena ketekunan dan kerja keras Tuan LL Sinaga dan anak-anaknya, hutan mulai terbuka. Ladang dan sawah mulai dibuka. Dan akhirnya banyak pendatang dari marga Sinaga dari Somosir yang mulai berdatangan. Bahkan beberapa marga lain yang merupakan kerabat dari istri-istri anak-anak Tuan Tongah (Gelar bangsawan untuk Tuan LL Sinaga) mulai menetap dan turut serta memperluas perkampungan.

Sebagai Tuan Tongah, LL Sinaga terkenal sangat dermawan. Dengan sangat murah hati dia membagi-bagikan lahan kepada semua keluarga dari hula-hula (keluarga istri) anak-anakNya. Ia juga sangat mengasihi cucu-cucunya sehingga dengan sangat mudah mereka mendapatkan lahan pertanian sebagai mata pencaharian utama.

Perkembangan Huta pamatang termasuk pesat. Dalam kurun waktu 100 tahun, menjadi ibukota kelurahan dengan jumlah penduduk hampir 1000 dengan luas lahan persawahan dan lahan kering untuk perkebunan kopi yang cukup untuk mencukupi kebutuhan lebih dari 300 kepala keluarga.

Tuan Tongah mendirikan rumah tepat di jantung desa yang sampai hari ini masih ada. Di atas pintunya tertulis sebuah papan nama: LL Sinaga Tongkat Ni Huta (LL Sinaga Pemuda Desa). Rumah tua itu terbuat dari kayu dan memiliki ruangan tengah yang cukup luas. Rumah ini telah diwariskan kepada anak laki-lakinya dan sampai kini masih ditempati oleh keturunan ketiga dari keluarga Tuan Tongah. Hanya sayang, karena rumah ini tidak terawat, banyak unsur estetika dari rumah ini sudah hancur. Salah satunya adalah terasnya yang hancur dimakan usia serta atapnya yang sudah bocor di mana-mana. Kebanyakan cucu-cucu atau keturunan ke-4 Tuan Tongah kini merantau dan berdomisili di luar Sumatera.


FILOSOFI BUDAYA dan KEPERCAYAAN TUAN TONGAH


Sebagai keturunan Batak dari Sub-suku Toba yang merantau dan menetap di wilayah Batak Simalungun, Tuan Tongah dan keturunannya mendapatkan pengaruh akulturasi dari budaya setempat. Tidak dapat disangkali bahwa di asalnya di samosir, Tuan Tongah telah mewarisi budaya Toba yang khas. Namun proses akulturasi adat Toba menjadi terasa seiring dengan pembukaan lahan baru di Huta Pamatang yang merupakan area wilayah Suku Simalungun.

Dalihan Natolu sebagai filosofi budaya Batak melekat erat dalam setiap tingkah laku Tuan Tongah. Keturunan mereka juga menerapkan filosofis ini sehingga dengan cepat huta pamatang cepat berkembang. Dalihan Natolu adalah kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan semua keluarga besar huta Pamatang. Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut digambarkan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu:

1. Somba Marhula-hula:ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi; kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.

2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita(anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang. tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

3. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati –hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati(masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.


Konstruksi filosofis sosial inilah yang menjadi dasar kerukunan dan kehiudpan yang penuh harmoni ketika huta Pamatang berkembang menjadi sebuah perkampungan yagn ramai. Beberapa marga yagn merupakan hula-hula dari Tuan Tongah mendapat tempat yang sangat terhormat. Hal itu pun berlanjut terus sampai pada hula-hula dari anak-anak dan cucu-cucu tuan Tongah. Inilah yang menjadi pemicu utama pertumbuhan dan pekrembangan perkampungan ini menjadi sebuah Huta yang ramai.

Menyangkut kepercayaan akan hal-hal yang sifatnya jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:

  • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

  • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

  • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Hal mana ketiga bagian dari kepercayaan inti tersebut masih sangat dipegang oleh Tuan Tongah dan mewariskannya pada keturunannya. Parmalim adalah agama suku yang merupakan representasi kepercayaan yang umum dianut suku-suku di simalungun. Dan agama parmalim ini pun menjadi kepercayaan yang umum bagi penghuni huta Pamatang.

Tuan Tongah juga menjadi “imam” bagi kepercayaan parmalim yang berpusatkan pada penyembahan terhadap Batu Silaon. Batu Silaon adalah sebuah patung batu dempet antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Konon menurut legenda yang dituturkan turun-temurun dari Tuan Tongah kepada keturunannya, termasuk kepada penulis sebgai keturunan keempat, adalah Silaon, ia seorang pemuda tampan bermarga sinaga bersama dengan keluarga. Di rumah itu berdiam keluarga besar dan seorang Namboru (adik perempuan ayahnya). Silaon mempunyai seorang adik perempuan yang sangat cantik. Konon, setelah Silaon menjadi dewasa, ia jatuh cinta kepada adik perempuannya yang sangat cantik. Saat namborunya mengetahui itu, ia segera bertindak menyuruh Silaon pergi keluar kampung untuk mencari gadis lain. Sebab perkawinan sedarah adalah pantang dan tabu bagi orang Batak. Silaon pun memenuhi petunjuk namborunya dan merantau kebebarapa kampung lain di simalungun, namun sayang dia tak menemukan gadisidaman yang sepadan dengan kecantikan adik perempuannya. Alkisah, ia pulang ke kampungnya lagi dan dengan nekat mengawini adik perempuannya. Peristiwa itu membuat Debata Mula Jadi Nabolon murka dengan mengirimkan air bah melanda kampung. Silaon dan istrinya terhanyut dibawa air bah. Naborunya pun mencoba menyelamatkan namun dia pun hanyut dan menjadi batu di tengah Sungai Lombang. Silaon dan istriya pun terhanyut dan meninggal dalam keadaan berpelukan. Seekor burung rajawali mengambil ulos batak dan mengangkat mereka kedaratan dan membawa mereka di bawah sebatang pohon beringin yagn sangat besar. Keduanya kemudian menjelma menjadi patung yang berpelukan. Batu itlah yang sekarantg disebut sebagai Batu Silaon.

Pada awalnya Batu Silaon adalah peringatan bagi marga sinaga agar menjaga kemunian marga dengan tidak pernah menikahi satu marga. Karena itu akan mendatangkan kutuk dan murka Debata Mula Jadi Nabolon. Namun perkembangan selanjutnya menjadi bergeser kepada pemujaan. Marga sinaga yang berdiam di Huta Pamatang menjadikan patung Batu Silaon menjadi pusat penyembahan. Setiap tahun mereka mengadakan ritual khususnya menjelang tanam padi. Mereka juga mengadakan ritual memandikan patung batu Namboru apabila musim kemarau berkepanjangan dengan harapan hujan akan turun. Batu Silaon kini berkembang menjadi wisata berbau ritual karena berbagai orang datang kesana untuk meminta berkat.

Batu Silaon pun di hias dengan istana mungil di bawah naungan pohon beringin yagn dapat menaungi lahan seluas 3 hektare. Kondisi ini mencipta suasana magis ketika orang akan melintas komplek “istana” Batu Silaon. Seluruh komunitas marga-marga yang ada di Huta Pamatang, umumnya menaruh hormat kepada Batu Silaon. Itu terbukti, ketika pemegang kunci Batu Silaon mengadakan ritual penyembahan berupa arak-arakan bermarga sinaga memasuki istana Batu Silaon, maka masyarakat sekita kampung akan memberi apresiasi. Mereka akan dengan sendirinya datang dan mengambil sajen yang tersedia karena dipercaya akan mendatangkan kesejateraan dan kesuburan bagi tanah atau sawah yang mereka kerjakan.

Yang menarik adalah istana Batu Silaon itu berada ditengah-tengah persawahan. Setiap kali musim menanam, semua orang tidak boleh membelakangi pohon beringin besar yang dibawahnya bersemayam Batu Silaon. Mereka harus menanam padi dengan posisi kepala menghadap Batu Silaon. Kondisi ini berlaku bagi semua arah persawahan yang mengelilingi Batu Silaon. Saat orang melintas, boru sinaga diharusnya mengambil jalan memutar agar tidak melewati atau mendekat kekomplek beringin besar. Dan orang-orang yang terpaksa harus melintasi istana Batu Silaon, mereka harus mengucapkan kata sattabi ompung, yang artinya permisi tuan!

Ritus penyembahan terhadap Batu Silaon ini berlangsung secara masip bagi seluruh penduduk kampung. Keadaan tidak berubah banyak ketika gereja HKBP didirikan disebuah tempat dengan ijin dan tanah yang diberikan secara gratis oleh Tuan Tongah. Beberapa jemaat HKBP memang tidak lagi melakukan ritual secara terang-terangan, namun secara sendiri-sendiri mereka masih mengakui eksistensi dari Batu Silaon.

Faktanya adalah, bahwa penyembahan terhadap Batu Silaon yang dipercaya dapat memberikan kesembuhan, kekayaan, kekebalan, keberhasilan bisnis, enteng jodoh, telah melekat secara kuat bagi minimal 3 generasi Tuan Tongah. Bahkan, ayah kadung penulis (keturunan ke-3 Tuan Tongah) sebelum menjadi Kristen, adalah salah satu pemegang kunci istana Batu Silaon. Saat masih berusia 6 tahun (awal tahun 80an), ritaul penyembahan dengan arak-arakan rombongan penyembah Batu Silaon, masih sering disaksikan oleh penulis melintasi jalan desa menuju beringin besar di belakang kampung.



STRATEGI MISI  TERKINI

“Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku” (Keluaran 20:3-6)

Batu Silaon sudah menjadi world view bagi komunitas Huta Pamatang. Bila anda ada di kampung itu, akan sangat terasa betapa mengakarnya pengaruh Batu Silaon bagi seluruh kampung. Tidak dinyana, setelah dihuni lebih dari satu abad, Huta Pamatang telah terbentuk menjadi sebuah desa yang penuh dengan ritus dan ritual. Ritus penyembahan terhadap Batu Silaon yang konon seringkali murka apabila terjadi pengabaian terhadap eksistensinya dan ritual yang secara terang-terangan dilakukan yaitu arak-arakan dari rumah jurukunci yang disebut Jabu Ginjang yang dilaksanakan sehari penuh.

World view Huta Pamatang yang telah mengakar itu ternyata tidak banyak berubah walau pekerjaan pelayanan Zending HKBP akhirnya tiba. Ada persoalan pelik yang terjadi karena tokoh-tokoh desa yang merupakan keturunan Tuan Tongah adalah penerus ritus dan ritual Batu Silaon. Memang dapat dikatakan hampir seluruh keluarga keturunan Tuan Tongah kini telah memeluk agama Kristen dan menjadi anggota jemaat HKBP, beberapa di ataranya bahkan menjadi majelis jemaat, namun tidak dapat disangkali bahwa world view mereka tentang eksistensi Batu Silaon tetap tak bergeming.

Apabila penulis mengunjungi Huta Pamatang, karena disanalah penulis lahir 35 tahun silam, maka pandangan dan persepsi hampir semua orang terhadap Batu silaon tidak banyak berubah. Kendala yang mengemuka menurut pengamatan penulis adalah lemahnya pendekatan kontekstualisasi yang diterapkan oleh para pendiri gereja HKBP Pamatang.

Buruknya teladan hidup para pendeta dan atau mejelis jemaat mempersulit berita Injil secara murni diterapkan. Yang ada adalah sinkritisme yang mengaburkan berita Injil sehingga sudah menjadi mahfum jika orang pergi kegereja, namun jika terjadi sesuatu mereka segera berpaling kepada batu silaon.

Contoh paling praktis adalah tradisi menyembah saat akan menanam dan menuai padi di sawah yang mengelilingi kawasan istana Batu Silaon masih terjadi. Hampir tidak ada orang yang berani menanam atau menuai padi dengan cara membelakangi komplek istana. Semua harus melakukan kegiatan di sawah dengan cara menghadapkan kepala (seperti bersujud) ke arah istana Batu Silaon. Saat bertanya mengapa begitu, orang akan dengan enteng menjawab pantang atau pamali jika membelakangi batu Silaon. Bisa kualata atau bisa juga hasil tanaman padi akan buruk.

Semua bencana seperti gagal panen, kemarau yang berkepanajangan, sakit penyakit, akan selalu dikaitkan dengan murka Batu Silaon. Namun yang agak aneh adalah, jika semua keadaan baik-baik saja, penghuni Huta Pamatang sepertinya “melupakan” sejenak Batu Silaon. Pada tahun 1980, seorang cicit Tuan Tongah sakit keras. Karena rumah sakit sanagt jauh di kota maka cicit ini hanya dirawat oleh dukun. Karena sudah menjadi parah dan sampai muntah darah, cicit ini akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Sungguh sayang, anak itu tidak dapat diselamatkan. Beredarlah rumors di sekitar desa, bahwa anak itu mati karena telah melintas di daerah atau area istana Batu Silaon dengan tidak sopan. (maaf, anak itu buang air kecil sembarangan).

Hal yang terjadi di atas mengkonfirmasi paparan DR. Yakob Tomatala tentang world view: “Word View memiliki asumsi, premis, atau dalil yang kuat dan cenderung dimutlakkan. World view memiliki asumsi-asumsi, dalil, atau premis yang tidak pernah dipersoalkan, tetapi dianggap benar tanpa memerlukan adanya pembuktian. Manusia budaya biasanya membuat kesimpulan atas suatu realitas berdasarkan asumsi yang berakar pada world viewnya. Asumsi world view seperti inilah yang menyebabkan setiap orang cenderung melihat pandangannya sebagai satu-satunya kebenaran, tanpa alternatif lain.”[5]

Asumsi, premis, dan dalil Batu Silaon yang kental terbentuk tanpa terbantahkan, tidak teranulir walau seluruh penghuni Huta Pamatang adalah pemeluk agama Kristen. Ini sungguh hebat saat beberapa penginjil yang berhaluan Injili mencoba mengusik eksistensi Batu Silaon. Reaksi yang mengemuka adalah cemoohan dan penolakan yang keras. Pendekatan penginjilan berhaluan Injili (pentakosta) yang cenderung konfrontatif radikal terhadap seluruh ritus dan ritual berabad-abad terhadap Batu Silaon, hampir tidak mendapat tempat di Huta Pamatang. Bukti paling tak terbantahan adalah gereja-gereja aliran pentakosta hampir tidak mendapat tempat di Huta Pamatang. Orang-orang yang menjadi jemaat satu gereja aliran pentakosta di Huta Pamatang justrua adalah orang-orang yang datang dari luar desa. Hampir tidak ada keturunan Tuan Tongah yang menjadi jemaat di gereja tersebut.

Dapat dikatakan bahwa setiap upaya yang nyata-nyata untuk menghapuskan sama sekali pengaruh Batu Silaon akan mengalami jalan buntu di Huta Pamatang. Entah itu terobosan budaya modern berupa anjuran untuk menghentikan kepercayaan akan kesembuhan atas penyakit yang dapat dilakukan oleh Batu Silaon oleh para medis. Walau paradigma masyarakat Huta Pamatang sudah sedikit berubah tentang medis, namun pengaruh perdukunan masih sangat terasa. Itulah sebabnya, setiap kali upaya medis atas seorang yang mengalami penyakit tidak mengalami progres, orang-orang di Huta Pamatang akan dengan segera mencari alternatif, yaitu Batu Silaon dan atau dukun.

Pengaruh kepercayaan atau iman kristiani pun, tidak dapat menghapus secara tuntas world view Batu Silaon dari Huta Pamatang. Terbukti setelah hampir 100 tahun gereja didirikan di Huta Pamatang, Batu Silaon tidak beranjak dari world view Huta pamatang.


MENCERMATI TEROBOSAN ZENDING HKBP

Mengapa gereja HKBP mendapat tempat yang “istimewa” di Huta Pamatang?  Mengapa Tuan Tongah yang adalah seorang parmalim (imam Batu Silaon) dengan murah hati menyerahkan lahan hampir satu hektare untuk gereja HKBP membangun rumah ibadah? Mengapa hampir semua penghuni Huta Pamatang adalah anggota jemaat HKBP? Pertanyaan tadi akan di ulas secara ringkas melalui pengamatan langsung penulis sebagai penghuni Huta Pamatang selama 17 tahun.

Tuan Tongah sebagai orang kunci di Huta Pamatang tidak pernah di catat dalam sejarah kampung dan atau rumor di masyarakat secara langsung menolak kehadiran HKBP. Memang bisa jadi karena Tuan Tongah sebelum pindah ke Simalungun telah terlebih dahulu mendengar keberadaan HKBP di kampung halamannya Samosir, sehingga dia tidak asing dengan HKBP. Kemungkinan yang kedua adalah karena Tuan Tongah telah mendengar kabar leluhurnya telah menjadi HKBP di Samosir. Beberapa kemungkinan yang lain juga bisa terjadi termasuk kekerabatan yang kuat sebagai filosofi dalihan natolu “memaksa” Tuan Tongah harus menerima HKBP yang konon dibawa oleh hula-hulanya. (Ingat bahwa seorang Batak harus menaruh hormat pada hula-hula. Kata SOMBA, secara etimologis berarti menyembah. Menyembah di sini berarti menundukkan diri dengan rela bagi hula-hula).

Strategi misi yang dikembangkan I. L. Nommensen ialah mengubah strategi penginjilan awal yang menekankan konversi perorangan dengan mengembangkan strategi yang menekankan konversi kelompok baik keluarga (mencakup keseluruhan anggota keluarga sebagai satu kesatuan) maupun keseluruhan komunitas kepada iman Kristen. [6] Pendekatan misi secara kelompok ini berkaitan erat dengan filosofi “Dalihan Natolu” dimana orang Batak akan sulit menolak pengaruh dari hula-hula, dongan tubu, dan boru. Seorang Batak akan sulit menolak permintaan hula-hula, termasuk dalam hal kepercayaan. Apabila orang Batak mempunyai hula-hula yang mendapatkan suatu hal yang baru dalam hidupnya, maka hal itu akan secara cepat meluas pada keluarga besar suami anak-anaknya. Hal ini masih tetap relevan di zaman yang canggih ini. Pengabaian terhadap apa yang terjadi pada hula-hula, akan di anggap sebagai pelanggaran adat istiadat.

Begitu juga dengan keberadaan dongan tubu (serumpun marga), orang batak akan sangat mempertimbangkan saran-saran dari “dongantubu”nya. Coba anda perhatikan bagaimana orang Batak akan dengan segera membawa sebanyak mungkin orang yang satu marga dengannya di dalam satu komunitas. Mulai dari arisan marga, sampai di perusaaan atau usaha. Bila seorang bermarga sinaga, maka akan terlihat kecenderungan novotisme di dalam semua struktur. Ini tidak dapat disalahkan, karena world view mereka telah mengajarkan hal itu secara turun-temurun. Bila seorang batak telah mendapatkan suatu gereja, maka secara otomatis dia akan mengajak saudara semarganya untuk bergabung. Hal inilah yang dilihat dengan sangat jelas oleh I.L. Nommensen dan penerapannya yang mendekati secara berkelompok, sanagt sukses. Saat Nommensen meninggal dunia, seluruh tanah batak sudah mendengar Injil.

Untuk mewujudkan impiannya menjangkau seluruh Tanah Batak, Nommensen membuka pos penginjilan (Missionsstation) baru (termasuk sekolah) dengan tujuan menjalin hubungan baik dengan pemuka raja-raja setempat. Para raja inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya usaha misi karena mereka merupakan tokoh yang sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakatnya.[7] Pendekatan melalui missionstation yang paling berhasil adalah dengan mendirikan sekolah yang bertujuan mendidik orang-orang Batak dalam usaha misi selanjutnya. Tentu yang mendapatkan prioritas adalah golongan tuan-tuan karena dalam struktur masyarakat, mereka memiliki pengaruh yang sangat singnifikan. Dengan mendidik para tuan-tuan di setiap huta, maka kemajuan pemberitaan Injil akan semakin maksimal.

Pendekatan konversi kelompok yang masih kuat dalam lingkup Batak dan HKBP serta telah diadobsi juga oleh gereja-gereja suku lainnya seperti  gereja HKI dan gereja GKPS terbukti dengan meleburnya adat dan atau budaya batak dalam gereja. Kita akan menemukan sinkritisme yang telah dapat diterima dan dimegerti dengan baik oleh orang-orang Batak yang berjemaat di HKBP, HKI, dan GKPS.

Hal mana itu juga telah menjadi world view yang dibaharui dalam budaya Huta Pamatang. Hampir sulit membedakan antara apa yang disebut budaya dan kepercayaan kristiani dalam komunitas Huta Pamatang. Telah terjadi inkulturasi kristinitas sehingga gereja dan budaya telah mengalami konversi sedemikian baik dan telah diterima serta dimaklumi secara komunal dalam komunitas Batak Huta Pamatang.


MENCIPTA TEROBOSAN STRATEGI MISI

Bagaimanapun juga pendekatan misi konversi kelompok adalah yang terbaik dan teruji bagi suku Batak. Pendekatan misi konversi juga adalah yang paling tepat dalam memenangkan seluruh Huta Pamatang. Terbukti, hingga hari ini 99,9% penghuni Huta Pamatang adalah kristiani.

Namun persoalan yang mengemuka dewasa ini adalah bagaimana pendekatan konversi kelompok yang didasari filosofi Dalihan Natolu itu dapat mencapai tingkat kemurnian sehingga sinkritisme kristianitas dengan kepercayaan kuno Batu Silaon masyarakat Kristen di Huta Pamatang dapat dijernihkan. Sinkritisme memang merupakan gejala umum yang mudah terjadi dalam perkembangan dan perpaduan dua atau lebih unsur-unsur yang berbeda. Demikian pula dalam hal agama-agama danpertemuan kebudayaan yang berbeda.[8] Namun, pada akhirnya sasaran terakhir adalah bagaimana Injil dapat diterima secara murni.

Proses akulturasi akibat kehadiran gereja HKBP dan beberapa gereja-gereja aliran pentakosta selanjutnya ternyata tidak memberikan signifikansi yang cukup menggembirakan. Fakta yang ada adalah bahwa hingga makalah ini ditulis, Huta Pamatang masih terbalut secara kepercayaan terhadap Batu Silaon secara rapi. Fakta dilapangan yang ada melalui pengamatan penulis sepuluh tahun terakhir adalah bahwa Batu Silaon masih memegang “kendali” yang cukup signifikan di Huta Pamatang.

Kehadiran gereja yang berhaluan kharismatik atau pentakosta 10 tahun belakangan memang tidak dapat diabaikan pengaruhnya. Bila dalam kurun waktu seratus tahun lebih selama HKBP ada, Huta Pamatang hampir tak “BERANI” mengusik eksistensi Batu Silaon, sepuluh tahun belakangan setelah berdirinya satu gereja kharismatik, beberapa anggota gereja muda ini mulai bersuara sumbang terhadap Batu Silaon.

Keadaan ini tentulah tidak berdampak maksimal karena anggota gereja ini tidak sampai 10% dari komunitas Huta Pamatang. Walau akhirnya salah satu keturunan ketiga Tuan Tongah telah menjadi jemaat dan bahkan diteguhkan menjadi pengurus gereja aliran kharismatik, itu tidak cukup signifikan dalam membawa angin perubahan terhadap sinkritisme yang kental di Huta Pamatang.

Gereja muda ini memang kurang dapat diterima masyarakat karena berhaluan ekstrim kanan. Kalau boleh meminjam istilah Sastrosupono, gereja ini mengadobsi pola penaburan Injil sesuai dengan keadaan aslinya, tanpa diolah dengan tradisi atau budaya setempat.[9] Mereka terpaku pada teks tanpa mencoba mendiskusikan konteks secara lebih terbuka. Itulah yang menyebabkan gereja ini cenderung “dihindari” dan pertumbuhan jemaatnya sangatlah lambat.

Kembali pada pendekatan misi konversi komunal dengan melibatkan dan mendiskusikan budaya yang terbukti dan teruji selama 150 tahun dapat menjangkau hampir seluruh tanah Batak yang diterapkan zending HKBP, maka perlu memikirkan ulang terobasan terbaru dalam upaya mempelajari dan akhirnya mencari cara terbaik dalam menyeesaikan isu sinkritis di Huta Pamatang.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa hampir 100% penghuni Huta Pamatang adalah umat Kristen. Dan hampir 90 % adalah anggota gereja HKBP. Menurut pengamatan penulis dari 90 % jemaat tersebut adalah hasil penginjilan konversi komunal yang terlibat secara aktif dalam sinkritisme. Dalam ukuran sinkritis yang masih dapat di “maklumi” khususnya mengenai produk budaya diluar penyembahan terhadap berhala, penulis merasa itu dapat didiskusikan. Namun jika sinkritisme itu berbau penyembahan terhadap Batu Silaon, entah itu secara terang-terangan dan atau secara tersembunyi, maka kita harus merekonsruksi ulang pendekatan kristianitas di Huta Pamatang.

Sudah disampaikan di atas bahwa pendekatan konfrontatif tanpa mau diskusi, tidak menghasilkan dampak signifikan. Gereja ektrim kanan yang penulis singgung di atas hingga hari ini harus rela “gigit jari” karena mereka hanya dianggap sebelah mata oleh masyarakat Huta Pamatang. Sekali lagi konsep tranformasi yang ditawarkan oleh mereka tidak sukses.

Salah satu jalan yang penulis pikirkan adalah merekonstruksi kembali pendekatan misi I.L Nommensen mengenai pendidikan masyarakat. Bagaimana pun juga,  harus diakui bahwa teologi yang dikembangkan di Huta Ini adalah teologi Lutheran yang dimotori oleh STT Nommensen Pematang Siantar. Telah terbukti bahwa pendekatan teologi Lutheran yang lunak terhadap akulturasi budaya, dan terkesan abu-abu apabila berhubungan dengan kepercayaan terhadap berhala. Hal ini tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan paradigma teologi dalam jemaat yang mengira bahwa Batu Silaon itu adalah kepercayaan abu-abu yang tidak secara jelas ditentang kekristenan. Keadaan seperti ini menjadi semacam rambu yang memberikan ketidakjelasan sehingga jemaat dpat memutuskan sendiri apakah masih tetap memegang kepercayaan kuno terhadap Batu Silaon atau sama sekali melepaskannya.

Apabila gereja, khususnya HKBP sebagai mayoritas, dengan serius membenahi pengajaran yang berbasis INJILI, maka akan memberikan dampak yang kuat terhadap tranformasi paradigma teologi sinkritis yang tidak sehat di Huta Pamatang. Jadi yang sanagt berperan adalah, bagaimana gereja HKBP sebagai gereja utama dan tertua dapat membenahi kembali teologi yang lurus dan Injili, sehingga jemaat mendapatkan pencerahan dan berujung pada pemurnian kepercayaan sinkritis yang tidak sehat dikalangan masyarakat. Intinya adalah kemauan yang kuat dan sungguh untuk mengatakan tidak pada penyembahan berhala sama seperti Alkitab telah mengajarkan tidak boleh menduakan Tuhan.


HARAPAN YANG PALING RELEVAN

Apa yang dapat diharapkan dari Huta Pamatang terkait dengan  tranformasi sinkritis yang tidak sehat yang telah bertumbuh subur di sana? Selaku anak daerah dan masih merupakan keturunan ke-4 dari Tuan Tongah serta merupakan pendeta Injili  pertama keturunan Tuan Tongah, penulis memiliki konsen yang sangat kuat bagi kebahagiaan keturunan Tuan Tongah di Huta Pamatang dan kelak di surga.

Tentulah penulis tidak dapat berharap muluk-muluk. Peradaban yang telah diwarnai Batu Silaon selam lebih dari 150 tahun, tentu bukan hal yang gampang untuk diluruskan. Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan atau harapan. Bukankah selal ada jalan jika ada upaya dan harapan? Harapan itulah yang diupayakan dengan cara membawa sebanyak mungkin keturunan Tuan Tongah ke Jakarta dan belajar di STT yang bernafas Injili.

Upaya ini telah berlansung lebih dari 15 tahun terakhir dan beberapa telah berhasil dilakukan. Memang adalah suatu yang tidak gampang menejelaskan kepada para orang tua keluarga Tuan Tongah untuk membawa anak-anak mereka ke Jakarta dan atau kota lainnya untuk belajar di sekolah teologi Injili. Mereka memang akan dengan semangat mendorong anak mereka kuliah di STT Nommensen, tapi tidak dengan STT Injili. Tetapi, bagaimanapun juga suatu upaya dengan hati yang sungguh akan menghasilkan buah yang cukup suatu ketika kelak. Pada saat ini keluarga besar Tuan Tongah sudah mempunyai dua orang cicit bergelar sarjana teologi dari STT Injili dan seorang lagi sedang menyelesaikan studinya.

Harapan yang paling relevan saat ini adalah dengan membuka cakrawala pembelajaran teologi kuat berbasis Injil sepenuh. Dengan semakin banyak anak-anak dari keturunan Tuan Tongah yang belajar teologi secara alktabiah, maka itu akan menjadi suatu kekuatan yang signifikan di hari mendatang untuk menyelesaikan kepercayaan sinkritis berbau berhala di Huta Pamatang. Itu akan lebih tepat dilakukan oleh keturunan Tuan Tongah sendiri.

Dengan membuka cakrawala teologi yang Injili, masyarakat sinkritis di Huta Pamatang akan dibawa pada pencerahan yang suci. Itulah yang secara perlahan akan memberikan atmosfir yang kudus dan menolong keturunan Tuan Tongah menjadi suatu komunitas Batak Krinten Injili yang memuliakan Tuhan. Selalu ada jalan karena Tuhan tentu sangat mengasihi Huta dan seluruh penghuninya dan tak ingin mereka tidak mendapatkan kemajuan yang cukup dalam mengerti firmanNya.



PENUTUP

“ bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” (Roma 16:27)


Dalam perkembangan Huta Pamatang sebagai perkampungan yang dirintis dan dikembangkan oleh Tuan Tongah dan keturunannya, telah tercipta perkembangan singnifikan. Baik secara budaya, ekonomi, teknologi, dan religi. Ketiga yang pertama disebutkan diatas, yaitu budaya, ekonomi, dan teknologi dapat dikatakan telah mencapai tingkat perkembangan yabng cukup menggembirakan.

Keturunan Tuan Tongah adalah komunitas yang begitu kaya akan budaya dengan filosofis dalihan natolu yang telah terkenal hingga ke manca negara. Beberapa keturunan Tuan Tongah yang kini berdomisili di luar negeri tetap menjaga dan memelihara warisan Dalihan Natolu yang terbukti telah menyatukan dan memajukan mereka. Dalihan natolu telah mengeratkan setiap celah akibat akulturasi budaya luar. Dalihan natolu juga telah membawa pulang kembali semua keturnan Tuan Tongah ke Bona Pasogit melalui peran serta mereka untuk membangun kampung halaman.

Secara ekonomi, keturunan Tuan Tongah pun telah mencapai tingkat yang maksimal. Hidup berkecukupan di Huta Pamatang yang terkenal subur. Dan beberapa yagn telah meninggalkan kampung halaman dan menetap di luar Huta Pamatang pun tetap mengingat anggota keluarga yang berkekurangan di Huta Pamatang. Dalihan Natolu juga mengeratkan sistem ekonomi sosial Tuan Tongah yang cukup sehat.

Yang sedikit tertinggal adalah kemajuan iman kepercayaan kristianitas keturunan Tuan Tongah. Setelah hampir seratus tahun menjadi anggota gereja, mereka seolah enggan meninggalkan sinkritisme hitam. Pengaruh Batu Silaon yang konon adalah hanya legenda, sepertinya tak mau bernjak dari bumi Huta Pamatang. Kemajuan iman kristiani sepertinya berhenti di persimpangan sinkritis yang tidak sehat. Hal inilah yang memicu kemajuan Injil begitu terhimpit di sana.

Selalu ada harapan jika ada upaya. Adalah doa dan tangisan bertahun-tahun dari penulis untuk dapat memberikan kontribusi yang sepantasnya bagi keturunan Tuan Tongah. Khususnya dalam membawa mereka pada perkembangan pengenalan dan penghayatan Injil secara murni. Dengan belajar dan menjadi sarjana teologi injili yang pertama, penulis merasa masih kurang dalam membawa atmosfer tranformasi di Huta Pamatang. Terobosan didaktika adalah pilihan paling signifikan sehingga kabut gelap sinkritisme hitam yang masih bergayut di langit Huta Pamatang. Namun karena adalah suatu proses yang panjang dan memerlukan totalitas, maka doa ini sepertinya harus terus dikumandangkan sehingga semakin banyak anak-anak dari keturunan Tuan Tongah yang terpanggil untuk menjadi pelayan Tuhan melalui STT Injili.

Semoga tulisan singkat ini juga sampai kepada keturunan Tuan Tongah dan memberikan inspirasi positif bagi mereka. Semoga dengan demikian, angin transformasi segera berhembus di bumi Huta Pamatan sehingga kemuliaan Kristus secara sempurna memenuhinya. Karena demikianlah Tuhan mengharapkan akhirnya semua bangsa khususnya keturunan Tuan Tongah memuliakan namaNya. Semoga!



Daftar Pustaka

Aritonang, Jan Sihar dan  Steenbrink, Karel, A History of Christianity in Indonesia,
Koninklijke Brill, Leiden , 2008
Aritonang, Jan Sihar, Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 1988
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996

Sinaga, Richard, Leluhur Marga-Marga Batak dalam Sejarah Silsilah dan Legenda,
Dian Utama, Jakarta
Suprihadi Sastrosupono, M. Suprihadi, Sinkritisme dan Orang Kristen Jawa, Lembaga
Literatur Babtis, Bandung, 1984
Tomatala, Yakob, Antropologi: Dasar Pendekatan Pelayanan Lintas Budaya,  YTLF,
Jakarta, 2007

Sumber-sumber Online:

http://eldatohang.blogspot.com/2011/04/legenda-pusuk-buhit.html:



[1] Disampaikan dalam kelas Teologi Kontekstual dan disarikan dalam diktat, tahun 2011
[2][2] Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996
[3] Yakob Tamatala, Antropologi, YTLF, Jakarta, 2007, hal. 164
[4] Richard Sinaga, Leluhur Marga-Marga Batak dalam Sejarah Silsilah dan Legenda, Dian Utama, Jakarta
[5] Logcit,  Yakob Tomatala,  hal.107
[6] Jan Sihar Aritonang, Karel Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia, Koninklijke Brill, Leiden Belanda, 2008, Hlm. 535.
[7] Jan Sihar Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988, Hlm. 148-150
[8] M. Suprihadi Sastrosupono, Sinkritisme dan Orang Kristen Jawa, Lembaga Literatur Babtis, Bandung, 1984, hal. 43
[9] Ibid, hal. 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar